(Untuk KH. Hussain Muhammad)
Mardud bingung. Setelah ikut
seminar tentang kesetaraan jender oleh para aktivis perempuan, ia jadi
bertanya-tanya.
“Apa benar laki-laki dan
permpuan itu setara hak dan kewajibannya? Apa iya, dogma agama selama ini lebih
membela pihak laki-laki? Kenapa sih, perempuan yang merasa didiskriminasi
selalu memposisikan dirinya pada pertentangan oposisi biner (harus ada penguasa
dan dikuasai), bukan malah berkompromi dan bergandeng tangan untuk selalu
sama-sama memelihara keharmonisan di bumi Tuhan ini? Bukankah feminisme itu
adalah jenis perbudakan baru (diperbudak hak, prestise dan karir) yang diimpor
oleh Barat?” Itulah di antara pertanyaan yang menyumbat benak Mardud.
Sesampainya di pondok, Mardud
bertemu Maghrur, teman karibnya, yang sedang asyik membaca buku. Memang, kedua
orang ini bagaikan dua sisi gambar dalam koin yang tak terpisahkan. Meski
keduanya juga kerap berbeda pandangan, tapi tetap bisa harmonis dan sejalan.
Sebab, mereka berdua beranggapan, bagaimanapun, masing-masing dirinya tetap
punya kelebihan dan kekurangan. Maka, berteman dengan orang yang tidak
“se-aliran” mutlak dibutuhkan, untuk media introspeksi dan mengisi.
Tak berselang lama, Mardud
langsung menumpahkan gundahnya pada Maghrur. “Bagaimana ini. Saya ikut seminar
bukannya nambah pintar, malah semakin bebal. Bagaiman tidak? Wong
pembicara yang hadir bukannya memberi solusi, malah justru membuat kepala
peserta pening bukan main. Sepertinya, mereka memang hanya bisa membual
ketimbang menyelesaikan persoalan”, katanya ketus pada Maghrur.
“Ada apa toh, yang jelas dong kalau ngomong.
Datang-datang kok langsung marah-marah. Bukannya bawa kopi untuk saya yang lagi
kere ini”, timpal Maghrur tak tahan ingin menanggapi.
“Daripada panjang lebar, mendingan
saya langsung ke pokok masalah saja. Begini, menurut kamu apa ciri-ciri
perempuan ideal?”, ujar Mardud simpel dan kesal.
“Perempuan ideal adalah mereka
yang mau berkorban untuk agamanya. Bukan sebaliknya, mengorbankan agama demi
kepentingan pribadinya!”, jawab Mahgrur spontan dan meyakinkan.
“Seperti Siti Khodijah istri
Nabi saw, yang mengorbankan seluruh jiwa, raga serta hartanya demi perjuangan
suci sang suami: menegakkan agama Islam! Atau si gadis jelita Fathimah, putri Hujjatul
Islam Imam Ghozali, yang merelakan kecantikan serta keremajaanya kepada
seorang tua renta, Imam Zamakhsyari, pengarang tafsir al-Kasyaf yang
fenomenal itu. Ia (Fathimah) melakukan semua itu demi tegaknya akidah Islam
yang benar!”, jawab Maghrur berapi-api menambahi.
“Kalau Siti Khodijah aku sudah
maklum itu, tapi untuk yang Fatimah putri Imam Ghozali rasanya baru ini aku
mendengarnya. Bisa tolong kamu record ulang cerita itu padaku!”,
sekonyong Maghrur menimpali.
“Ah, kamu sih jarang turut
pengajian Kyai Jamal setiap hari Senin malam. Kamu lebih senang menggunakan
senin malam untuk berselancar di dunia maya. Padahal kan di pengajian itulah satu-satunya media enlighment
batin kita setelah satu Minggu dibeliti urusan duniawi. Makanya……, khotbah
Maghrur di sela..
“Iya…ya…”, telinga Mardud panas
tak tahan menerima berjuta kritik Maghrur.
