Setiap
kali membincang Indonesia, entah kenapa, ingatan saya senantiasa tertuju pada
Margareta Astaman. Bukan pada Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, Sutan Sjahrir, M.
Yamin, Tan Malaka, Semaun maupun bapak pendiri republik yang lainnya.
Margie,
begitu sebutan akrab dara manis itu, adalah seorang gadis Indonesia-Tionghoa
yang pernah menimba ilmu di Nanyang
Technological University (NTU) Singapura. Ia lahir dan hidup dengan jiwa,
pikiran dan habitus orang Indonesia. Meski secara fisik mungkin tidak. Sejak
dari pergaulannya yang intensif dengan warga Singapura itulah, Margie
dihadapkan pada dilema rasial-kebangsaan yang berkepanjangan. Dilema antara
mempertahankan menjadi Indonesia, atau justru berpura-pura –meski sangat
enggan- terpaksa menjadi China.
Ini bisa
kita jumpai di salah satu buku “curhat” terbarunya, Excuse-Moi[1]
(Penerbit Buku Kompas, 2011). Buku dengan kemasan teen-lit yang menukik dan menggelitik ini benar-benar
menggedor-gedor kepala saya selama beberapa hari. Lantaran, kita dapat melihat
betapa Nasionalisme yang tak dipahami dengan khidmat itu sesungguhnya menyimpan
trauma sosial dan katarsis identifikasi. Nasionalisme kerap membuat kita buta
dan tuli.
Membaca buku Excuse-Moi,
saya tertawa, tersedu sekaligus malu.
Bagaimana tidak? Dengan entengnya Margie “menelanjangi” semua ambiguitas kita
sebagai ras, bangsa, negara dan
lebih jauh lagi sebagai manusia. Margie dengan santai mengudar
(hampir) semua hal yang kita anggap tabu selama ini. Baginya yang tabu tidak
untuk disembunyikan, tapi untuk ditafakuri agar nantinya dapat tercipta
alternatif-alternatif baru dalam memandangnya. Karena sejatinya, tak ada
satupun rumusan yang baku
dan permanen di
dunia ini. Termasuk rumusan mengenai ras, kebangsaan dan agama.
Salah satu hal ultrasensitif
yang
kental dikuliti Margie adalah masalah ras atau etnisitas. Bagi Margie,
klasifikasi tentang ras
hanya berpotensi menimbulkan kekacauan paradigma berpikir kita dalam melihat dan
mengidentifikasi jati
diri seseorang. Di samping sudah jadul dan tak relevan, pembahasan ras, diakui
atau tidak,
tak dapat membuahkan nilai positif apapun.
Karena jati diri,
ekspektasi dan naluri manusia sudah cukup dilacak dari koordinat geografik di
mana si manusia itu berada. Meskipun rasnya -maaf- China, jika tinggalnya di
Indonesia, tentu akan memiliki kecenderungan berpikir, sense dan adati seperti halnya pribumi
Indonesia. Bahkan, Margie dengan terang-terangan menolak ketika sang
ibu mengajaknya untuk tinggal kembali di bumi leluhurnya. Jangankan tinggal di
bumi nenek moyang, untuk sekadar menyukai makanan khas China maupun tradisi
Barongsai-nya pun ia enggan. Ia lebih mememilih Indonesia sebagai rumah tanah
tumpah darahnya.
Dan
sungguh, masih banyak Margie-Margie lain yang bertebaran di sekeliling kita.
Mereka-mereka yang meskipun secara biologis berdarah Tionghoa, tapi tak mampu
berbahasa Hokkian, tak sanggup menikmati lagu Mandarin dan menganggap China
sebagai negeri asing. Lantaran jauh di pedalaman nuraninya telah tertancap sang
Saka dan butir-butir bait Pancasila. Indonesia telah mengurat-menadi di sekujur
aliran darah dan jiwanya.
Meski
ternyata perjalanan untuk menjadi Indonesia tak semudah membalik telapak
tangan. Apalagi untuk konteks masyarakat Tionghoa sebagai pendatang. Kita tentu
ingat bagaimana dulu Pramoedya Ananta Toer pernah dijeruji besi hanya lantaran
menulis Hoakiu Indonesia –esai
panjang yang berisi pembelaan terhadap minoritas Tionghoa. Pram dituduh
berkhianat dengan cara menjual
negara ke RRC. Ketika itu Menteri Luar Negeri Soebandrio sedang bermusuhan
dengan RRC. Ide buku itu berangkat dari penindasan terhadap warga Tionghoa lantaran lahirnya PP No. 10 tahun 1958 yang berisi pelarangan warga Tionghoa
berdagang di desa-desa.
