Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku akan mengajak semua jajaran Pemkot,
pengusaha dan segenap warga Caruban Nagari untuk membangun taman baca secara
kolosal di setiap sentral dan pojok kota. Karena aku percaya, yang memajukan
suatu kota bukan lantaran pembangunan mall dan pusat perbelanjaan secara massif
hingga menjadikan masyarakat super hedon dan konsumtif, melainkan tradisi
baca-tulislah yang bisa bisa menggerakan daya dobrak kemajuan suatu kota.
Lagipula, daripada kota Cirebon dikenal dengan stigma negatif lewat tempat
rekreasi-mesum semacam Gronggong, bukankah alangkah lebih baik jika tempat itu
kita jadikan taman baca yang representatif?
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku akan mengajak Pemkab, pengusaha dan semua
komponen masyarakat Cirebon untuk membuat rumah baca di setiap pelosok-pelosok
desa. Kenapa desa? Karena sebenarnya di desalah terdapat potensi sumber daya
manusia (SDM) yang melimpah tapi belum tersentuh dengan baik. Dengan membangun
desa, diharapkan penduduk desa tidak akan tergiur pindah ke kota demi mencari
penghidupan yang lebih baik. Mereka akan tinggal dan membangun desa mereka. Saya
sangat menyadari bahwa literasi adalah hal terpenting untuk membangun suatu
daerah. Membaca, menulis, dan kegiatan kreatif adalah pondasi kokoh agar suatu
daerah berkembang dengan baik.
Tak
hanya membuat rumah baca dan taman baca, aku juga akan mensosialisasikan
gagasan tentang urgennya mentradisikan perpustakaan keliling di seantero
Cirebon. Pikirku, jika puskesmas keliling saja ada, kenapa perpustakaan
keliling tak ada? Toh, kesehatan pikiran kita sama pentingnya dengan kesehatan
daya tubuh (endurance) fisik.
Bukankah, saat ini tak zamannya lagi perang fisik, melainkan perang pemikiran,
kata Samuel Huntington di bukunya, The
Clash of Civilization.
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku ingin memasyarakatkan pada pengusaha,
pemerintah dan masyarakat akan pentingnya budaya wakaf buku. Seperti yang sudah
sejak lama dilakukan Harian Republika dan
Penerbit Mizan. Buku yang
didonasikan bisa bertema apa saja. Dari mulai sejarah, seni, budaya, filsafat,
sastra, ekonomi, politik, sosial, hukum, geografi, fisika sampai dengan buku
anak-anak sekalipun, akan kami tampung. Buku-buku yang sudah terkumpul itu
nantinya akan disalurkan lagi ke sekolah-sekolah terpencil maupun sanggar rumah
baca di pelosok-pelosok desa. Upaya ini, disamping bertujuan untuk menekan
kemungkinan korupsi dari semua donasi yang masuk (karena kami hanya menerima
donasi berupa buku, bukan dana. Mana mungkin buku dikorupsi?), juga untuk
membuat masyarakat akrab dengan dunia buku.
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku akan mengajak para intelektual, seniman,
guru, dosen, pustakawan, dan secara umum para pecinta buku untuk meniru jejak
proklamator RI Mohammad Hatta, sastrawan HB. Jassin dan intelektual Azyumardi
Azra. Mereka bertiga adalah para penggila dan kolektor buku Indonesia kelas
wahid yang membuka koleksi ribuan bukunya untuk dinikmati publik luas. Hatta
dengan Perpustakaan Hatta (Jogja), Jassin dengan Pusat Dokumentasi Sastra HB.
Jassin (Jakarta) dan Azra dengan pustaka Azyumardi Azra (Ciputat, Tangerang).
Sebut saja proyek mereka ini adalah galeri pustaka pribadi yang go public. Tujuan mereka bertiga ini
jelas: hendak menyadarkan kita akan pentingnya “berbagi”.
Sayangnya, karena keterbatasan dana pemeliharaan, Perpustakaan
Hatta (tempat bernaungnya ribuan buku yang dikumpulkan sang Proklamator
sepanjang hayatnya ini) rebah pada tahun 2007, dan semua koleksinya dijual ke
perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta (Kompas, 23/04/11). Nasib yang nyaris sama juga terjadi pada
Pusat Dokumentasi Sastra terlengkap sedunia milik HB. Jassin yang direlakan
untuk publik ini. Itu terjadi ketika pemerintah DKI menarik satu persatu selang
infus kehidupannya. Awalnya 300 juta pertahun, 170 juta pertahun, dan terakhir
50 juta untuk satu tahun (Jawa Pos,
27/03/11). Uang sejumlah itu tidak lebih besar dari honor Tukul melawak
selama satu jam di televisi.
