(Belajar pada Anak
Punk)
Penulis sempat tersentak ketika pada akhir tahun 2011
lalu, pemerintah daerah Aceh men-sweeping komuntias-komunitas Punk yang
tumbuh di semenanjung serambi Makkah itu. Keterkejutan ini bertambah perih oleh
komentar Abdullah Ali, seorang Guru Besar yang berjuluk “sosiolog”di harian
ini. “Anak punk lahir karena rendahnya cara berpikir, berpengetahuan dan
beragama”, katanya (KC, Liputan Khusus, 23/02). Apa yang salah dengan
pilihan hidup menjadi seorang Punk hingga harus digelandang dan dicaci layaknya
pesakitan di meja hijau?
Kilas balik
Ketika daratan Eropa telah mencapai puncak penemuan teknologi,
sebagian penghuninya justru merasa gusar dan tersisih dari keberhasilan itu.
Terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemelaratan. Seperti buruh
pabrik, pekerja swasta amatir, dan karyawan perusahaan kecil. Apa sebab? Karena
di balik semua kesuksesan besar itu, mereka harus dipaksa menjadi korban.
Mereka merasa hak-hak dasarnya tidak dipenuhi oleh raja-raja era industri. Gaji
di bawah standar, sistem kerja kontrak (Outscharcing), PHK, dan
mekanisme kerja yang tak kenal waktu adalah diantara bukti kepincangan sistem
para pemegang kendali abad industri kala itu.
Fenomena inilah yang akhirnya mendorong para pekerja, terutama
yang muda-muda, untuk berontak. Awalnya bidikan mereka hanya terbatas kepada
sistem tata sosial yang timpang. Lambat laun, semua wilayah kehidupan menjadi
sasaran. Tidak hanya sistem pemerintahan, tapi semuanya: budaya, sosial,
politik dan bahkan agama. Mereka tabrak semua hal yang pada saat itu dianggap
tabu. Cara mereka berontak pun amat beragam. Dari mulai merombak tata busana,
tata fisik, sampai tata pikir.
Tata busana bisa ditandai dengan kegemaran mereka untuk selalu
menggunakan jeans ketat penuh sobekan, jas belel sarat tambalan dan
sepatu boat mirip aparat. Fisik juga tak kalah garang. Rambut dipangkas ala mohawk
dan skinhead (plontos), tindik dan tato menghiasi hampir sekujur organ tubuh. Tata
pikir? Mereka umumnya menyukai sesuatu yang tak wajar. Bahkan bisa
dikategorikan ekstrim dan anarkis. Sebab itu, kesukaan ini pun merambat ke
organisme pikiran dan perilaku mereka.
Maka
tak heran, setiap kali ditemukan sesuatu yang menurut mereka “negatif”, spontan
mereka kritik dan lawan. Seringnya perlawanan itu diekspresikan lewat musik,
saking terbatasnya media sosialisasi yang dipunyai. Terbukti, band-band semacam
Sex Pistols, The Stooges, Dead Kennedys Rancid, Nazi
Punk, The Exploited, pernah
bertengger lama di jajaran musik dunia, meski tak sampai kaliber The Beatles
atau Queen yang legendaris itu.
Ada musik maka ada juga
atribut. Atribut membutuhkan slogan. Begitu juga slogan, selalu butuh akan
tulisan. Maka jadilah mereka membuat tulisan-tulisan propagandanya di sembarang
tempat (yang jelas tidak di papan reklame, sebab mereka sangat benci
kapitalisme. Sponsor, iklan, perusahaan besar, menurut mereka adalah bagian
dari sayap-sayap para kapitalis). Mulai dari sampul kaset, dinding-dinding
swalayan, sekolah, tiang listrik, terminal dan stasiun. Pokoknya segala tempat
yang biasa disinggahi masyarakat banyak. Tujuan mereka jelas, yakni agar suara
pemberontakannya didengar dan direnungkan.
Lebih dari itu, mereka juga
ingin eksistensinya diakui, tidak terpojokkan. Dan, ternyata mereka berhasil.
Kini hampir mayoritas masyarakat Eropa menerima mereka (beserta dengan semua
kenyelenehan
yang dibawanya) sebagai bagian dari warga semesta yang juga perlu diperhatikan
nasibnya. Diberi ruang gerak yang luas, bila perlu difasilitasi, seperti yang
belum lama ini dilakukan pemerintah Inggris. Mereka para pemberontak inilah
yang dikemudian hari masyhur dengan sebutan kaum Punk/ers (secara harfiah
bermakna: pemuda yang bodoh, tidak berpengalaman dan tidak berguna).
