Kita dan Hoaks

                                                                                                                              
For those I hurt this year, I ask forgiveness and I will try to be better. 
For the ways my work was used to divide people rather than bring us together, 
I ask forgiveness and I will work to do better. 

Mark Zuckerberg (30/09/17)[1]

Banyak pihak mensinyalir bahwa salah satu resep Adolf Hitler sanggup menggenggam Jerman lantaran kemampuannya dalam memanajemen propaganda dan hoaks.[2] “Buatlah dusta menjadi besar, jadikan sederhana, ucapkan senantiasa, maka kita pun akan mempercayainya”, begitu kira-kira kredo Hitler. Kemampuan propaganda tersebut dibungkus Hitler dengan kepiawaian mengolah retorika. Dalam bukunya, Mein Kampf, dengan lantang ia menulis: jede grosse Bewegung auf dieser Erde verdankt ihr Wachsen den grossern Rednern und nicht den grossen Schreibern (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh jago-jago tulisan).[3]

Hari ini kita merasa hidup dalam kubangan apa yang pernah direfleksikan Hitler setengah abad silam. Mesin propaganda dan hoaks menyelinap nyaris dalam semua berita yang kita telaah tiap harinya –baik melalui sebaran media sosial maupun media konvensional.  Saat ini kita hidup dalam gempuran tsunami informasi di mana jeda dan refleksi untuk menelaah satu informasi secara mendalam merupakan barang mewah. Kecepatan seolah menjadi Tuhan. Tak peduli itu sudah terverifikasi secara rigid atau belum. Parahnya, kita semua seperti menerima wabah tersebut secara taken for granted begitu saja.

Hampir semua orang merayakan hoaks. Tidak peduli mereka yang hanya lulusan sekolah dasar atau mereka yang sudah mengenyam pasca sarjana. Semuanya tak luput dari lalu lintas peradaban hoaks. Dari bangun hingga tidur lagi beranda maya kita diserbu oleh berita-berita hoaks. Jurnalisme kita juga telah mengidap penyakit parah. Penyakit yang berasal dari berita palsu (fake news), berita bohong (hoax), rumor, disinformasi, teori konspirasi, dan propaganda. Meminjam terminologi orang-orang pintar, kini kita tengah masuk pada era post-truth. Era ketika kebenaran tinggal menjadi kenangan dan nostalgia.

(Sumber Gambar: politico.com)

Bahkan negeri semaju Amerika, rakyatnya tak luput dari wabah hoaks. Harus kita akui kemenangan Donald Trump salah satunya ditopang oleh massifnya serangan berita hoaks yang mendiskreditkan Hillary Clinton di belantara Facebook. Menanggapi kondisi sedemikian, Barack Obama sampai harus berkomentar tajam: “Apabila berita bohong sanggup dikemas sedemikian rupa dan disebar secara massif melalui Facebook, sehingga kita tak lagi mampu mengidentifikasi mana media yang kredibel dan tidak, mana informasi yang benar dan yang dusta, maka sungguh kita sedang menghadapi problem akut: kehancuran demokrasi sudah di depan mata” (the-guardian.com, 18/11/2016).[4]

Kekhawatiran Obama merupakan alarm bagi alam demokrasi yang terancam dibajak oleh kedegilan baru bernama hoaks. Lantaran sifatnya yang sistemik dan destruktif, tak heran jika hoaks disebut-sebut sebagai penumpang gelap yang sanggup mengkaramkan bahtera demokrasi. Bahkan Airlangga Pribadi menyebutnya sebagai kanker bagi kehidupan demokrasi.


Produsen Hoaks

Beberapa waktu lalu dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung, pernah berujar: “hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan seterusnya”.[5] Mungkin Rocky bermaksud satire. Tetapi dari satire itu serasa ada hikmah yang sanggup kita cerap. Bahwa, sedikit banyak, pemerintah turut andil dalam membangun peradaban hoaks baik melalui lembaga resmi maupun media-media mainstream yang sudah berafiliasi.

Hebohnya berita tentang pejabat dan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengobral opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) merupakan lonceng pembenaran yang sulit disanggah. Jauh sebelum itu, masyarakat kerap meragukan laporan-laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang acap menutup kebenaran hakiki dengan kebenaran faktual dan material. Jika statistik resmi saja begitu mudah dimanipulasi, kepada siapa lagi kita hendak mereguk validitas informasi yang paling tinggi?