Menurutku, Foke dan rezim yang tinggal di Jakarta menghina
nalar bangsanya. Bukan cuma pusat dokumentasi sastra yang saat ini terancam,
tapi juga dokumentasi film (Sinematek). Di daerah lain, dokumentasi pers dan
naskah jawa kuno di Solo dan Jogja dan naskah kuno Bugis di Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan menunggu jalan sungsang ke pekuburannya. Di beberapa daerah
lagi, seperti Aceh dan Riau, naskah-naskah kuno masuk pasar gelap. Masya Allah...
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku ingin mengkampanyekan pentingnya dokumentasi.
Pasalnya, dalam hal dokumentasi kita masih sangat tak terpuji. Kabar
menggiriskan datang dari Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Dua kampiun
sejarah peradaban Cirebon itu tersaruk-saruk meski hanya untuk menjaga
naskah-naskah kuno yang tak ternilai harganya. Bahkan kerap ditemukan kasus
perdagangan barang-barang antik kerajaan yang memendam nilai historis tinggi
beredar di pasar gelap (Kabar
Cirebon/04/04).
Ini
tentu sangat memilukan hati. Naskah yang sedianya menjadi rekam jejak akan
superioritas Negeri Caruban dan menjadi khazanah berharga bagi anak cucu kelak
untuk mengenal kotanya, kini nasibnya tak tentu arah. Untung saja beberapa
waktu lalu ada mahasiswa pasca-sarjana Leipzig University Jerman, Masyarakat
Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan bekerjasama dengan Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon untuk melakuan
upaya digitalisasi naskah kuno tersebut. Langkah itu dilakukan sebagai
antisipasi dini dari kemungkinan naskah itu dimakan rayap Kasepuhan dan
Kanoman.
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku akan mengajak semua media lokal untuk membuat
rubrikasi yang khusus menampung tulisan dari para penulis pemula Kota/Kabupaten
tercinta ini. Agar para penulis pemula itu merasa termotivasi dan karyanya
terapresiasi dengan baik. Juga agar halaman-halaman media lokal tak hanya
dimonopoli oleh segelintir penulis “senior”. Dari sinilah, saya berangan semoga
saja tradisi menulis di Kota ini akan bertumbuh kembang dengan pesatnya.
Andai
aku menjadi Wali Kota Cirebon, aku bermimpi menjadikan Cirebon bukan hanya
sekedar Kota Wali, tapi juga kota surga bagi para pecinta buku dan aksara.
Karena sungguh, Kota ini sangat tak bersahabat dengan para pecinta buku dan
aksara. Untuk menemukan sedikit buku-buku yang berkualitas, lazimnya para
pecinta buku Kota ini bereksodus dulu ke Jogjakarta maupun Jakarta. Lantaran di
dua tempat itulah, buku-buku berkualitas mengalir dengan derasnya. Lahir setiap
harinya. Maka jika Cirebon sudah menjadi surga bagi para pecinta buku,
diharapkan tradisi eksodus itu tak lagi ada. Sebaliknya, para pecinta buku itu
akan lebih betah dalam menularkan gairah menulisnya ke daerah sekeliling dia
tinggal.
Akhirul kalam, aku percaya, bukulah
yang akan memajukan suatu peradaban. Bukan mall maupun pusat perbelanjaan. Dan
aku sadar, Kota ini masih dikerubuti penyakit tuna-baca, tuna-tulis dan tuna-dokumentasi.
Kita baru terlepas dari endemi penyakit tuna-aksara, tapi belum juga bisa
mentas dari ketiga penyakit kronis lanjutannya itu. Oleh karena itu, jika dulu
Kanjeng Sunan Gunung Jati pernah berwasiat Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin, bolehlah jika aku tambahkan
pesan itu menjadi Ingsung Titip Tajug,
Faqir Miskin lan Perpustakaan.
Bagaimana
menurut Anda masyarakat Cirebon? Wallahu
A’lam.
(Fajar Cirebon, Senin 28 Mei 2012)
0 Response to " Andai Aku Menjadi Wali Kota Cirebon "
Posting Komentar