Setiap kali membahas Maroko, ingatan
saya selalu tertuju pada Mohammed Arkoun, Fathima Mernissi dan Mohamed Abed al-Jabiri.
Ketiga tokoh ini memang memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda. Arkoun
pada studi (dekonstruksi) Hermeneutika. Mernissi concern di feminisme dan keadilan gender. Jabiri lebih ke
(revolusi) tradisi nalar Arab yang oleng itu. Tapi tetap, ketiga pemikir ini
mengusung episthem dan élan vital yang sama, meski implisit: kerendah hatian
(Arkoun), independensi (Mernissi) dan kebebasan (Jabiri). Dan, ini yang
penting, ketiga-tiganya lahir dari rahim negeri matahari tenggelam (Maroko)
yang sudah berhasil menerangi cakrawala berpikir sebagian masyarakat dunia
“Timur” (terutama RI).
Dalam pemikiran dekonstruksi
Derridean a la Arkoun, kita menemukan
etiko-politis untuk selalu berendah hati dan mengafirmasi akan hadirnya The Others (sang Liyan). Apapun itu.
Karya budaya, manusia, suku-bangsa, lebih-lebih Negara. Seperti yang pernah
diulik oleh Helene Cixous dan dikutip oleh Goenawan Mohammad dalam pengantar
buku Derrida (Lkis; 2005):
dekonstruksi Derridean akan menjadi peringatan etiko-politis terbesar dari masa
kita. Peringatan, lantaran ia semacam cambuk untuk diplomasi-angkuh-monologis
khas Negara maju.
Lansiran ini penting. Sebab, yang
membuat panggung sejarah di dunia ini tegang dan morat-marit adalah presepsi
yang timpang dan tak fair. Terutama dari negeri “pertama” terhadap dunia ketiga
(Islam/Timur). Karena itu, tidak berlebihan apabila Edward W. Said menandaskan,
belum ada suatu periode pun dalam sejarah Eropa dan Amerika sejak abad
Pertengahan, yang di dalamnya
Islam didiskusikan atau direnungkan di luar kerangka yang diciptakan oleh
nafsu, kecurigaan dan kepentingan politis. Nah!
Apalagi untuk konteks konstelasi
Timur Tengah dan Afrika Utara. Dua area ini adalah “zona rawan” dimana tarikan
kepentingan (untuk Negara maju), sentimen rasial dan rezim yang “sultanik”
mengkristal menjadi satu permasalahan yang musykil diudar. Belum lagi jika
membincang hegemoni (konspirasi?) yang ditancapkan oleh Eropa dan Amerika.
Semenanjung Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga kini, masih menjadi incaran
menggiurkan lantaran kekayaan energi migasnya yang melimpah. Lazimnya, usaha
imperialisme jenis baru itu berdalihkan “perdagangan bebas”. Jika dengan cara
halus tak bisa, maka dengan jalan militerisme-dehumanisasi yang mengatasnamakan
“misi pemberadaban”, “menjaga stabilitas politik”, “penyelamatan warga-sipil”
dan “menjungjung tinggi HAM dan demokrasi”. Padahal, kita semua tahu, ada udang
di balik batu. Ada “minyak” di balik semua serangan-serangan itu. Seperti yang
pernah menimpa Iraq dan kini juga Libya.
Pada lajur inilah, kemudian,
independensi menjadi penting. Mantan (alm.) Presiden Abdurrahman Wahid mungkin
bisa menjadi personifikasi paling menarik di sini. Maka izinkanlah saya sedikit
bercerita. Pada saat beliau menjadi Presiden, banyak orang mengecam kegemarannya
berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap
kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun, jika ditelisik lebih
lanjut, daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu justru identik dengan
daftar undangan Konferensi Asia-Afrika.
Brasil mengekspor sekian ratus ribu
ton kedelai ke Amerika setiap tahun, sedangkan Indonesia mengimpor lebih dari
separo jumlah itu, juga dari Amerika. Karena itu, Presiden Gus Dur datang ke
Rio De Janeiro untuk membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar
Amerika. Venezuela mengimpor seratus persen belanja
rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan Indonesia mengekspor seratus persen
rempah-rempah kita ke sana. Maka, Presiden Gus Dur menawari Hugo Chavez membeli
rempah-rempah langsung dari Indonesia. Bahkan, Gus Dur mengusulkan kepada
Sultan Hassanal Bolkiah untuk membangun Islamic
Financial Center di Brunei Darussalam. Lalu, melobi negara-negara Timur
Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana (Staquf: 2009).
Itu semua Gus Dur lakukan demi
mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi
manusia-manusia dunia ketiga. Bahwa, semua masalah-masalah ini hanya bisa
dituntaskan bila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan dapat
diatasi. Bahwa, dalam perjuangan itu harus tergalang kerja sama di antara
bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas. “Perlawanan” itu
mutlak penting. Tapi yang perlu digarisbawahi di sini, perlawanan itu bukan
dalam rangka menghegemoni, melainkan hanya sebagai pernyataan sikap
independensi. Meski Antonio Gramsci pernah berujar, pada saatnya nanti kita
selalu akan dihadapkan pada dua pilihan: menghegemoni atau dihegemoni.
