Baru-baru
ini kita kembali menemukan bukti paling miris dari absennya toleransi dan pluralisme di negeri ini. Bagaimana tidak?
Seorang Irshad Manji, penulis dan aktivis gender asal Amerika, harus
berulangkali mendapatkan pengusiran sepihak dari beberapa oknum ormas agama
ketika hendak menggelar diskusi buku terbarunya, Allah, Liberty and Love
(ReneBook, Jakarta).
Dalam
amatan penulis, pengusiran itu terjadi sekurangnya di tiga tempat: Galeri
Budaya Salihara asuhan Goenawan Mohamad di Jakarta, Universitas Gajah Mada
(UGM) dan markas penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial (Lkis) di
Jogjakarta (Tempo.co/04/05).
Alasan
pengusiran dan bahkan tindak pengrusakan itu sangat klise dan sumir: oknum
agama itu khawatir buku yang ditulis Manji berisikan hal-hal sesat yang tak
pantas. Pertanyaannya sekarang: kenapa harus serepresif itu antisipasi yang
dilakukan? Bukankah masih ada jalan dialog yang bisa ditempuh, seperti yang UUD
dan Pancasila ajarkan?
Bukankah
seharusnya tulisan dilawan dengan tulisan, bukan dengan golok ataupun
pentungan? Seperti yang lazim terjadi dalam dunia jurnalistik, pembaca
mempunyai hak jawab, hak koreksi dan sebagainya. Lagipula kenapa kita harus
sekhawatir itu hanya untuk mendiskusikan suatu buku?
Belum
lama peristiwa itu berselang, kini negara harus takluk lagi pada segerombolan
preman berjubah yang senantiasa mengatasnamakan agama ketika hendak mengubur
sendi-sendi kebebasan berekspresi dan toleransi. Ya, penyanyi kesohor dunia
itu, Lady Gaga, akhirnya terpaksa harus menunda perjumpaannya dengan semua fans
di Zamrud Khatulistiwa ini.
Itu
semua terjadi lantaran negara beserta seluruh aparaturnya belum sanggup memberi
garansi keamanan yang memadai bagi warganya sendiri –apalagi warga negara
asing. Alih-alih mengamankan, negara justru mengalah pada penodaan iklim demokrasi secara telanjang
itu.
Dua
peristiwa di atas adalah miniatur kondisi keberagaman di sekitar kita yang belum meresap benar ke urat nadi masyarakat
Indonesia dan pemerintahannya. Hak asasi manusia hanya gagah di mulut para anggota dewan yang sedang rapat, tapi sangat lemah ketika menyentuh ranah nyata
masyarakat luas. Itulah Pekerjaan Rumah (PR) mahaberat kita bersama: menegakkan kebhinekaan setegak-tegaknya! Sampai ke
akar-akarnya!
30 Mei 2012
30 Mei 2012
untuk menegakkan HAM di Indonesia memang perlu tindakan bersama, kita sebagai rakyat tdk bisa hanya menyerahkan tgs tnpa ikut berpartisipasi
BalasHapusSetuju!
HapusPraksis intinya!