(Sumber Gambar: Relawan TIK)

Jika penguasa bekerja memproduksi hoaks melalui lembaga resmi, maka media massa melakukan modus operandi hoaks secara lebih implisit tetapi massif. Cara yang paling lazim adalah dengan menggunakan framing yang kelewatan. Robert M. Entman dalam Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm (1993) menandaskan bahwa framing media terhadap berita lazimnya menggunakan dua jurus: menyortir isu dan penekanan pada poin-poin tertentu. Melalui dua jurus itu media menyuguhkan, menutupi, dan menggiring opini publik sesuai dengan yang media kehendaki. Dari framing itu pula kita sanggup mencerna kemana sebenarnya arah politis sebuah media (Entman,1993: 52).[6]

Jika saya boleh menambahkan, framing juga dapat dilancarkan melalui politik tata letak dan eufimisme bahasa. Politik tata letak merupakan pertarungan ruang yang kerap kita temukan dalam media massa cetak. Kenapa berita A yang tak terlalu signifikan dengan kepentingan rakyat bisa diletakkan di headline depan, sementara yang langsung bersentuhan dengan hajat orang banyak diletakkan di rubrik nusantara yang lebih merasuk ke dalam. Di sini berlaku rumus prominence: hanya orang-orang besarlah yang layak jadi objek berita (headline). Ketidak-adilan tata ruang ternyata tak hanya terjadi secara riil di kehidupan sehari-hari, ia juga kerap ditemukan pada helai demi helai halaman media cetak.

Eufimisme bahasa melancarkan framingnya melalui pelunakan makna sebuah kata. Misalkan mengganti kata banjir menjadi genangan. Mengganti kata “banjir” dengan “genangan” tentu merupakan kejahatan framing yang serius. Ini mengingatkan kita pada “Bencana Lumpur Lapindo” yang tiba-tiba menjadi “Bencana Lumpur Sidoarjo” dulu. Penggantian kata/kalimat seperti ini jelas menyesatkan. Eufimisme sedemikian bisa mengkerdilkan makna sebuah kata menjadi tak bertenaga lagi. Saya percaya, hoaks tidak hanya menyublim dalam berita-berita berisi dusta. Tapi ia juga bisa disuntikkan ke dalam penggantian kata yang dilemahkan maknanya.

Setelah hoaks dengan beragam genrenya diproduksi, lalu siapa yang menjadi distributor utamanya? Setidaknya hingga detik ini, tak ada mesin penyebar berita dusta yang paling gigantis melebihi aplikasi sosial media. Padahal di Indonesia saja, pada tahun 2016 perusahaan media sosial maupun mesin pencari telah mereguk iklan digital sebesar Rp 8,4 triliun. Tapi keuntungan sebesar itu seolah tak menjadikan perusahaan sosial media untuk turut berperan aktif dalam membendung arus bah hoaks.

Tetapi bagaimanapun, takkan ada api jika tak ada pemantiknya. Di sinilah peran pengguna media sosial dalam lalu lintas hoaks menjadi titik sentral. Daru Priyambodo menyematkan sebutan bagi orang-orang yang gemar menebar berita hoaks sebagai clicking monkey. Seturut Daru, the clicking monkey adalah mereka yang dengan riang gembira meng-klik gawai cerdasnya untuk mem-broadcast hoaks kesana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di laman Facebooknya (Koran Tempo 15/11/2013).[7]


Bendung Hoaks

Kita perlu mengapresiasi beberapa media yang sudah mencantumkan rubrikasi hoax or not demi menyeleksi kemungkinan berita bodong yang masuk ke meja redaksi.[8] Kendati demikian, langkah demikian tentu masih jauh dari kata cukup. Untuk membendung hoaks tidak bisa menggunakan jurus karitatif dan elementer. Perlu menggalang kerjasama multi-dimensi untuk mengkerangkeng virus ini secara laten. Gerakan melawan hoaks musti menjadi gerakan semesta yang melibatkan pemerintah, perusahaan digital, pendidik, agamawan, dan semua lapisan masyarakat lainnya. Sebab itu, beberapa tawaran ini mungkin bisa menjadi pertimbangan.

Pertama, tentu saja regulasi. Itikad yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memerangi hoaks musti mewujud dalam segepok regulasi yang ketat dan padu. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) selama ini abai membidik aktor utama distributor hoaks: perusahaan media sosial. Hingga detik ini UU ITE masih melulu menjadikan pengguna media sosial sebagai pesakitan hukum. Sebaliknya, perusahaan media sosial sebagai penyedia infrastrukturnya justru lepas landas tanpa tanggung jawab yuridis apapun.

(Sumber Gambar: Relawan TIK)

Padahal Uni Eropa sudah mulai menggeliatkan regulasi yang menuntut tanggung jawab perusahaan digital atas distribusi berita hoaks. Bahkan, terhitung mulai awal tahun ini Jerman memberlakukan regulasi ketat berupa denda bagi industri media sosial yang turut mendistribusikan hoaks dan tak melenyapkannya selama 24 jam. Tak tanggung-tanggung, otoritas Jerman menetapkan sanksi denda 500.000 euro untuk setiap hoaks yang beredar. Tak hanya itu, industri media sosial juga diwajibkan membangun Unit Penanganan Berita Bohong yang bermarkas di Jerman (huffingtonpost.com, 19/12/16).[9]