Ya sudah, begini alur cerita
yang sempat aku tangkap dari penuturan pak Kyai. Kata beliau, dulu antara Imam Ghozali dengan
Imam Zamakhsyari terlibat perdebatan sengit mengenai konsep fi’il (tindakan)
Allah swt dan manusia. Imam Ghazali yang mewakili Madzhab Sunny berpendapat
bahwa fi’il Allah itu absolut (mutlak) dan universal. Fi’il itu
membawahi semua fi’il makhluk yang ada. Sebaliknya, fi’il manusia
sangatlah terbatas. Bahkan tidak punya sama sekali. Oleh sebab itu, kita
sebagai manusia harus ikhtiar (berusaha) sembari menyerahkan sepenuh hati
hasilnya pada Tuhan.
“Tidak! Aku bersilang pendapat
dengan engkau Ghozali, tanggap Imam Zamakhsyari lantang. Menurutku, kata pioniir
tradisi Mu’tazilah ini, manusia mempunyai kehendak dan tindak penuh (free
will and free act) atas dirinya sendiri. Manusia dapat independen dalam
ber-fi’il, tanpa ada intervensi lain dari pihak luar. Termasuk
intervensi Tuhan sekalipun. Jadi ada jarak diameteral yang membedakan antara fi’il
Tuhan dan fi’il manusia. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri.
Itulah sebab sebenarnya manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Nasib
berada di tangan masing-masing manusia!”, timpa Zamakhsyari berapi-api.
“Anehnya, kedua Imam besar
tersebut tidak hanya mengajukan argumen Burhani (nalar logis) saja,
melainkan juga fashih mencukil dalil-dalil shohih dari Al-Qur’an dan Hadits”,
tutur Maghrur membubui ceritanya.
Setelah berlangsung perdebatan
sengit, lajut Maghrur, akhirnya Imam Ghozali berinisiatif untuk menyerah. Tapi
bukan menyerah layaknya seorang pecundang. Melainkan penyerahan yang justru
menjanjikan kemenangan tentunya. Toh, masih ada babak dua, tiga dan
seterusnya
Ghozali pun undur diri dan
langsung beringsut ke rumah. Sesampainya di rumah, beliau disambut oleh istri dan putrinya,
Fathimah. Sambil duduk beristirahat Imam Ghazali menuturkan semua kisah
perseteruannya kapada dua mataharinya tersebut. Tak ada secuilpun yang tersisa
dari cerita Ghozali, semua diutarakannya.
Ajaib, entah dapat ilham dari
mana, setelah bercerita Ghozali spontan mendapat ide brilian. Apa itu? Yakni,
untuk menguatkan pendapatnya tentang konsep fi’il harus dilandasi fakta
dan bukti yang riil. Bukankah kaum Mu’tazilah begitu gemar dengan dalil-dalil
logis plus praktis? Akhirnya beliau pun mecari-cari apa gerangan yang
dapat membuat Imam Zamakhsyari tersadar?
Eureka! Bukankah Imam
Zamakhsyari sudah berumur uzur, bagaimana jika dinikahkan saja dengan putri
jelitanya, Fatimah? Pasti sang Imam Mu’tazilah itu akan mau, dan sesegera
mungkin mangakui “kekeliruannya”. Caranya? Bukankah energi seorang renta dengan
anak remaja begitu terpaut jauh yang sangat (terutama dalam gairah biologis).
Dan saya yakin, Imam akan ampun-ampunan dengan anak saya” pikir Ghozali kala
itu.