Kita juga
mafhum, betapa dulu Sang Demonstran Soe Hok Gie lebih memilih masuk LPKB (Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa) daripada harus masuk pada organisasi yang kental
mengusung ras dan agama sebagai tema utamanya. Padahal salah satu program
unggulan LPKB adalah dengan menggalakan asimilasi kawin-campur. Terkait dengan hal
ini, almarhum sejarawan sekaligus salah seorang penanda tangan manifesto LPKB,
Ong Hok Ham,
berkomentar: Gie adalah tipe manusia eternal
oppositionist yang tak tahan berhadapan dengan estabilishment.[2] Dari sini
bisa
dilihat betapa semangat Nasionalisme telah merasuki sekujur pikiran Gie mengalahkan identitas-ego-rasialnya. Tapi toh
tetap, Gie senantiasa mendapat teror dan sinisme dari mereka yang mengaku
pribumi Indonesia.
Memang tak
dipungkiri angin segar reformasi telah membawa perubahan signifikan bagi semua ketimpangan
itu. Apalagi sejak republik ini diampu oleh kyai multikultur almarhum Abdurrahman
Wahid. Banyak perombakan radikal yang melabrak pasal-pasal yang mendeskriditkan
warga Tionghoa. Dari segi legal formal, kita memang telah banyak berubah. Tapi perubahan
ini belum meresap ke sikap moral dan mental. Trauma itu seperti tak mau hilang
dari dalam bawah sadar kita. Trauma yang menyekat-nyekat ruang pikir kita bahwa
“saya” dan “anda” berbeda. Ada semacam phobia
turunan yang selalu menancapkan kuda-kuda pertahanan diri (self-defense) tiap kali berhadapan dengan orang yang bukan bagian
dari kita (the others).
Gundah
inilah yang juga dirasakan oleh Margie sepanjang pertautannya dengan masyarakat
pribumi. Saya
sampai menangis ketika Margie minta pengertian: terimalah kami sebagai
bagian masyarakat secara utuh. Sungguh kami telah memilih untuk berada di sini
(hlm: 41). Margie menginginkan kita cukup melebur jadi satu ras
saja: ras Indonesia. Tapi saya lebih dari itu, marilah kita melebur hanya dalam
satu ras saja:
ras manusia.
Begitu juga,
nasionalisme seturut Margie sangat realistis dan segar –betapapun ia kerap
dikecewakan oleh kata itu. Nasionalisme bukan sekadar upacara bendera secara
rutin, hormat pada sang saka maupun menghapal secara mentah bait-bait
Pancasila. Tapi lebih dari itu, rasa cinta yang kelewat sangat pada bangsanya
hingga ia tak mampu mendefenisikannya dengan kata-kata. Nasionalisme tak
senantiasa sejalan dengan rasionalisme, katanya (hlm: 25).
* * *
Kenapa
saya berpanjang lebar menjadikan Margie sebagai cerminan? Karena saya yakin,
mengutip Mohammad Iqbal, karakter adalah kekuatan tak terlihat yang menentukan
nasib suatu bangsa. Dan karakter yang kuat mustahil ada dalam kelompok
mayoritas. Karakter
adalah kekuatan. Semakin banyak ia dibagikan, semakin lemahlah ia. Margie,
seturut saya adalah alegori dari kekuatan itu. Bukan saya, anda maupun kita.
Tapi mereka. Saudara kita etnis Tionghoa.
Dan saya
buktikan sendiri kebenaran pernyataan itu. Berbulan-bulan saya coba hidup di
tengah-tengah komunitas Tionghoa, bergumul dengan tradisi yang meliputinya dan
coba melepaskan semua syak-wasangka (praduga) saya selama ini. Hasilnya, saya
sungguh malu menjadi pribumi Indonesia. Saya justru banyak belajar
ke-Indonesia-an pada mereka yang “bukan asli” Indonesia. Kita perlu belajar
tentang Indonesia pada Margie!
Tapi bukan
latar belakang maupun figur Margie itu sendiri yang penting. Melainkan,
substansi dan posisi simbolisnya.
Darinya-lah saya mendapatkan spirit dan elan vital tentang menjadi Indonesia
yang sebenarnya. Indonesia yang dilihat dari kacamata minoritas nan tertindas.