Kedua, pembuatan kurikulum literasi media.[10] Saya sangat menyayangkan program barcode Dewan Pers yang sudah diberlakukan beberapa waktu lalu. Untuk membendung hoaks, tidak bisa melalui cara-cara anti demokratis seperti ini. Sebab yang demikian ibarat menyembuhkan penyakit satu tapi di saat yang sama menumbuhkan penyakit lain yang tak kalah ganasnya. Sebab barcode berpotensi membungkam tumbuh kembangnya kecambah media-media kecil yang sudah dan hendak lahir. Barcode juga hanya akan membuat iklim media kita menjadi sangat elitis dan monolitik. Seolah hanya media mainstream-lah yang berhak bicara dan suci dari dosa. Padahal, seperti ujar Senator Claire McCaskill: krisis yang menghantam masyarakat saat ini tak hanya lantaran hoaks maupun berita palsu yang begitu menggurita, tetapi karena jurnalisme media konvensional kita tidak hadir sesuai fitrahnya yang objektif, berimbang, dan mencerahkan (nytimes.com, 6/11/2016). [11]

Yang lebih dibutuhkan dari barcode sebenarnya kurikulum literasi media. Masyarakat maupun peserta didik perlu disentuh dengan gelontoran program yang edukatif, bukan assersif. Literasi media tentu bukan sekadar mempelajari bagaimana mekanisme jurnalisme yang baik dan benar sesuai kaidah 5 W + 1 H. Tetapi lebih dari itu: meliputi bagaimana cara menganalisis konten, analisis wacana, hingga analisis framing secara dasar. Bagaimana cara menelusuri hoaks, efek destruktif hoaks, dan cara membendung hoaks secara praktis. Katakanlah semacam buku saku (handbook) penangkal hoaks.

Dari perangkat literasi media itu kita akan dengan mudah mengidentifikasi antara fakta atau fitnah, berita atau propaganda, dan kebenaran atau kepalsuan. Percayalah, dengan barcode kita hanya akan melenyapkan satu-dua media partisan yang gemar memproduksi hoaks. Tapi melalui literasi media, kita sanggup memberantas seluruh lini hoaks hingga ke akar terdalamnya. Karena barcode bersifat menghukum ke luar, sedang literasi media lebih pada pencegahan dari dalam. Untuk lebih memudahkan deskripsi mengenai literasi media, saya buat infografi sederhana ini:

(Dokumen Pribadi)

Dari literasi media yang sudah matang itu diharapkan tumbuh sikap kritis yang sehat dalam menelaah tiap berita. Era dimana fakta dan fitnah berkelindan menjadi satu paket hingga sulit dibedakan seperti sekarang, sikap kritis terhadap semua pemberitaan saat ini hukumnya fardu ain. Kritis di sini tentu bertujuan bukan untuk apatis. Melainkan agar senantiasa tumbuh-kembang kemampuan mengkroscek tiap berita sebelum melahapnya secara tandas. Jargon in media we trust harus dibarengi dengan perangkat lunak literasi media yang sudah tertancap sedari dini.

Khusus kampanye literasi media, saya sudah menggalakan ini sejak 2013. Ini dilakukan berangkat dari kegelisahan melihat begitu dominannya hoaks yang acap saya temukan setiap harinya. Kampanye ini tidak terbatas pada institusi tempat saya mengabdi, melainkan menerabas ke sekolah-sekolah lain, pesantren, organisasi kepemudaan, dan bahkan perguruan tinggi.[12] Saya tancapkan sikap kritis pada tunas-tunas muda itu dalam menalaah tiap berita dan fenomena. Tak hanya pada yang muda, bahkan pada Ibu-ibu dan Bapak jamaah pengajianpun saya senantiasa berbagi ihwal pentingnya tradisi verifikasi (tabayun) dalam segala hal.

(Edukasi Literasi Media di Perguran Tinggi/Dokumen Pribadi)

Sebab, harus kita akui, hoaks acapkali menunggangi agama sebagai kuda beban untuk tujuan artifisial kekuasaan tertentu. Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu dengan terang benderang membuktikan hal itu. Hingga detik ini, tak ada yang lebih mengerikan melebihi hoaks yang sudah berkelindan dengan sentimen agama. Karena jenis hoaks demikian tidak saja akan merugikan personal semata, melainkan sanggup menggerus seluruh pondasi bangsa dan negara.

Ketiga, menuntut industri sosial media untuk mengalokasikan profit bisnisnya demi mendukung program literasi media di semua lapisan masyarakat –utamanya di kalangan akademik maupun pendidik. Sebagai komprador yang mereguk keuntungan besar dari lalu lintas peradaban hoaks, sudah sepatutnya industri sosial media dibebani tanggung jawab moral-intelektual untuk menciptakan adab digital yang lebih baik. Bukankah dalam lini usaha apapun lazim ditemui terminologi zakat berupa Corporate Social Responsibility (CSR)? Permintaan maaf Mark Zuckerberg di atas tentu takkan banyak artinya jika tidak disertai upaya yang nyata.

