Siswa dan Sastra


I have imagined that paradise will be a kind of library!
(Jorge Luis Borges)

(Foto oleh Hamdan Avivi)

Beberapa waktu lalu, saya diberi kesempatan untuk berbagi proses kreatif menulis dengan para guru Bahasa dan Sastra Indonesia se-Kabupaten Cirebon. Selain saya, juga ada Leak Sosiawan (penyair Solo) dan Nurdin M. Noer (wartawan senior Cirebon) sebagai pembicara. Dua orang yang disebut terakhir ini adalah sesepuh yang sudah malang melintang di jagat warta dan susastra –setidaknya di Cirebon.

Ketika saya datang, para guru itu sontak langsung mengeluarkan secarik kertas dan pena untuk mencatat. Mereka seperti bersiap menerima inspirasi dan pengetahuan menulis dalam jumlah berapa giga-byte sekalipun. Saya menangkap sepercik ketulusan dan kesungguhan yang memancar dari wajah-wajah ikhlas itu.

Hal itu membuat saya kikuk. Materi yang disiapkan sejak semalam spontan buyar. Saya merasa kurang pantas duduk di depan untuk "menggurui" mereka perihal dunia baca dan tulis-menulis. Sedangkan 20 tahun silam saya sanggup mengenal A-B-C-D justru dari mata air pengetahuan yang mengalir dari kearifan mereka. Sejak merah putih masih menjadi seragam setia.

Maka saya-pun buang kertas materi berisi tujuh halaman itu. Alih-alih menyampaikan materi, saya justru mengajak beliau-beliau untuk membuka sesi dialog. Dialog perihal apa saja. Tak hanya terbatas ihwal sastra dan peningkatan mutu membaca dan berkarya siswa. Saya sedang mencoba menjadi pendengar yang baik.
 
(Sarasehan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia)
Dari sekian panjang sesi dialog itu membuhul pernyataan salah seorang guru yang menarik perhatian. "Lingkungan pendidikan kita masih belum memungkinkan lahirnya guru yang sekaligus sastrawan. Kebebasan berekspresi yang menjadi prasyarat melahirkan karya, masih terbentur dengan ketatnya tembok birokrasi pendidikan yang dalam beberapa hal masih kaku dan membelenggu.", ujar salah satu guru.

Itu keluhan para guru perihal dilematisnya posisi mereka sebagai guru bahasa dan sastra. Lalu bagaimana dengan siswa? Saat membahas tentang bagaimana cara meningkatkan ketertarikan siswa pada budaya tulis dan baca, para guru itu serempak diam. Mereka memberi kesempatan itu sepenuhnya pada saya. Dengan terbata dan pengalaman seadanya, sembari menunggu dua pembicara lain datang, inilah beberapa pengalaman yang saya utarakan.

Literasi
Saya bukan guru bahasa dan sastra dalam arti harfiah. Saya lebih suka jika disebut sebagai petani literasi. Panggilan hidup membawa saya untuk mencintai dunia ini dari dulu hingga kini. Maka dari itu sejak tahun 2013, walau tanpa lembaga yang menaungi, tanpa sponsor yang membiayai, saya aktif bergerilya ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, maupun pesantren. Saya mengkampanyekan pentingnya dunia literasi yang melingkupi: membaca, menulis, dan dokumentasi. Awalnya saya hanya ingin membangun Rumah Baca mini yang bisa diakses siapapun secara gratis. Tapi ternyata langkah itu kurang efektif. Menunggu para pelajar dan mahasiswa meminjam koleksi buku ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. 

Saya pun memutuskan untuk menjemput bola. Saya datangi sekolah-sekolah lanjutan, perguruan tinggi, dan pesantren di daerah penulis: Cirebon. Betapa kagetnya ketika melihat fakta 90% ekstra kurikuler berupa Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan Jurnalistik di sekolah-sekolah di Kabupaten Cirebon nasibnya begitu menggiriskan. Keberadaan kedua ekskul itu tak lebih dari sekadar papan nama belaka. 

Dari titik itulah, pada 10 Oktober 2013 Serikat Penulis Pelajar (SPP) resmi berdiri. SPP adalah wadah bagi para pelajar SD, SLTP, SLTA yang hendak mengabadikan hidupnya dalam deret aksara. Pasantren pun menyusul dengan bendera Bilik Aksara Santri (BAS). Berikutnya perguruan tinggi juga tak ingin kalah. Di perguruan tinggi Cirebon saya menginisiasi lahirnya komunitas literasi Aksara Nagari (AN) dan di Kuningan berupa Petani Li-Terasi (PL). Kesemua organ itu telah bertekad menjadikan dirinya sebagai petani-petani literasi yang akan mewarnai gerak laju sejarah dengan pena. 