Nasionalisme yang bergerak dengan lajur yang tak umum, tak tertib, riuh, dan
problematik. Margie adalah personifikasi manusia adab milenium yang kerap mengunyah
sakitnya memahami tentang apa arti Nasionalisme. Apa arti menjadi Indonesia.
Seperti
pribahasa usang yang berkata: banyak jalan menuju Roma, saya juga percaya,
jalan untuk memahami dan menjadi Indonesia tak hanya satu dan seragam. Jika
jalan yang harus saya tempuh justru harus menjadi “orang lain” dulu sebelum
menjadi Indonesia, kenapa tidak? Bukankah, kadang kita perlu mengambil jarak
dulu untuk bisa mengenali dengan jernih dan objektif seseorang yang sedang kita
cintai?
Maka jika
Tetralogi Laskar Pelangi telah berhasil membuka mata berjuta-juta rakyat
Indonesia tentang musykilnya pendidikan di pelosok-pelosok daerah, bolehlah
jika Excuse-Moi ini saya katakan
telah berhasil menyibak hati juga pikiran saya dan teman-teman tentang bagaimana
menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Saking gandrungnya pada buku ini, saya
mewajibkan pada teman-teman diskusi di fakultas untuk menjadikannya sebagai
buku wajib memahami Indonesia dan Nasionalisme. Bahkan kami menahbiskan diri
sebagai komunitas Excuse-Moi. Ini
mungkin lebay, tapi begitulah adanya.
Apapun
itu, dari semua hal segar yang Margie suntikkan pada kesadaran batin masyarakat
Indonesia ini, saya masih mengendus
secuil ganjalan. Yaitu: Margie lupa nasionaliseme yang hanya berdasar pada
batasan teritori
belaka hanya akan menyeragamkan kita pada satu titik yang menjenuhkan.
Nasionalisme yang terjebak pada frase “Tunggal” dan kurang memaknai
ke“Bhineka”an.
Kita masih harus
menghayati kredo Bhineka Tunggal Ika. Kita masih perlu Jawa yang
melahirkan Borobudur. Kita perlu Bali dengan Kecaknya. Riau dengan Zapinnya.
Aceh dengan Seudati. Atau “China” dengan Barongsainya, yang dari semua itu kita
mampu melihat
bianglala budaya dari seluruh penjuru Nusantara. Kita masih butuh “ras(isme)” –dengan konotasi
positif. Jadi biarlah kita berbeda. Berbeda yang sehat
tentunya. Mengutip kata seorang penulis: Indonesia pasti lebih indah
jika kaum (maaf) peranakan maupun kaum pribumi dapat duduk di satu meja makan,
menyantap hidangan dengan porsi yang sama, sambil bersenda gurau memakai bahasa
nasional, Bahasa Indonesia. Bukankah,
beda itu sexy?
Oleh karena itu,
izinkanlah saya berucap, dengan nada sedikit bercanda: Excuse-Moi,
Margie! Excuse-Moi Indonesia!
Judul Buku : Excuse-Moi
Penulis : Margareta Astaman
Penerbit : Penerbit
Buku Kompas
Tahun Terbit : Januari
2011.
[1] Kata Excuse-Moi adalah “asimilasi” antara bahasa Inggris dan China yang
berarti: permisi. Ini adalah
“permainan” kata yang dipakai oleh Margareta untuk judul bukunya. Karena dia
menganggap tema yang akan diusung dalam bukunya begitu sensitif, maka ia memakai
kata Permisi untuk mengawalinya.
[2] Di sini Gie dinilai
kurang menghargai pluralitas kultur yang menjunjung akan pentingnya keberagaman
etnis, termasuk etnis Tionghoa. Saat itu ada salah satu organisasi Tionghoa yang
menjadi “rival ideologis” LPKB, yaitu Baperki. Pada intinya Baperki tetap
menganggap penting sebuah keberagaman etnik. Bahkan mereka berpendapat biarlah
komunitas Tionghoa menjadi entitas etnis tersendiri yang menyamai etnis Jawa,
Sunda, dan lain sebagainya. Untuk mengulik ulasan lebih mendalam kenapa Gie
lebih memilih LPKB, bisa dibaca pada pengantar Daniel Dhakidae untuk buku Catatan Seorang Demonstran (LP3ES, cet ke-8).
0 Response to " Excuse-Moi, Indonesia! "
Posting Komentar