Inilah sejatinya tugas pemerintah sebagai regulator, pendidik sebagai eksekutor, dan industri digital sebagai fasilitator. Saya yakin, kolaborasi ketiganya akan mampu meringkus virus hoaks secara bertahap dari hulu hingga hilir. Jika sudah demikian, kita tidak akan lagi terjebak untuk kesekian kalinya pada solusi karitatif dan elementer dalam gerakan melawan hoaks.

Akhir Kalam

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip dua petuah kiai saya di pesantren dulu. Sang kiai berkata: 1) jika belum sanggup menjadi rintik hujan yang menebar manfaat, janganlah jadi kayu bakar yang turut menyumbang polutan, dan 2) sabda Nabi yang paling relevan untuk diamalkan di masa ini adalah man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir falyaqul khairan aw liyashmut (siapa yang beriman pada Tuhan, berkatalah dengan ujaran yang baik atau [jika tak mampu] diamlah). Dari petuah itulah saya membuat perangkat lunak literasi media yang khusus saya tanamkan dalam diri dan sekeliling agar tak terseret arus tsunami informasi.

(Edukasi Literasi Media di Tingkat SLTA/Dokumen Pribadi)

Melaui momentum ini, mari galang jihad akbar memerangi hoaks. Jika makna jihad yang tertinggi adalah memerangi nafsu ankara dan syahwat di dalam diri, maka kini saatnya kita memerangi diri dari godaan memproduksi dan menyebarkan syahwat hoaks yang destruktif itu. Ini digalakan semata demi masa depan adab informasi yang sehat dan beradab bagi anak cucu kelak. Audzu billahi min al-hoax ar-rajim.






[1] Pernyataan maaf ini diungkapkan CEO Facebook di akun pribadinya, Mark Zuckerberg, pada tanggal 30 September 2017 bertepatan dengan perayaan Yom Kippur.
[2] Mulai Februari 2017, lema Hoax (menjadi Hoaks) sudah terdaftar ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V versi online/daring.
[3] Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern,  hlm. 1. 
[4] Barack Obama on fake news: 'We have problems' if we can't tell the difference (theguardian.com).
[5] Statemen ini diungkapkan Rocky Gerung dalam acara  Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa 17 Januari 2017, yang bertema  “Hoax VS Kebebasan Berpendapat”.
[6] Robert M. Entman. Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm. Political Communication. Vol. 10. No. 3. Hlm: 52.
[7] The Clicking Monkey, Koran Tempo, 15 November 2013.
[8] Belum lama ini Detik.com dan Kompas.com telah memulai rubrikasi penangkal hoaks. Di Detik rubrik itu bernama hoaxornot.detik.com dan di Kompas berjuluk news atau hoax.
[9] Germany Weighs Stiff Fines for Social Media Sites That Carry Fake News (huffingtonpost.com).
[10] Menurut hemat saya, terminologi yang tepat untuk perangkat menangkal hoaks adalah Literasi Media, bukan Literasi Digital. Makna Literasi Media lebih luas dan menyeluruh. Lagipula bukankah hoaks tak hanya kita temukan di dalam pemberitaan dalam jaringan (daring)/online, tapi juga di media cetak, radio, televisi, bahkan di dalam buku-buku bacaan.
[12] Bisa diakses di sini: Siswa dan Sastra (http://www.khoirulanwar.net/2017/10/siswa-dan-sastra.html)



Setitik Rujukan

Buku & Jurnal:

1)   Rakhmat, Jalaluddin. Retorika Modern (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007: 1).
2)   Entman, Robert M. “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm” (Political Communication. Vol. 10. No. 3, 1993: 52).

Media Cetak & Online:

1)  Kompas.com. “Kata “Hoaks" dan "Meme" Sudah Tercatat di Kamus Bahasa Indonesia”, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/28/13203281/kata.hoaks.dan.meme.sudah.tercatat.di.kamus.bahasa.indonesia (diakses 06 November 2017).
2)   Facebook.com. “Mark Zuckerberg”,
3)  Theguardian.com. Barack Obama on fake news: 'We have problems' if we can't tell the difference”, https://www.theguardian.com/media/2016/nov/17/barack-obama-fake-news-facebook-social-media (diakses 06 November 2017).
4)  Koran Tempo. “The Clicking Monkey”, https://koran.tempo.co/konten/2013/11/15/327490/The-Clicking-Monkeys (diakses 06 November 2017).
5)     Huffingtonpost.com. “Germany Weighs Stiff Fines for Social Media Sites That Carry Fake News”, https://www.huffingtonpost.com/entry/german-fake-news-fines_us_585843d5e4b03904470a1dfb (diakses 06 November 2017).