Imitasi tanpa substansi
Lambat laun, gejala seperti di
atas juga menular ke negeri ini. Memang, warga Indonesia begitu cepat tertular
dan sangat hobi meniru, meski tak tahu asal usul dan tujuannya. Ini bisa
dilihat, utamanya, ketika pada dasawarsa 80-90 an. Anak-anak muda, umumnya yang
hidup di kota besar, secara patriotik mengimitasi gaya hidup ala kaum
buruh Eropa itu. Membuat komunitas (baca: geng-gengan) sendiri, berpenampilan
serta berperilaku urakan, senang menciptakan kerusuhan (baik antar sekolah, desa,
atau sekedar antar geng), dan tak hirau pada tata atur sosial.
Sayang, kebanyakan aksi mereka hanya berangkat dari
luapan kenakalan remaja saja, yang selalu ingin tampil beda, semau gue,
tanpa tahu arti serta arah dan tujuannya yang secara apik telah dicontohkan
kaum buruh Eropa. Memang,
itulah anak muda Indonesia. Itulah kita! Padahal, punk is not a fashion. Punk is the way of
life (punk bukanlah tatabusana atau gaya. Punk adalah ideologi/jalan
hidup).
Tapi tunggu, itu tahun 80-90
an. Sekarang? Tentu beda, meski tidak seberapa. Ini penulis buktikan sendiri
dengan cara ikut melebur ke dalam dunia antah berantah khas anak-anak Punk “lokal”. Meski
sejujurnya, hanya di beberapa komunitas saja penulis menemukan para Punkers yang
benar-benar menjadi “reinkarnasi” paling representatif dari kaum buruh Eropa
abad 19. Meski model dan intensitasnya jelas tidak sama.
Sebab, seiring berderapnya
zaman, jangan harap kita bisa menjumpai mereka “berdakwah” dengan pola lama
seperti pendahulunya. Lewat coretan di dinding, misalnya. Karena mereka yakin,
upaya demikian disamping amat primitif juga tidak lagi efektif. Banyak media
lain yang lebih canggih dan mendidik yang bisa dimanfaatkan sekarang. Dari
mulai membuat buku, hingga merancang jaringan berskala internasional via
internet. Bahkan pertalian organisasi mereka diakui lebih tertata dari pada
ormas kesohor semacam NU dan Muhammadiyah. Meski sudah maju sepesat ini,
aktifitas dakwah khas tempo doeloe tidak semua ditiadakan. Sebab dalam
beberapa hal, seperti membuat band sebagai media sosialisasi, juga masih
dilakukan.
Reinkarnasi sesungguhnya
Beberapa komunitas/band Punk itu diantaranya ialah Dispute dan
Marjinal. Satu yang masih
tersimpan lekat dalam hati, yaitu beberapa patah kata yang tersimpul dalam
sampul kaset Dispute: “Banyak orang mengecam kami sebagai sampah. Sampah
yang hanya mengotori wilayah sosial, budaya, ekonomi juga agama. Menurut mereka
kami tak lebih dari sekedar beban. Padahal semua cap itu tak semua benar. Kami
tetap manusia beragama, taat aturan sosial, turut berkontribusi dalam kreasi
budaya, serta tak pernah turut menambah saldo utang negara. Hanya saja cara
kami mengungkapkan itu semua memang sedikit berbeda dari masyarakat umumnya.
Intinya, kami tetap cinta sepenuh hati terhadap negeri ini. Tapi kami benci
dengan sistem yang ada”. Tidak dikira ujar ini meluncur dari mereka yang selama
ini kita pandang sebelah mata, bukan?
Ternyata ini tidak berhenti
pada sekedar kata-kata, melainkan mereka buktikan dengan aksi nyata. Terbukti,
selain menciptakan band, mereka juga membuka sendiri rumah produksi rekaman
partikelir (indie label) dengan cara urunan.
Ini sebagai tanda komitmen mereka untuk tetap independen dalam segala hal,
tanpa harus bergantung pada siapa pun. Termasuk di dalamnya adalah dalam hal pengembangan
karir diri. Jadi kredo “no future” (tanpa masa depan) jelas sudah tak
relevan lagi disematkan pada komunitas ini. Mereka kini menggaungkan konsep
D.I.Y: Do-it-yourself atau berdikari alias
berdiri di atas kaki sendiri. Sebab bagi mereka, Punk adalah merayakan
potensi
untuk melakukan apapun dengan kemampuan sendiri.
