Beberapa jam setelah Jokowi
menyatakan siap melenggang sebagai Capres dari PDI-P (14/03), kontroversipun
merebak. Utamanya di panggung social media. Banyak yang mengapresiasi keputusan
itu dengan suka cita, juga tak sedikit yang mencibir dengan sarkasme yang
kelewat keterlaluan. Yang mengapresiasi umunya orang-orang muda kritis yang
selama ini masih menjadi jemaat setia swing
voters (massa mengambang) lantaran masih menunggu dan mencermati (wait and see). Para pencaci, kebanyakan
berasal dari kaum tua dan dan golongan oportunis yang merasa bos besarnya
sedang dalam situasi terancam.
Bagaimana tidak? Meski sudah
diprediksi sejak jauh hari, munculnya Jokowi sebagai Capres tentu membuat
panggung bursa capres menjadi morat-marit. Ini menjadikan pemilu eksekutif
sudah tak menarik lagi lantaran mudah ditebak. Gun Gun Heryanto, pengamat
politik, bahkan sampai berkelakar: dengan munculnya Jokowi sebagai Capres,
calon-calon lain sesungguhnya sedang menunggu waktu mubazir untuk membakar
pundi-pundi uangnya saja (Kompas.com/14/03).
Wahyu Susilo, adik penyair cum aktivis Wiji Thukul lebih dalam lagi dengan
beruajar: Pemilu Selesai. Pernyataan ini tentu berkait erat dengan fakta bahwa
nyaris dalam seluruh temuan “pasar survey” Indonesia, elektabilitas dan popularitas
Gubernur ceking itu memang meroket tajam.
Tapi politik tentu tak
sesederhana hasil survey. Banyak telikungan dan kelokan tajam yang musti
dihadapi Jokowi. Salah satunya adalah janji kampanye Jokowi sewaktu hendak
menuju kursi DKI-1: akan istiqomah mengampu
Jakarta selama satu periode penuh. Janji inilah yang menjadi bumerang bagi
lawan politik untuk memukul Jokowi dengan telak. Bahkan para advokat yang
tergabung dalam Tim Advokasi Jakarta Baru berniat melayangkan gugatan class action atas pencapresan Jokowi.
Alasannya, mereka tidak terima Jokowi meninggalkan jabatan Gubernur DKI di
tengah jalan (Merdeka.com/15/03).
Tentu kita semua tahu, ada motif politis di balik gugatan itu.
Padahal tak sedikit pemimpin
hebat dunia menggunakan pola yang sama dengan Jokowi. Hal ini bukan karena
serakah atau lainnya, melainkan kehendak masyarakat yang memang ingin sang
figur lebih merata lagi dalam menyemai kebijakan serta kebajikannya. Jadi
alasan yang mengatakan Jokowi merupakan tipikal orang yang tak konsekwen, oportunis,
kutu loncat, serakah, tentu sangat naif dan kuno sekali. Tanda bahwa
pengetahuannya tentang dinamika politik sangat irit dan ekonomis.
Yang paling lucu dari semua
sinisme itu mungkin apa yang dilakukan oleh salah satu warga Lamongan, Jawa
Timur. Dalam akun Facebooknya (Sudarsono Lamongan), orang yang mengaku bernama
Sudarsono itu memanjatkan doa pada Tuhan agar Jokowi tersambar petir hingga
mati. Entah apa yang membuatnya memiliki kebencian sedemikian rupa terhadap
Jokowi. Yang terang, ini salah satu
gambaran utuh bahwa politik ternyata sanggup membuat orang memiliki kedunguan tak
terkira: mengajak Tuhan untuk membunuh. Sontak, status Facebook yang di-share ke banyak orang itu pun menjadi
olok-olok orang ramai.
Tri
Jika Jokowi berangkat dari
jabatan Walikota Solo, Tri Rismaharini kini masih menjabat sebagai Walikota
Surabaya. Dalam torehan prestasi, Tri tak kalah seksinya dengan Jokowi.
Keduanya merupakan “kebetulan sejarah” yang menarik dicermati. Kedua Walikota
itu disinyalir oleh banyak orang sebagai langgam kepemimpinan yang sejati.
Kepemimpianan yang mengandalkan substansi ketimbang bungkus, mengutamakan
nurani ketimbang sederet legislasi, mendahulukan hajat wong cilik ketimbang syahwat para pemodal dan pembesar partai
politik. Dan keduanya, secara kebetulan, juga diusung oleh partai banteng
–meski kita juga tahu bahwa background
Jokowi adalah pengusaha meubel dan Risma adalah Pegawai Negeri Sipil.