43 Responses to " Kita dan Hoaks "

  1. Setuju sekali dgn tulisan ini. Memang benar gerakan melawan hoax gak bs setengah2. Harus total dan menyeluruh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak boleh tambah sulam. Harus menyeluruh hingga akar terdalamnya. ^_^

      Hapus
  2. Katakan tdk untuk hoax. Melawan hoax hukumnya wajib, karna inilah yang akan menghancurkan segalanya. Katakan tdk untuk hoax. Lawan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dalam terminologi Islam, hoax itu sama dengan kidzb ya ustadz?

      Hapus
  3. Gusti nu agung, jauhkeun abdi ti bahaya hoax nu akut, jauhken abdi ti bahaya hoax nu laten, kusabab abdi masih bisa dibobodo.
    Gusti nu agung, hoax teh mangrupaken salah hiji kejahatan nu terorganisir rapih, hoax teh mangrupakeun hiji kajahatan nu biadab. Sebab ku ayana hoax, nusalah jadi bener nu bener jadi salah.
    Sebab hoax jalmi pinter di gogoblog ku jalmi goblog.
    Gusti nu agung, pasihan kakuatan ka sagala lini nu nentang ayana hoax, pasihan kasabaran katabahan kaberkahan supaya tetep kuat ngabrantas hoax.
    Salam lestari
    Salam li-terasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya kurang mengerti bahasanya Ahmad. Tapi sepertinya isinya baik. Jadi saya aminkan saja yah? ^_^

      Hapus
  4. Hoaks tak ubahnya seperti orang ketiga yang dapat merusak bahkan memecah belah sebuah keutuhan, baik itu keutuhan perusahaan, persahabatan, persaudaraan, bahkan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara. Setelah membaca tulisan ini tentu saya akan lebih kritis dalam menerima sebuah berita dan tidak dengan mudah menyebarkannya sebelum berita tersebut benar-benar sudah valid.

    Terima kasih Kang Anwar atas pencerahannya, semoga bermanfaat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Susah ya kalau sama petualang cinta. Bikin analogi saja harus berkaitan dengan asmara. ^_^

      Tapi syukurlah jika tulisan sederhana ini bisa sedikit membuka katup kritisisme dalam menelaah berita.

      Amin.

      Hapus
  5. Hemat saya hoaks layaknya junkfood, dengan segala pernak-pernik menarik namun nyatanya sarang penyakit.
    Trimakasih buat mz anwar yg sudah mw menyajikan gado2, pecel, rumbah, dll. Ditengah gempuran burger, donuts, dkk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kelihatannya lezat tapi ternyata penuh mudlarat. Itulah hoaks. ^_^

      Hapus
  6. Hoaks memang sedang menjadi virus ganas yang menyerang masyarakat. Berita sekecil apapun dapat berkembang luas dan membodohi korbannya. Semoga solusi-solusi yang diulas di atas dapat direalisasikan melalui kerjasama berbagai pihak hingga mampu menekan pertumbuhan hoaks yang kian memprihatinkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Krisis kemanusiaan dimanapun rata-rata dipicu oleh hoaks yang tak bertanggung jawab.

      Pemerintah, pendidik, agamawan, budayawan, jurnalis, perusahaan digital, tak boleh tinggal diam melihat wabah ini menjalar kemana-mana.

      Hapus
  7. Sepakat dengan pendapatnya gus Anwar, karena paling tidak kita tidak termakan isu hoaks. Tapi, kadangkala si pendidik juga termakan hoaks. Ini yang betul betul harus di hindari.

    Akhirul kalam dengan mengutip hadits Nabi nya sangat indah. Luar biasa Mantaaaaaap gus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoaks menyerang tak memandang profesi bro. Dari profesor sampai siswa PAUD pernah terserang hama hoaks.

      Hehehe. Terimakasih. ^_^

      Hapus
  8. Setuju. Saat ini yang harus kita perangi adalah hoax . . .!!! Audzu billahi min al-hoax ar-rajim.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jihad melawan hoaks saat ini begitu krusial dan urgen.

      Fotografer pun harus ikut berjihad memerangi virus ganas ini. ^_^

      Hapus
  9. Seandainya hoax dikaitkan dengan amil nawasikh pun saya rasa tak pantas, sebab se rusak-rusaknya amil nawasikh yang merusak susunan mubtada khobar pun masih bisa dijadikan susunan kalimat atau susunan kalam.
    Adapun hoax, lebih condong kepada kemudhorot-an yang membahayakan diri saya khususnya, sebagai ‘Orang Awwam’.

    Lawan Hoax!

    Matursuwun Mas Khoirul Anwar yang telah mengingatkan kembali tentang bahaya laten Hoax.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoax itu lebih mirip Isim Ghairu Munsharif sepertinya. Hahaha ^_^

      Hapus
  10. Mungkin, kita sedang hidup di zaman yang diramalkan oleh Ronggowarsito, sebagai "zaman edan". Semuanya terbalik. Seno GA, mencoba tak kecewa dengan percaturan media jurnalis, dengan mengusung sastra agar bicara. Sastra, ujar Hamsad Rangtuti, adalah kebohongan kreatif, seni untuk melihat realitas dengan baik. Atau satu semangat dengan sepotong kaidah "mencegah kerusakan lebih baik ketimbang mencari kebaikan".