Tidak ada promotor, maneger
atau pun sponsor. Mereka menggarapnya sendiri secara serentak bersama
masing-masing kelompoknya. Sudah demikian, penjualan kaset pun (yang kadang
hanya mampu menembus pasar distro) tidak masuk ke kantong masing-masing
personil. Melainkan royalti kaset tersebut dikucurkan untuk kembali mengadakan
festival musik, membuat selebaran propaganda-kritik, diskusi atau sekedar untuk
slametan bersama. Bahkan komunitas Punk Muslim di Pulogadung,
Jakarta Timur, selalu menggelar pengajian setiap malam selasa dan malam jumat.
Isi pengajian itu tak melulu mendedah hal-ikhwal akhirat, tapi juga masalah
keterampilan berwirausaha. Buktinya, saat ini komunitas mereka sudah punya
warung makan bernama Warpunk dan kios pulsa bernama Punkcell.
Ini baru menyentuh aktivitas
yang berkaitan antar kelompok atau individu kaum Punk sendiri. Bagaimana dengan
aksi yang bersifat sosial? Apakah kelompok seindividualis mereka masih punya
kepekaan terhadap problem sosial? Tak dinyana, ternyata mereka pun berkomitmen
dalam hal pemulihan krisis sosial (terutama yang terkait dengan soal
pengangguran). Salah satu dalilnya ialah, disamping mempunyai rumah produksi
sendiri, mereka juga membuka kran-kran penghidupan lain sebagai pembelajaran
kemandirian pada setiap anggotanya –dan sesekali masyarakat umum.
Diantara modusnya yaitu dengan
bergerak pada bidang konveksi (sablon kaos dan distro), percetakan dan offset
(undangan, stiker, spanduk, baliho, desain, atau buku hasil suntingan dari
diskusi yang mereka gelar), hingga yang sekedar memproduksi aksesoris ala Punk.
Seperti yang dilakukan band Marjinal setiap kali menggelar konser. Mereka
tak hanya mendendangkan kritik sosial-politik, tapi juga memberikan kursus
sablon dan cetak stiker gratis pasca-konser.
Bahkan, “kita juga sangat aktif dalam
kegiatan Karang
Taruna dan kerja bakti halal
bihalal dengan warga setempat. Ini adalah bentuk kepedulian kita dengan warga
tempat di mana kita tinggal”, kata
Dikta, jubir Marjinal. Ini mungkin yang begitu humanis dan menyentuh, mereka
juga mempersiapkan kas khusus (dana sosial) untuk berjaga-jaga jika sesekali
ada anggota atau famili anggotanya yang memiliki hajatan: mulai pernikahan,
persalinan, sunatan, kecelakaan, dan bahkan kematian.
Jika mau menelusuri lebih dalam, tentu masih banyak
keunikan dan “kelebihan” dari komunitas ini. Seperti komunitas Raincity
Hardcore Punk di Bogor misalnya. Komunitas Punk ini mendakwahkan diri
mereka sebagai penganut ideologi straight edge. Ideologi ini pada
intinya mengajarkan mereka untuk hidup vegetarian, menjauhi rokok, dan apalagi
narkoba. Membaca ini, kita semua sadar, bahwa tidak semua komunitas Punk
seperti yang Abdullah Ali pikirkan.
Akhir yang manis
Sungguh mereka tipe para pemberontak
yang manis dijadikan cerminan! Musikalitas di tangan mereka sudah berhasil
menjadi amunisi perubahan sosial yang ampuh, tak sekedar cuma menjadi lahan
eksploitasi materi yang banal dan menjadi trend saat ini. Apalagi hanya sekedar
menjadi luapan rasa cinta dan rindu khas anak muda yang kekenesan. Dari sini,
musik menjadi arena hidup yang segar dan membebaskan, tanpa harus terjerumus
dalam rambu-rambu kapitalisme pasar yang mencengkram, cinta dua anak manusia
yang klise, atau tuntutan artifisial lainnya.
Pantas saja jika I. Bambang Sugiharto,
seorang guru besar filsafat UNPAD Bandung, menaruh keyakinan bahwa: kelak bangsa ini akan menjemput pencerahannya
di saat kaum Punkers (bukan praktisi atau akademisi) telah menempati
posisi dominan dalam stuktur sosial. Pendapat ini juga diamini oleh M. Soffa
Ihsan, seorang intelektual muda yang menempuh jalan hidup sufi. Indonesia bakal
berubah maju jika yang memegang kendali adalah kaum Punkers dan para sufi
(bukan oleh ustadz atau kyai), katanya menambahkan secara berani. Nah!
Tak perlu melakukan riset
apapun untuk membuktikan kebenaran pernyataan dua pakar di atas. Meski keduanya
masih terkesan spekulatif dan sensasional. Biarlah sejarah yang akan
menjawabnya. Bagaimana? Wallahu A’lam.
0 Response to " Musik, Pemberontakan dan Perubahan Sosial "
Posting Komentar