Kegiatan rutin SPP dilakukan setiap hari Sabtu, sedangkan BAS setiap hari Jumat. Aksara Nagari hari Kamis dan Petani Li-Terasi setiap hari Minggu. Dari mulai diskusi materi menulis, bedah film, kiat menulis berita, literasi media, dunia fotografi dan desain, hingga me-review buku-buku terbaru yang kami anggap asyik. Hasil dari pertemuan-pertemuan itu kami dokumentasikan dengan baik. Saya juga mengajak media lokal untuk membuat rubrikasi yang khusus menampung karya dari para petani literasi pemula ini. Agar para petani literasi pemula itu merasa termotivasi dan karyanya terapresiasi dengan baik.
 
Siswa
Di rumah, tiap maghrib menjelang terselenggara pengajian anak-anak kecil yang digagas ayah. Peserta pengajian itu rerata anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dalam waktu enam hari ngaji, murid-murid diberi alokasi khusus dua hari untuk mengakrabi dunia literasi. Saya mewajibkan mereka untuk membaca satu buku setiap minggunya. Mengenai pilihan buku apa yang hendak dibaca, itu menjadi hak preogratif mereka.
 
(Senyum Ceria/foto oleh Hamdan Avivi)
Saya hanya perlu merelakan perpustakaan pribadi saya diacak-acak oleh anak-anak lucu tersebut. Hanya saja, dari sekian banyak buku, ada dua item yang kerap menjadi pilihan mereka: a) buku cerita dan b) buku puisi. Baik buku cerita para Nabi, sejarah Indonesia, sejarah lokal Cirebon, cerita para penemu dunia, dan sebagainya. Untuk puisi, mereka menyukai buku-buku puisi terbitan para santri Lirboyo dan Sidogiri.

 
(Berlatih Menilai Sebuah Buku Puisi)

Setelah membaca, di minggu berikutanya, para murid mengaji itu dipersilakan untuk memberikan penilaian terhadap buku tersebut secara bergiliran di depan murid ngaji yang lain. Baik secara lisan maupun tulisan. Saya tak terlalu memaksakan mereka untuk menulis (rangkuman buku, misalnya). Bagi saya, mereka sudah mau membaca dan memahami dengan baik isi buku saja itu sudah merupakan anugerah yang tak terkira.

“Bukunya baguuuuus sekali”, “Saya cinta para pahlawan negeri ini”, “Kasihan ya Sultan Shofiudin (Raja Keraton Kasepuhan) dikhianati pamannya sendiri”, “Cita-cita saya kelak ingin menjadi seperti Nabi Khidir”, “Apakah nama bapak meniru nama penyair besar Chairil Anwar?”, “Ah, bukunya jelek. Padahal sampulnya bagus”, “Thomas Alfa Edison hebat sekali ya?”, “Bahasanya sulit dicerna”, itu di antara beberapa komentar mereka perihal buku yang telah dibaca.

Saya membebaskan imajinasi mereka untuk menilai sebuah buku. Sengawur apapun komentarnya, bagi saya itu adalah indikasi yang baik untuk melatih mereka mengemukakan pendapat secara merdeka. Masalah objektivitas dan kemendalaman mencerna suatu buku, saya kira ini belum saatnya. Hanya saja, khusus untuk bahasa, saya mengajarkan mereka disiplin berbahasa sejak belia. Caranya adalah dengan memberi fotokopi-an secara rutin beberapa kata atau lema dalam kamus bahasa Indonesia maupun bahasa daerah yang musykil ditemui di kehidupan nyata. Hal itu, sungguh, membuat pembendaharaan bahasa mereka kian cakap dan kaya.
 
(Buku adalah Jendela Dunia)
Untuk memancing mereka menulis, sesekali saya dan istri menyelenggarakan lomba menulis kecil-kecilan dengan hadiah yang tak seberapa tapi bermakna. Semisal, saat ini kami sedang menggagas lomba menulis puisi Hari Santri untuk semua murid ngaji dari berbagai kelas. Hadiahnya berupa buku tulis, buku bacaan, pulpen, peci, kerudung, dan beberapa makanan ringan yang bisa dimakan bersama-sama. Saya hendak mengajarkan mereka berkompetisi tanpa harus melupakan hangatnya kebersamaan.