    Namun, kini semua media (apapun itu) telah dimotori oleh kalangan hoaxers. Mereka mensiasati kesempatan di atas, sebagai jalan meluncurkan misinya. Sengaimana Gus Anwar, memberikan sedikit gambaran politisasi lingkup makna secara gamblang pada suatu berita antara "LAPINDO" dan "SIDOARJO".

    Rasanya, artikel Mas Anwar ini harus segera diviralkan. Setidaknya, jika efek tulisan, menurut Hitler, tak berpengaruh. Namun, tidak menutup kemungkinan juga ada satu ataupun dua orang yang menelaahnya dalam2. Minimal dari yg sedikit itu bisa melakukan prospek kepada lingkungannya. Perlahan, dan akan menyeluruh. Dengan itu, masyarakat akan lebih seksama dalam menanggapi sebuah berita, utamanya di media sosial. Kukira, artikel ini memiliki indeks yang akurat dalam memberantas informasi hoax. Sebagaimana, ketika saya sedang membaca puisi-puisi Afrizal Malna. Tentunya, akan sia-sia, jika makanan selezat ini diumpatkan dalam lemari kecil, bukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siapa kira di dalam dunia sastra tak ada hoaks, Anam? Banyak kasus yang bisa diutarakan (mungkin di dalam tulisan lain nanti).

      Saya kira statemen Seno sekarang perlu diralat. Ketika Jurnalisme dan Sastra sudah tak bisa dipercaya, maka Literasi Media harus bicara. ^_^

      Hapus
  11. Hoaks merupakan "virus" dari media massa. Dengan adanya grup chat yang semakin berkembang, orang-orang dengan sangat mudah untuk menyebarkan berbagai berita, terlebih berita yang heboh dan membuat geger masyarakat, dan kebenarannya masih simpang siur. Ini tidak bisa dibiarkan. Semoga dengan adanya tulisan mas Anwar ini, kita semua bisa sama2 memberantas terhindar dari berita2 hoaks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak semua media massa berisi hoaks. Jangan menggenarilisir seperti itu Putri. Masih ada beberapa yang masih bisa dijadikan rujukan --walau tetap harus senantiasa kritis ketika membacanya. ^_^

      Hapus
  12. Bagi saya pribadi, hoaxs tidak butuh aksi intensif dengan melakukan berbagai ferivikasi antara data dan fakta yang membentuk berita dengan realitas yang ada. Apalagi dengan berbagai pisau bedah teori-teori kritis framing ala Robert Entman, Pan Chosicky, Modiglini; atau analisis wacana kritis model Norman Fairclugh, Ruth Wodak, Roger Fowler, Van Dijk, Theo Van Louwen, Sarah Mills. Bagi saya, hoaxs cukup di tertawakan saja. Apa pasal?. Fenomena hoaxs yang kian membanjiri beranda virtual merupakan bagian dari sistem yang tidak akan pernah patuh terhadap hukum-hukum kewajiban etika jurnalistik. Butuh berapa waktu dan biaya buat menanggulangi maraknya hoaxs, sementara kita masih intens deng satu-dua berita yang dicurigai hoaxs dengan pisau bedah framing atau analisis wacana kritis, diluar sana berjuta-juta hoaxs masih diproduksi secara massif da berkala. Ini bagian dari penyimpangan sistem bahasa komputer. Selagi masih ada platform-platform advertise yang menyediakan iklan seperti Google Adsense, hoaxs akan tetap ada. Justru, yang paling fundamental untuk disorot secara intensif adalah tukang produksi iklan-iklan tersebut. Hoaxs tak ubahnya virus atau worm dalam komputer, selagi ada anti-virus/worm-dalam hal hoaxs-maka iklan akan google Adsense dan penyandang iklan sejenisnya akan semakin banyak mendulang laba. Terlebih, hoaxs itu pada mulanya berupa lelucon, ya sudah: mending tertawakan lagi saja. Namanya juga lelucon. Maaf komentarku anti-tesa dari semua komentar diatas. Barangkali, dengan penulis esai sendiri. Mas, aku jadi teringat Alonso Quixone yang mengaku dirinya sebagai Don Quixote de la Mancha. Eh maaf, Don Quixote de la Hoaxs. Anggap saja, hoaxs itu bagian dari fantasi fiktif belaka. Tidak lalu menjadi super-hero ala tokoh yang diciptakan Cervantes tersebut. Salam hangat,tulisan ini tetap gurih dan bernas. Saya cuma sedang menggali perspektif lain yang mungkin, lebih simpel dikerjakan dalam menanggapi fenimena hoaxs.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Andai tertawa sanggup menyelematkan ribuan warga sipil Iraq dari gempuran misil Sekutu hanya lantaran hoaks tentang senjata pemusnah massal, saya akan tertawa Wy.