Terakhir, kebebasan. Kebebasan dalam
artiannya yang produktif nan etis. Kebebasan dalam menentukan sikap, kebebasan
dalam menentukan mitra-kerja dan tentu saja kebebasan dalam merangkum
epistemologi diplomasi dengan Negara mana saja yang dikehendaki –sejauh masih
memegang teguh tiga prinsip dasar ini. Karena dari sinilah embrio kedaulatan
bakal tercipta. Imperialisme represif yang pernah dialamai RI (oleh Belanda dan
Jepang) dan Maroko (oleh Prancis dan Spanyol) setengah abad lalu tentu menjadi
pelajaran paling berharga untuk tak terjerumus kedua kalinya dalam kubangan yang
sama. Termasuk kubangan (imperialisme) berwajah baru.
*
* *
Lalu apa relevansinya mengetengahkan
élan ketiga (pemikiran) tokoh tersebut dalam kaitannya dengan perbaikan
diplomasi antara Maroko-RI? Banyak korelasi yang dapat dikuliti di sini, tentu.
Diantaranya: sejatinya yang melanggengkan hubungan diplomasi antar Negara satu
dengan yang lain bukanlah semata perebutan aneka kepentingan, keterpaksaan,
romantisisme sejarah yang lapuk maupun agenda seremonial yang tak bermakna
apa-apa kecuali menghamburkan dana secara sia-sia. Semua eksponen itu akan
musnah dan tumbang seketika saat hanya kepentingan yang menjadi panglima.
Baiklah, seperti yang sudah
disinyalir banyak pihak, kita tahu persaudaraan batin antara Maroko-RI sudah
berumur enam abad lebih (ini jika dihitung dari Battutah yang singgah ke Pasai
pada abad 14). Persaudaraan dhohir-diplomatik juga sudah bertitimangsa kepala
50 (ini didasarkan pada hubungan diplomasi yang disahkan mulai tanggal 02 Mei
1960). Bahkan, tetua dan pesohor wali sanga yang paling berjasa menyebarkan
sukma agama di tatar Jawa ini juga berasal dari Maroko: Syeh Maulana Malik
Ibrahim al-Maghriby.
Kita tahu, RI-Maroko adalah teman
sejawat sejak di GNB (Gerakan Non-Blok) dan OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Kita juga tahu sudah sejak satu dasawarsa (mulai tahun 2001) Maroko memberi 15
asupan beasiswa untuk civitas Indonesia. Kita bahkan tahu di tahun 2010 silam,
seniman-seniman negeri ini telah berhasil mempromosikan budaya Nusantara dengan
mementaskan lakon Ramayana memakai Bahasa Arab di Maroko. Kita tahu semua akan
itu.
Tapi menggemakan romantisisme
sejarah saja tak cukup. Karena romantisme hanya akan terjebak pada nostalgia.
Saya juga tak mau mengulang-ulang apa yang sudah didedahkan oleh banyak analis
dan media tentang hubungan (diplomatik) RI-Maroko yang konon mesra dari dulu
itu. Karena repetisi (mengulang-ulang), dalam dunia pemikiran, adalah aib.
Lagipula kemesraan yang selama ini terjalin, diakui atau tidak, masih sebatas
seremonial-formalistik. Makanya, tawaran yang dicanangkan lebih dari itu:
meneropong lebih jauh kemungkinan apa saja yang dapat dibetot oleh dua Negara
ini seandainya mau benar-benar memelihara epistemologi berpikirnya dalam
berdiplomasi.
Lantaran, seperti dikatakan Lintang
dalam Novel Laskar Pelangi: pada hakikatnya semua berhulu dari paradigma
berpikir. Kebijakan yang dilahirkan oleh hukum, politik, hubungan diplomasi,
ekonomi, sosial-budaya, pendidikan bermuara dari sini. Jika semua elemen itu
lahir dari kerangka pikir kapitalistik-brutal, tentu produk yang akan
dihasilkannya pun kurang lebih akan sama, misalnya. Begitu juga sebaliknya.
Sebab itu, mulai saat ini kita tak
perlu lagi calo (dari Amerika atau Eropa) dalam melakukan “misi pemberadaban”
diplomatik di berbagai sektor dan lini. Kita juga tak perlu “makcomblang” untuk
lebih merekatkan kembali jalinan “cinta” yang sudah mekar bersemi sejak
berabad-abad lalu antara Maroko-RI. Yang kita perlukan hanya komitemen untuk
setia (ber-epistemologi) rendah hati, independen dan bebas dalam segala
tapak-jejak diplomasi yang kita buat. Ini dilakukan dalam rangka merawat dan
menjaga hubungan itu agar senantiasa elegan, fair dan dinamis. Nah, dari titik
inilah, spirit pemikiran ketiga tokoh di muka beroleh relevansinya untuk
konteks diplomasi Maroko-RI ke depan yang lebih mencerahkan.
Saya kira jika semua pra-idea itu
bisa kita amalkan, ramalan Samuel Huntington akan menemukan titik terangnyanya
di sini. Menurut nujuman Samuel, masa keemasan (golden time) Eropa dan Amerika lambat laun akan segera beringsut ke
tangan “Islam” dan “Timur”: Maroko-RI!
Bagaimana menurut Anda? Wallahu A’lam.
** Artikel ini menjadi juara ke-II Lomba Artikel Tingkat
Nasional tentang Hubungan Diplomasi Marroko-RI yang diadakan oleh PPWI Jakarta
bekerjasama dengan Kedubes Marroko
0 Response to " Epistemologi Maroko-RI "
Posting Komentar