(Melatih Keberanian Berpendapat Sejak Belia)

Kumpulan puisi itu (baik yang menang maupun kalah) jika sudah terkumpul akan saya terbitkan secara swadaya melalui penerbit seorang teman baik yang mempunyai kesungguhan dalam dunia sunyi literasi. Setelah terbit, saya bagikan pada mereka secara cuma-cuma. Percayalah, yang demikian akan kian menggelorakan semangat mereka untuk membaca dan menulis lebih baik lagi. Sebab yang lebih penting dari semangat membaca dan menulis, adalah semangat mengapresiasi sebuah karya.

Dengan cara seperti ini, adrenalin mereka untuk berkarya senantiasa hidup dan menginspirasi. Bahkan salah satu murid ngaji itu kini sudah ada yang menerbitkan kumpulan puisi secara mandiri di sebuah penerbit dan dicetak secara massif. Pencapaian ini sedikit banyak menginspirasi teman-teman lainnya untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih baik lagi.
 
(Karya Murid Ngaji)
Saya tancapkan keyakinan pada tunas muda itu bahwa tradisi literasi adalah syarat mutlak jika sebuah bangsa hendak maju. Sebab, membaca adalah proses agar kita tak mengidap penyakit laten amnesia sejarah, dan menulis merupakan perangkat lunak supaya kita senantiasa memperbaharui sejarah dan mendokumentasikannya dengan baik. Saya juga percaya membaca dan menulis, merupakan pondasi kokoh agar suatu daerah sanggup berkembang dengan baik.

Jujur, saya kagum dengan Jawahral Nehru yang membangun perpustakaan National Book Trust dan Sahitya Academy di India. Melalui perpustakaan itu, ia merancang program pengentasan angka buta huruf. Berkat keberhasilannya, ia mendapat ganjaran dari UNESCO berupa UNESCO’s Noma Literacy Prize pada tahun 1999. Saya juga takjub dengan Thomas Jefferson, penulis The Declaration of Independence AS yang mendirikan The Library of Congress. Dari perpustakaan itulah, Paman Sam banyak memacak sejarah-sejarah gemilangnya. 

Saya juga iri dengan Dik Doank yang membangun rumah baca Kandang Jurang Doank untuk mengedukasi dan memberdayakan anak-anak jalanan yang tak mampu. Begitu juga dengan Gola Gong, yang bisa membuat gerakan literasi Rumah Dunia dari hasil urunan para TKI-TKW di tempatnya hidup: Serang, Banten. Karena ulahnya yang membuat Rumah Dunia, kini Serang menjadi daerah yang menggeliat budaya baca tulis-nya.

Di atas semuanya, saya percaya literasi-lah yang akan memajukan suatu peradaban. Dan saya sadar, negeri ini masih dikerubuti penyakit tuna-baca, tuna-tulis dan tuna-dokumentasi. Kita baru terlepas dari endemi penyakit tuna-aksara, tapi belum juga bisa mentas dari ketiga penyakit kronis lanjutannya itu. Langkah semacam ini mungkin klise dan biasa, tapi bukankah optimisme kadang lahir justru dari hal-hal yang amat sederhana?

Apa yang kami lakukan terhadap murid-murid ngaji adalah lilin yang ingin turut menyemarakkan program pengentasan buta-budaya-literasi yang kini masih menyelimuti negeri. Sebab itu, kita perlu lilin-lilin lain agar gema literasi terhadap siswa bisa lebih menyala lagi.

(Seusai Ngaji Baca-Tulis di MI Al-Anwar Jombang Jawa Timur)

Akhirnya
Saya ingin menutup esai ini dengan mengutip Kakawen dari Pangeran Wangsakerta. Kakawen yang musti kita renungkan dengan takzim dan seksama demi keberlangsungan adab literasi di masa depan: Awignam astu/ swasti/ telas sinusun mwang sinerat sayampratar tan henti/ dening pirang sang manurat sinerat ri Sakakala/ Nawa gapura marga raja/ eka suklapaksa/ Srewana masa/ Nihan ta/ mangdadiyakna dirga yusawastisanira sang manurat sang amaca/ sang anggogoh mwang sang angupakareka pustaka/ sang tasmat yadiyan hana kaluputan athawa kasasar ing serat sastrei/ waraksmakna ta.