“Perlu diketahui” sela Maghrur
mencoba meluruskan cerita. ”Imam Ghozali melakukan inisiatif itu bukan sebab
hendak mengeksploitasi anak gadisnya, Fatimah. Tapi murni bertujuan agung nan
suci: memperjuangkan ajaran akidah agama yang benar. Buktinya, beliau tidak
memaksa Fatimah. Malahan, Fatimah sendiri yang langsung mengapresiasinya secara
antusias dan positif. Karena Fatimah sadar sedari awal, bahwa dakwah agama
lebih penting dari semuanya. Maka, pengorbanan menjadi suatu yang niscaya. Toh,
jika dibandingkan dengan pengorbanan pejuang-pejuang Islam perempuan terdahulu
(Siti Hajar, Siti Asyiah, Siti Khadijah, misalnya), pengorbanan yang dilakukan
Fathimah tak ada apa-apanya. Sejujurnya, inilah visualisasi paling indah dan
harmonis tentang sebuah epos perjuangan, pengorbanan, dan visi antara orang tua
dan puterinya dalam kaitannya dengan agama.
Rencana sudah tersusun, tinggal
pelaksanaannya saja. Jadilah Imam Ghozali bertandang ke kediaman Imam
Zamakhsyari guna membahas penawaran emas itu. Meski awalanya sang Imam
Muktazilah itu agak enggan, tepatnya malu-malu, tapi pada akhirnya beliau
mengiyakan juga. Siapa yang tak mau mendapat rizqi nomplok seperti itu?
Resepsi pernikahan pun digelar.
Tamu-tamu dari seantero Bashrah dan Kuffah berdatangan hingga larut malam. Dan,
tibalah saat di mana kedua mempelai itu harus menapaki malam terindah yang
lazim disebut “malam pertama”. Malam pertama yang bakal menentukan laju
sejarahnya konsep fi’il di
kalangan para Teolog Islam.
“Ronde” pertama sudah dilalui.
Fathimah masih segar bugar. Sebaliknya sang Imam, nafasnya mulai terengah-engah
tak terkendali. Setelah ambil jeda sejenak, Fathimah kembali merengek minta
ronde kedua agar sesegera dilakukan. Sang Imam masih mampu mengabulkan, meski
dengan setengah hati. Kelar ronde dua, tibalah pada ronde ketiga. Fathimah
mengiba, sang Imam sudah ampun-ampunan tanda tak ada lagi daya yang tersisa.
Pada titik inilah, rencana itu
digolkan. Fathimah menyela sang suami; “Bagaimana sampean ini? Katanya fi’il
manusia itu independen dan kuat. Tapi kok,,,,keok?”
Seperti tertimpa langit lapis
tujuh, sang Imam tersadar dirinya telah dijadikan “kelinci percobaan” oleh
rival pemikirannya yang bukan lain adalah mertuanya sendiri, Imam Ghozali. Tapi
meski begitu, berkat rahmat dan petunjuk-Nya, sang Imam menyadari kekeliruruan
pemikirannya tentang fi’il selama ini: bahwa fi’il manusia memang
dla’if dan terbatas.
“Oleh sebab itu, manusia tidak
usahlah belagu dan sok kuat. Karena memang keterbatasan dan kelemahan
sudah menjadi fitrah kita dari semula. Termasuk keterbatasan dalam hal
bertindak dan berupaya. Tidak ada itu namanya free will atau free ask
untuk manusia. Apalagi Will to Power seperti yang dikhotbahkan
Nietcszhe, Filsuf gila dari Jerman, seabad silam! Itu keblinger! Semua
ada rambu-rambu dan batasnya!”, kata Maghrur menyimpulkan ceritanya dengan
tegas.
Mardud seketika tersadar.
Betapa tepat penjelasan temannya tentang perempuan ideal. Akhirnya, Mardud pun
menyesal, kenapa uangnya yang tinggal Rp 25.000 itu ia buang percuma dengan
cara ikut seminar tentang kesetaraan jender.
“Andaikan uang tadi saya
gunakan untuk mentraktir ngopi Maghrur, dan membahas tentang jender
secara lebih mendalam, tentu saya tak akan menyesal seperti ini”, pikir Mardud
kemudian.
cerpen yang cerdas! bahasanya juga mengalir,,, dimuat di media mana itu??? tidak kelihatan nama korannya,,hehe
BalasHapusDi Harian Kabar Cirebon, Rifka.
HapusTerimakasih sudah mampir. Semoga kamu jadi "Perempuan Ideal". Hehehehe