      Sayangnya tertawa dan skeptis seperti itu tak mengubah apapun. Karena itu saya memilih bertindak. Tak hanya mentertawakan. ^_^

      Hapus
  13. Bahkan, saya malah curiga dengan musabab diberlakukannya UU ITE berkaitan dengan Hoaxs. Bisa saja, UU ITE dibuat agar ia laku di pasarkan melalui perantara fenomena hoaxs yang di viralkan. Mungkin, solusi paling tepat dalam fenomena hoaxs adalah sebagai berikut:
    Kurangi main gadged dan sosmed, dan mulailah hidup sebagaimana manusia sebenar-benarnya. Namanya juga virtual-reality, ya sebenar apapun berita, tetap saja realitas semu. Justru yang paling berbahaya itu ada pada imajinasi kita yang dibentuk ole fenomena hoaxs yang melahirkan hoaxs-hoaxs di kepala, sebelum akhirnya ia menjadi ide-ide revolusioner tentang keadilan dunia. Seperti fenomena aktivis sayap-kiri kiri yang telah rampung membaca Das-Kapital, kemudian ia keluar melihat dunia dengan membagi beberapa klas-klas dalam hegemoni sosial. Akhirnya, ia bertindak sebagai juru selamat dengan menciptakan karakter musuh abadi bernama Kapitalis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walau sangat simplifikatif, komikal, dan karikatural, solusi darimu layak dicoba, Wy. Minimal oleh orang per orang. ^_^

      Hapus
  14. Mungkin sy juga pernah jadi korban berita hoax gara-gara ada yg sebar berita di grup WA. Hmmm jadi harus waspada dengan berita atau isu-isu yang tersebar di medsos. Harus dicari dan diteliti dulu keasliannya. Jangan langsung percaya, apalagi kalo berita itu tentang politik, sara dan agama, yaaaa hati-hati, jangan sampai kita jadi korban berita HOAX!

    Semoga dengan tulisan kak anwar ini dapat mencerahkan pembaca yang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seperti tulisan di atas: kita semua pernah merayakan hoaks. Meski mungkin kadarnya yang berbeda.

      Yang terpenting sekarang: bekali literasi media dalam diri sejak dini. ^_^

      Hapus
  15. Selagi persaingan antar para elits politik serta pengusaha masih bergema lantang, saya rasa hoaks hanya akan musnah pasca Israfil meniup Sangkakala.

    Poin-poin ihwal bahaya hoaks yang dikalimatkan dengan sangat rapi dan renyah oleh sang idola saya, mas Anwar, begitu tajam. Saya suka. Ini betul2 harus disebarluaskan. Insya Allah jihad ya mas? Saya yakin!

    Sudah saatnya di jaman wuedddannn ini manusia-manusia yg dinilai oleh khlayak pintar, agamis, cerdas dan terhormat itu dibuat tak berdaya. Karna wujud asli mereka yg sesungguhnya sebatas manusia berotak kerdil penebar hoaks dan fitnah. Sudah pasti mereka riang gembira ketika nyaris semua orang termakan isu hoaks yg mereka angkat.

    Namun, memang betul apa yg dikatakan oleh Mas Anwar di atas bahwa melakukan jihad melawan syahwat mengonsumsi berita hoaks itu sulit. Sangat sulit.

    Alhamdulillah saya sangat bersyukur dan bahagia karna bisa dipertemukan dgn sesosok manusia sederhana, andhap asor, dan senantiasa mencerahkan jiwa dan seisi kepala, mas M Khoirul Anwar. Sejak tahun 2014 silam, saya menjadi saksi betapa beliau tak pernah berhenti mengajak para pelajar, santri, pemuda serta masyarakat pada umumnya untuk senantiasa tabayyun dalam segala hal ihwal, terutama saat mengonsumsi berita. Setidaknya, siapkan kopi dan cemilan paska membaca berita atau mendengar isu apapun, kemudian ajaklah orang lain dan mereka yg releva menjadi teman untuk tabayyun bersama.

    Terakhir dan terkhusus, untuk seluruh media (apapun jenismu) beserta pewarta dan seisinya, tak lupa juga teruntuk para pemangku amanat rakyat: mari sejenak tundukkan hati dan renungkanlah kerusakan apa yg kelak akan terjadi setelah kuota bernafas raib hanya digunakan untuk menghembuskan isu dan fitnah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Ian atas testimoni kesaksiannya.
      Mari bersama galang jihad menangkal hoaks.
      Demi adab kebenaran yang kita junjung bersama.
      Semoga barokah dan manfaat.
      ^_^

      Hapus
  16. "Hoak lebih kejam dari pembunuh berdarah dingin" (Syarif Hidayat, Seniman)
    Benar sekali, kita mesti waspada dengan berita-berita hoak yang kini kian merajalela. Dan kita semestinya harus menggodok berita-berita yang kerap kita temui seperti di FB, Twitter, koran serta media lainnya, agar kita tahu kebenaran sesungguhnya. Luar biasa tulisan Mas Anwar. Ayo kita sirnakan "hoak".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada tahun 2003, ratusan ribu warga sipil Iraq yang tak bersalah diinvasi Sekutu karena berita hoaks berupa senjata pembunuh massal yang tak ada buktinya hingga detik ini.