“Mudah-mudahan tiada aral melintang. Semoga selamat. Telah disusun dan ditulis siang malam, tiada henti-hentinya oleh sejumlah penulis. Ditulis pada tahun saka: Nawa Gapura Marga Raja (1599 S./1677 M.), tanggal 1 paro terang bulan Srawana (02 Juli). Demikianlah semoga panjang-panjang usianya, bagi yang menulis, yang membaca, yang menyimpan, dan yang memelihara naskah ini. Maka apabila kesalahan atau kekeliruan tulisan sastra ini, maafkanlah” (cuplikan naskah Pangeran Wangsakerta, 1677 M., Rajya-rajya 1 Bhumi Nusantara, Sargah I, Parwa I, bait 224).

Saat ini kita butuh para guru yang memiliki kapasitas keuletan sekaliber Pangeran Wangsakerta. Guru-guru yang setiap inci waktunya mendedikasikan diri untuk mentradisikan pada siswanya agar senantiasa membaca, menulis, mendokumentasi, dan memproduksi karya sesuai dengan ketertarikan masing-masing siswa. Percayalah, hingga detik ini gerakan baca-tulis merupakan piranti paling ampuh dalam membentuk gerabah karakter jiwa sebuah bangsa.  

(Tak Ada yang Lebih Membahagiakan Selain Melihat Mereka Berkembang dengan Daya Cipta)


30 Responses to " Siswa dan Sastra "

  1. Allahuakbar, saya terharu dengan tulisan guruku ini. Benar sekali bahwa "literasi" itu penting di jagat raya ini.
    Mas Anwar, saya akan selalu mendukung dan mengikuti setiap langkah muliamu itu.
    Dan terimakasih telah mencantumkan foto bukuku. ^_^

    BalasHapus
  2. Luar biasa perjuanganmu,semoga mereka selalu semangat untuk menggeluti dunia literasi, sistem pendidikanmu merubah dan memancing bakat literasi seseorang, Entah di pesantren atau d luar sana. Terus lanjutkan perjuanganmu wahai maha guru. Semoga sehat dan sukses selalu.Amiin.....

    BalasHapus
  3. Aku semakin yakin, dalam diri seorang M. Khoirul Anwar KH, terdapat keikhlasan nun penus. Sebab, dedikasinya dalam dunia literasi, bukan hanya sebatas dalam tulis, begitupun dalam gerakan. Bukan apa-apa, sebagai salah satu muridnya, kini kusyukuri karya-karyaku mulai terpublis. Semua berkat didikanmu, Mas. Salam Literasi! Hidup Siswa! Menulislah!

    BalasHapus
  4. Seoarang Rasul yang mulia di dunia pun di perintahkan untuk membaca (اقْرَأْ),ini menunjukan betapa pentingnya membaca dalam peranan kehidupan di dunia dan mengajarkan umatnya untuk selalu memebaca karena membaca adalah kunci dari gudang yang berisi banyak ilmu pengetahuan.
    Kitika kita sudah membaca jangan lupa kita luangkan waktu untuk mengamalkan(menulis) apa yang kita telah baca.Ini seperti yang di dmdawuhkan oleh guru bangsa (Gus Dur) " ketika kita menimjam buku jangan lupa kembalikan buku dan isinya(ilmu yang ada dalam buku)"

    "Saya mendukung apa yang di dukung oleh M.Khoirul Anwar KH". ^_^

    BalasHapus
  5. Aku adalah satu dari sekian ratus petani yang senantiasa menimba ilmu dan meneduh di teras sunyi; kelas literasi itu. Dan jujur, aku justru kerap tak merasa mampu meneguk derasnya ilmu yg dicurahkan oleh sang guru mulia, M Khoriul Anwar KH.

    Terimakasih atas segala ketulusan mu. Semoga Sang Maha Agung senantiasa melimpahkan keberkahan di setiap jengkal langkahmu.

