Seni
adalah dusta yang kudus
---Sir Muhammad Iqbal
(Pejuang-Penyair Pakistan)
Melihat pagelaran lakon Homo Homini Lupus (manusia pemangsa
manusia) yang digagas komunitas Rumah Kertas kemarin malam, membuat penulis
mengernyitkan dahi. Lebih dari itu, pentas teater yang didedah di panggung IAIN
Cirebon Center (ICC), (15/02) itu juga membikin ekspektasi penonton meleset
drastis. Pasalnya, hampir di sekujur pentas yang berdurasi dua jam itu tak ada
secuil pun unsur-unsur imajinatif nan enigmatik yang khas teatrikal. Semua
hanya berupa banalitas aksi dan diksi. Beserta sedikit dekorasi panggung yang
jauh dari kata maksimal.
Dari sini muncul beberapa tanya
di benak: ada apa dengan teman-teman pegiat seni muda kita hingga gagap
mendefenisikan representasi teater? Apa sebenarnya urgensi pementasan tetaer
dalam kaitannya menanggapi isu-isu aktual di tengah masyarakat? Apakah pesan
dalam naskah harus sebanal dan setelanjang khas khotbah jum’at? Mengapa harus
terjadi repetisi adegan yang tak perlu? Lalu dimana metafora? Dimana imajinasi?
Dimana kreatifitas? Dimana pencerahan?
Kekecewaan
itu
Pada titik ini, izinkan penulis
mengudar alasan mengapa penonton harus kecewa. Setidaknya ada tiga entri poin yang
dapat penulis utarakan di sini. Pertama,
kita harus memahami bahwa pada awalnya teater adalah reproduksi dari imajinasi
yang diharapkan memberikan alternatif-alternatif baru bagi penonton agar
mempunyai solusi variatif dalam memecahkan masalah sosio-kultural yang
membelitinya.
Sebab itu, imajinasi tak bisa
disekat-sekat oleh satu pemahaman tunggal yang diyakini kebenarannya oleh sang
sutradara tetaer. Melainkan satu dialog kolosal yang juga melibatkan the Others (entah itu referensi
pemahaman lain maupun penonton) untuk ikut andil di dalamnya. Imajinasi pada
intinya adalah pembebasan. Maka sangat tak elok jika olah peran teater disarati
oleh diksi indoktrinasi yang lebih mirip dengan khotbah bernada agitatif.
Kedua, penulis percaya, teater yang
baik adalah tetaer yang (naskah lakonnya) penuh dengan metafor dan enigma.
Bukan naskah tetaer yang sarat dengan diksi dan aksi yang banal dan vulgar. Metafor
dan enigma adalah syarat mutlak sebuah teater bisa mempunyai tempat di alam
kognisi para komunikan yang dihadapinya. Seperti W.S. Rendra yang pernah bereksperimen
dengan teater mini-kata Bip-Pop dan
berhasil meledakkan dunia teater dan kesenian kita yang beku dan karatan.
Hampir sekujur pementasan Bip-Pop tak menggunakan lemak-lemak
diksi yang tak perlu, apalagi pesan moral yang coba diblesakkan ke dalam
naskah. Tapi, di sinilah letak sureplus-valued
(nilai lebih) yang dimiliki lakon Bip-Pop.
Satu lakon pementasan yang penuh metafor dan enigma tapi sanggup membuka katup
kebebalan imajinatif penonton dalam me-reka makna dan kata.
Ketiga, pengulangan adegan adalah
pemandangan paling mengganggu dari pementasan semalam. Utamanya adegan yang
mendeskripsikan seks dan seksualitas. Penulis mafhum, maksud sang sutradara dan
aktor mestinya ingin agar pentas labih atraktif dan bernyawa. Tapi niat yang
muluk itu tak sebanding dengan aksi yang dilakukan, maka yang lahir hanya
kejenuhan dan kejumudan. Lantaran, kita semua tahu, repetisi (pengulangan)
dalam dunia pemikiran dan seni adalah aib.
Maka, jangan berharap menemukan
term Teror Mental khas Putu Wijaya
dengan Teater Mandiri-nya yang senantiasa mendobrak alam bawah sadar para
penonton untuk terus menggali percik alternatif pemikiran yang dekonstruktif.
Jangan pula bermimpi muluk hendak mendapatkan letupan imajinasi yang tak
terpermanai khas Bengkel Teater-nya W.S. Rendra. Apalagi ingin menemukan
kemegahan aksi, dekorasi dan diksi seperti yang lazim dipentaskan Teater Koma-nya Nano Riantarno.
Melihat pentas teater semalam,
pupus semua idealisasi yang kita ketahui tentang dunia teater.
Belajar
bersalah
Meski demikian, penulis sama
sekali tak mempunyai preseden buruk terhadap dinamika dunia kesenian kota Udang
ini –khususnya dalam lini teater. Penulis percaya, peradaban adiluhung di di
dunia ini selalu diawali oleh kesalahan dan kedustaan, bukan oleh kebenaran dan
kejujuran. Tentu yang penulis maksud di sini adalah sebuah kedustaan kreatif
yang diharapkan mampu melahirkan terobosan-terbosan imajinatif nan progress
untuk merangkai kehidupan ke arah lebih cerah lagi. Seperti kata Muhammad
Iqbal: seni adalah sebuah dusta yang kudus. Sakral.
Maksud essai pendek ini sejatinya
lebih ingin menjadi medium oto-kritik (kritik dari dalam) untuk teman-teman
pegiat seni kita agar mampu membaca peta kesenian ke depan dengan lebih jeli
dan kritis. Toh, kata guru ngaji
penulis di kampung, kita harus senantiasa mengamalkan penggal ayat akhir surat al-Ashr: wa tawashow bi al haqqi wa tawashow bi shobr. Dialogkanlah semua
pemahaman yang kalian anggap benar dan bersabarlah untuk diskusi. Nah! Wallahu A’lam.
Fajar
Cirebon, 23
Februari 2013
0 Response to " Teater Minus-Imajinasi "
Posting Komentar