      Karena itu, saya setuju dengan kalimat "Hoak lebih kejam dari pembunuh berdarah dingin".

      Hapus
  17. Dengan tulisan yang sangat menginspirasi ini semoga kita semua tidak mudah percaya dengan segala berita yang masih belum jelas kebenarannya.
    Makasih Mas Anwar semoga senantiasa mengarahkan kita pada Jalan kebaikan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Santri harus siddiq amanah tabligh fathanah. Kalau fathanah, insya Allah takkan pernah termakan hoaks. ^_^

      Hapus
  18. Hoax adalah virus yang dapat menyebar sngat cepat. Kita harus waspada terhadapnya. Otak kita bisa teracuni olehnya.
    Dengan tulisan ini setidaknya kita bisa waspada terhadap virus itu. Dan semoga tulisan ini menjadi anti virus bagi semua orang yang terjangkit. Terima kasih mas anwar.
    Ayo share teman-teman...!!😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoaks tak hanya menyerang otak. Tetapi daya destruktifnya juga sanggup meruntuhkan bangunan pondasi bangsa dan negara.

      Sama-sama Fajar. ^_^

      Hapus
  19. Dikatakan waktu sebagai tuhan bagi para produktor hoax, sehingga dalam waktu yg sangat singkat dapat terproduksi ribuan hoax dari ratusan produktor.
    Semua tawaran yg mas anwar berikan adalah tawaran untuk orang diatas sana, saya berharap yg diatas dapat mempertimbangkan kebersihan virus pada rakyatnya dari pada keuntungan finansialnya, menurut saya, hanya hidayah yg dapat membukanya mas, jika mata hatinya masih terpampang rupiah dikelopak matanya, tak banyak harapan rakyat dapat mencerna informasi yg bebas dari kata hoax. Mugi gusti paring pituduh gustii...

    Sebagai pembaca yaa baca... Apalagi orang yg baru belajar menjadi pembaca, seperti saya yg tak tau caranya pilah pilih, tak sempat mencari kebenaran ribuan info yg datang sekejap mata...
    Maka dati itu, untuk saya pribadi, lebih tertarik pada akhir kalamnya mas anwar...
    Ksuhun pindah malih mas, sudah mengingatkan juga dengan maqola yg sering saya dengar,
    من كثر كلامه كثر خطأه,,,
    Intinya, lebih banyaklah berfikir agar dapat lebih banyak manfaat bagi masyarakat...
    Suwun mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan ini selain untuk orang di atas, juga untuk masyarakat pada umumnya De. Terutama untuk para pendidik dan insan akademik.

      Saya suka maqalahnya. Emang bener, kadang diam itu emas. Tapi bukan diam yang pasif. Tapi diam yang aktif. ^_^

      Hapus
  20. Hoax memang virus mematikan yg ada pada informasi. Saat ini hoax layaknya propaganda pada kehidupan beberapa abad silam. Yang mampu menciptakan perang maha dahsyat. Perang siffin salahsatunya.
    Literasi media yg ditawarkan kak khairul anwar saya rasa menjadi solusi bagi hoax dalam mengantisipasinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, salah satu aktivis Literasi Media-nya langsung turun gunung untuk menanggapi.

      Ayo digemakan lagi. Jika dulu di SMA, kini kampanyenya karena udah kuliah ya di kampus. ^_^

      Hapus
  21. Sy berkali2 termakan berita hoax ntah itu lewat Facebook, sms ataupun grup wa. Tapi stlah membaca tulisan ini, sy jadi agak mengerti tata cara menangkal hoax. Trmksh mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih juga Aldi. Semoga artikel sederhana ini ada manfaatnya. ^_^

      Hapus
  22. Yah benar2 susah menghindari hoax di zaman sekarang ini.hoax yang benar benar berbahaya ini bisa menyebabkan seseorang liar akan pikirannya dalam sekejap layaknya terkena rabies bahka n bisa dikatakan efeknya seperti PCC mungkin.makanya kita harus berhati2 terhadap semua elemen hoax yang ada di zaman sekarang ini dengan mengetahui mana yang asli dan mana yang hoax.
    Untung nya mas khoirul Anwar senantiasa mau memberikan solusi,tips,trik cara menangkal hoax agar kita tidak terjangkit pada kita. terimakasih mas

    BalasHapus