    BalasHapus
  6. Jika seluruh pepohonan di kelupas dan dijadikan kertas,
    Untuk menuliskan jasa-jasa engkau dan beliau (K.H kolil harun gembongan)
    Niscaya tak akan cukup,
    Aku hanya sehelai jebolan dari teras-teras sederhana beliau-beliau
    Yang bersyukur telah dianggap sebagai santrinya,
    Dan aku hanya cangkir kosong
    Yang masih mengharap setetes air suci mu.
    ribuan jari aku pinta untuk merapat diatas dadaku,
    Sembari dua belah bibir ini berucap
    Maafkan segala kesalahan yang pernah kami perbuat,
    Semoga rahmat dan keutamaan tuhan tetap untu beliau-beliau,
    Aminn...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aminn...dan semoga kita sebagai santri menjadi nasi yang matang yang siap di sajikan untuk orang lain

      Hapus
  7. Saat saya membaca tulisan ini dari awal hingga akhir, rasanya hidup ini tak ada artinya jika tidak dihabiskan untuk melakukan sesuatu yang memiliki manfaat bagi sesama. Dengan cara menyebarkan hal positif seperti yang dilakukan; Kang Anwar ini, saya yakin di akhir zaman yang generasi mudanya semakin hari kian tekun berlama-lama menatap layar HP pintarnya, ketimbang tekun menggali ilmu dengan membaca buku, sedikit demi sedikit walaupun tidak mudah, akan menumbuhkan kecintaannya pada dunia baca tulis dan sedikit mengabaikan gadget yang setiap hari digenggam dan ditatapnya. Semangat dan sehat terus kang, agar generasi muda tidak anti membaca dan menulis ��

    BalasHapus
  8. Subhanllah... Melihat tulisan ini, saya teringat beberapa tahun silam. Saat saya belajar didunia tulis menulis bersama kak khairul anwar. Saya ingat betul bagaimana beliau mengajarkan kami anggota Serikat Penulis Pelajar (SPP) SMP Yapi Palimanan tentang bagaimana dunia tulis menulis dan pentingnya literasi bagi suatu bangsa. Banyak hal yg saya dapat dari komunitas tersebut. Dan Alhamdulillah hingga kini saya merasakan betul manfaat dari semua yang saya pelajari saat itu. Selain kami, anggota SPP, saya rasa semua bangsa ini khususnya generasi muda wajib mendalami dunia literasi melihat begitu pentingnya literasi bagi kemajuan suatu bangsa. Agar kita mampu membangun kembali peradaban bangsa yang sempat menurun karena kurangnya minat baca dan tulis di semua kalangan.

    BalasHapus
  9. Selamat... semoga kedepan semakin gilang-gemilang.

    BalasHapus
  10. Allah curahkan Kalam indahnya melalui qalam yg agung di dalam Alquran yg suci.

    Tetap berkarya dalam balutan keilmuan dan nuansa Istiqomah mas Anwar.
    Walau perjumpaan kita hanya sebentar, namun saya dapat mengetahui sesuatu bahwa "menulis itu mengasyikkan".
    Ya walau saya sendiri belum punya tulisan yang bisa di nikmati oleh saya sendiri dan orang lain.
    Afdholul a'mal adwaamuha wa Inna qolla ..🙂

    BalasHapus
  11. Meski tak pandai menulis, aku percaya bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan abadi,

    Untuk, mas anwar semangat terus menularkan virus menulis- membaca kepada kami yang masih buta-tuli tentang itu.

    Untuk tulisan itu, sungguh sangat luar biasa. Setelah membacanya, seperti ada seonggok duri yang menancap di kepala dan dada, seolah mengisyaratkan bahwa hidup hanya sekali, selamanya harus berarti.

    So, mari menulis, gaungkan sebagai gerakan semesta!! Jangan kalah sama Radtya Dika,,,hahaha.

    BalasHapus
  12. Setelah mmbaca tulisan ini sana sadar bahwa kehidupan didunia hanyalah fana,,oleh sebab itu alangkah indahnya jika kehidupan yang fana ini membuat kita menjadi orang yg berguna dan bermanfaat karena yang bermanfaat pasti akan di kenang walau raga sudah tiada..
    Semoga saja penulis mau menanamkan bibitnya kepada kami yang ada di wilayah cirebon timur

    BalasHapus
  13. Mantap jiwa mas, semoga tinta tulisanmu semakin mencerahkan tiap-tiap jiwa, mas!

    BalasHapus
  14. Dunia literasi memang belum banyak dijamah generasi muda. Tapi dengan gerakan-gerakan kecil yang digagas Kak Anwar, alhamdulillah sedikit banyak telah mengenalkan arti penting literasi untuk peradaban bangsa, termasuk kepada saya pribadi. Terimakasih untuk ilmu yg telah ditularkannya. Semoga kesuksesan selalu menyertai Kakak.