Jika Jokowi baru sanggup
merelokasi pedagang kaki lima, Tri sudah jauh lebih dari itu. Tri menyulap kota
Surabaya yang awalnya dekil dan kumal menjadi kota dengan seribu taman. Walikota
“gila taman” ini benar-benar bermimpi ingin menjadikan Surabaya sebagai kota
terbaik di dunia, dan upaya untuk itu kini sudah menganga di depan mata. Terbukti,
tak kurang dari 51 penghargaan (baik Nasional maupun Internasional) diraih
Surabaya di bawah kepemimpinan Tri. Di antaranya adalah: Future Gov tingkat
Asia Pasifik (2013) dan The 2013 Asian Townscape Award (ATA) dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Jika Jokowi berani melawan
syahwat mantan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, dalam konflik pembangunan
mall di eks pabrik es Saripetojo, Solo, Tri berani menggebrak DPRD kota
Surabaya dengan Peraturan Walikota (Perwali) yang kontroversial: menaikkan
pajak reklame dan menolak pembangunan tol tengah kota Surabaya. Perwali No. 56/2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame dan Perwali
No. 57 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota
Surabaya dengan tegas menaikkan pajak reklame menjadi 25%. Kebijakan ini
tentunya membuat geram para pengusaha dan pejabat/caleg yang suka “narsis” dan
mengotori ruang publik.
Bagi Tri, tak semestinya ruang
publik di Kota Pahlawan itu menjadi hutan iklan dan billboard. Begitu juga
ihwal tol. Tri menilai keberadaan tol di tengah kota tidak
akan bermanfaat untuk mengurai kemacetan. Sebaliknya, Tri lebih memilih
meneruskan proyek frontage
road dan MERR-IIC (Middle
East Ring Road) yang akan menghubungkan area industri Rungkut
hingga Jembatan Suramadu melalui area timur Surabaya. Kebijakan ini juga
diyakini akan bermanfaat untuk pemerataan pembangunan kota.
Dalam hal elektabilitas, Tri
juga tak kalah moncer dengan Jokowi. Bahkan mungkin Tri merupakan satu-satunya
nama yang bisa dianggap mampu menyalip elektabilitas Gubernur penyuka Metalica
itu. Dalam rilis survey yang diedarkan Laboratorium Psikologi Politik UI,
pesaing Jokowi di deret paling atas hanyalah mantan Kepala Dinas Kebersihan dan
Pertanaman (DKP) Kota Surabaya itu. Tri berhasil melibas figur-figur alternatif
semacam Basuki Tjahaya Purnama, Anies Baswedan dan bahkan Abraham Samad
sekalipun. Hal yang sama juga dilansir oleh survey yang digodog oleh Political
Communication Institute yang baru-baru ini mejeng di laman Tempo.co.
Indonesia
Jaya
Di tengah kegalauan kita
menghadapi tahun politik ini, dua figur di atas merupakan oase yang diharapkan
sanggup menutup dahaga kita akan kepemimpinan yang hakiki. 16 tahun orde
reformasi yang digaungkan sejak tahun 1998 benar-benar tidak reformatif hingga
saat ini. Kinilah saatnya reformasi kita serahkan kepada mereka yang
benar-benar mafhum kemana seharusnya biduk kapal Indonesia ini diarahkan.
Jangan lagi kita biarkan para perompak politik membajak Indonesia Raya untuk ke
sekian kalinya.
Akhir kata. Duet di atas memang
serasa ideal sekali, tapi semua keputusan berpulang pada hasil Pileg yang akan
kita hadapi 9 April nanti. Apakah PDI-P akan meraih lebih dari 20% suara hingga
bisa mengajukan capres-cawapres satu paket, atau kembali mengusung koalisi
dengan partai lain. Di samping itu, kebijakan dan kelapangan dada diri Megawati
juga menjadi titik solusi yang perlu diuji lagi di sini. Apakah Megawati bisa
membuktikan dirinya sebagai anak ideologis Bung Karno? Atau sekadar anak
genealogis semata. Entahlah.
Yang jelas, jika kita mau
membuka dada dan kepala lebar-lebar, puncak Indonesia jaya bisa diraih jika,
dan hanya jika, yang memimpin adalah sesosok orang muda yang visioner, bersih, tulus,
tanggap, merakyat, dan penuh empatik. Meski pasangan kandidat lain mungkin
lebih pintar dan matching ketimbang
pasangan Joko-Tri, tapi menjatuhkan pilihan tentu tak hanya berdasar pada kedua
kategori itu. Kita tak hanya butuh orang
pintar,. Untuk konteks Indonesia yang
semrawut ini, kita jauh lebih membutuhkan orang benar. Di sinilah, Jokowi-Tri Rismaharini mendapat proporsinya yang
paling seksi. Bagaimana menurut Anda?
Kabar
Cirebon, 26 Maret 2014
0 Response to " Joko-Tri "
Posting Komentar