    BalasHapus
  15. Memang benar, jika kamu tidak pandai merangkai kata-kata di mulut, rangkailah kata-kata tersebut dalam tulisan. Dengan banyak membaca pun, kita akan semakin ingin menjadi 'tokoh' di balik tulisan tersebut. Dan minat seseorang dalam menulis pun akan semakin besar bila ada yang menggerakkan, mendukung, dan memotivasi.

    Terima kasih atas perjuangannya dalam menebar ilmu & kebaikan Mas Anwar. Semoga generasi muda masa kini tidak melupakan apa itu arti penting dari membaca & menulis. Sukses dan sehat selalu :)

    BalasHapus
  16. Tulisannya sangat menginspirasi. Membuat benih-benih semangat untuk membudayakan literasi kembali tertanam. Apalagi perihal mengajak anak-anak untuk sekadar membiasakan diri agar membaca buku. Saya sangat mendukung.
    Sukses untuk ke depannya, Mas Anwar.
    Semangat menulis untuk peradaban.
    Salam literasi :)

    BalasHapus
  17. Sangat terharuu.literasi memaang harus kita tancapkan pada anak untuk lebih terpatri akan budaya membaca

    BalasHapus
  18. mantaps mas, setidaknya walau saya akui saya bukan seorang yg amat minat dalam hal membaca, namun saya selalu senang dan sangat bangga dengan orang" yg suka dan gemar membaca,, dan tulisan ini juga sangat memotifasi pembaca, terutama diri saya, karena terkadang saya bingung akan saya manfaatkan bagaimana diri ini,
    setidaknya untuk saya pribadi ada tambahan rencana untuk melangkah nanti....
    Kesuhun mas,
    Ngapuntene, nda berani berkomentar masalah dunia sastra dan literasi karna saya tak banyak mengerti,
    tapi yg paling penting, semua yg mas anwar critakan untuk berbagi pada kami anak negeri...
    Kesuhun pindah malih...

    BalasHapus
  19. Ini patut di acungi jempol 👍👍👍

    BalasHapus
  20. Saya sangat Terharu sekali membaca nya ,. Saya akui saya tidk suka membaca , tpi setelah baca tulisan mas anwar . tidak ada satu katapun yg terlewatkan ,.. 👍👍👍
    Lanjutkan :)

    BalasHapus
  21. Sbagai pendidik anak-anak belia, sy merasakan kesulitan utk menyemangati anak2 supaya rajin baca. Tp setelah membaca tulisan ini sy mendapat energi utk menerapkan metode br. Trmksh krna sdh mau berbagi. 😊

    BalasHapus
  22. Kak anwar adalah orang yang punya semangat yang tak kenal waktu, tak kenal lelah, dan tak pernah mundur untuk memajukan dunia literasi. Khususnya di kabupaten Cirebon.

    BalasHapus
  23. Alhamdulilah, tulisan bung anwar nongol lagi, beliau yang pertama kali memberikan pencerahan pada ku bahwa literasi bukan terasi, apalagi sastra yang tataran ilmu nya lebih tinggi, orang-orang sudah terlallu menggampangan dengan dua makna itu, Literasi dan Sastra. Dan kini beliau telah menyebar virus kepada ku, heheheh, melalui pena.

    BalasHapus
  24. Tulisan yang menginspirasi aku kamu dan kita semua. Semoga dengan adanya tulisan ini kita semakin sadar bagaimana pentingnya membaca untuk sebuah perubahan. Kalo bukan kita mau siapa lagi?

    BalasHapus
  25. Mugi mas anwar di pasihan sehat kangge ngaistiqimah keun ieu perjuangan.
    Mugi mas anwar di pasihan rezki halal tur jembar kangge ngaistiqomah keun ieu perjuangan.
    Mugi tetep jadi bagian ti perjuangan mas anwar.
    Mugi tumbuh mas anwar yang lainnya.
    Semoga☺

    BalasHapus
  26. Alhamdulillah belajar banyak dari tulisan kakak, sangat menginspirasi terutama untuk calon-calon guru kelak. Mantap kak, terharu. Diperbanyak juga kak tulisan seperti ini supaya makin banyak yg bisa terinspirasi. Sukses terus kak.

    BalasHapus
  27. luar biasa... jadi greget setelah membaca tulisan kak Anwar ini, benar-benar menginspirasi. Semangat dan sukses selalu kak...

    BalasHapus
  28. Its amazing, good job I like it, bagi saya tulisan ini sangat menginspirasi

    BalasHapus