Belajar pada Intifadha

Saudara seagama kita nun jauh di sana telah sekian lama memeperjuangkan hak-haknya dari cengkraman imperial. Palestina nama Negara itu. Dan Israel, negeri Zionis yang sepanjang sejarah selalu membuat noda hitam pada lembar kehidupan, menjadi lawannya. 

Tentu ini adalah pertempuran timpang. Dari Palestina tak punya banyak bea dan senjata, hanya secuil bara yang selalu tersulut oleh dogma-dogma agama. Lalu di mana negara-negara Islam lain? Kebanyakan mereka lebih suka menyanyi seriosa (dengan upaya-upaya diplomatiknya) Dan tak sedikit yang menjadi penonton setia, sambil mengkambinghitamkan pihak sana pihak sini, seperti negeri mayoritas muslim ini, Indonesia. 

Meski Indonesia mendapat kehormatan menjabat anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia tetap tak bisa berbuat banyak. Sebab intervensi luar, ketergantungan serta ketakutan pada negara-negara adidaya, selalu menjadi kendala utama. Bank Dunia dan IMF, terutama. Lalu apa makna stereotip yang selama ini menempel di pundak Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia ini? Tidakkah ini adalah sebuah ironi yang tragik?


Perlu diketahui, memang, Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah mampu memiliki jati diri yang kredibel, apalagi kuat (mungkin dalam hal ini Aceh bisa dikecualikan). Indonesia serupa makhluk berkelamin ganda. Dalam barsikap, berpikir, bernegara, dan bahkan bekerja. Ini dapat dibuktikan dengan cara menengok kembali kebijakan, tatanegara, UU, konvensi, yang kesemuanya bukan asli produk dalam negeri. Melainkan hasil impor negara lain yang pernah bertengger lama di Bumi Nusantara ini: Belanda

Jadi, stigma yang mengatakan Indonesia negeri terkental muslimnya itu lebih merupakan utopia saja sejatinya. Beban yang memberati, tepatnya. Toh Indonesia sendiri secara historis-empiris belum menemukan bentuk sejatinya. Kenapa juga harus 'membela' sesuatu yang masih abstrak wujudnya; Islam.

Israel bagaimana? Tak perlu disangsikan lagi, negeri yang baru separuh abad menjemput kemerdekaannya (dengan cara menjarah, menindas, merampas dan memperkosa tanah Palestina) itu jauh lebih kondusif dalam segala lininya. Dukungan datang dari negara-negara koalisi adidaya (terutama Amerika Serikat dan Inggris), baik berbentuk 'legitimasi' ataupun materi: suplai dana, persenjataan, dan kiriman bala tentara. Itu sudah lebih dari cukup. 

Belum dihitung fasilitas internal negeri Yahudi itu  sendiri, yang sudah lama dibiarkan IAEA (Badan Pengawas Nuklir/Atom Dunia) untuk mengembang-biakkan teknologi nuklir, misalnya (bandingkan dengan kasus nuklir Iran yang dalam prosesnya selalu dikebiri oleh Amerika dkk, dengan berbagai macam alasan). Memang, Israel tak ubahnya anak emas yang dipelihara bangsa Barat untuk merongrong bangsa muslim Timur Tengah.

Tak usah dibahas di sini tentang standar ganda yang dipakai Amerika terhadap Islam. Sebab saban hari kita sudah kenyang dijejali bukti akan itu lewat berbagai varian macam media, cetak maupun elektronik. Modusnya bisa beraneka macam, adakalanya berbentuk hukum internasional, resolusi PBB, dan bahkan “norma” serta “kesopanan”. Wajar saja jika Edward Said mengemukakan tesis:: sepanjang sejarah Barat, terutama sejak Abad Pertengahan, Islam tidak pernah dibicarakan secara dingin dan  rasional. Kerangka yang muncul selalu berupa kecurigaan dan cara pandang permusuhan yang jauh dari proposional. 

Ironi Demokrasi
Syahdan, tragedi kemanusiaan itu benar-benar telah menampakkan rupa asli demokrasi a la negara-negara Barat. Demokrasi yang mengesahkan tindak diskrimansi dan anarki yang brutal. Atas nama demokrasi, Negara Barat telah banyak mengebiri hajat hidup orang banyak. Bahkan tetangganya sendiri, negeri-negeri Amerika Latin, oleh Amerika dipasung diembargo dan dicekal hanya lantaran tak mau mengimitasi produk demokrasi khas Washington. 

Memang seperti inilah wujud asli demokrasi mereka. Yakni demokrasi yang dalam sosialisasinya menghalalkan segala macam cara. Termasuk yang ironis dan sarkastik sekalipun. Dan tragiknya, di negeri-negeri Islam, seperti Turki dan Aljazair, demi demokrasi, partai Islam di sana dibungkam kemenangannya karena takut mengancam iklim demokrasi di masing-masing negara mereka. Ini sungguuh kekonyolan tiada tara, bukan? 

Padahal, demokrasi khas Barat tak mungkin diterapkan dalam semua negara yang memiliki sosio-kultur yang berbeda. Sebab mereka tentu mempunyai landasan nilai yang tak harus sama. Sebab pada hakikatnya apa yang menurut Barat baik tak selamanya menurut Timur juga sesuai dan relevan, ujar Fareed Zakaria, seorang kolumnis muslim majalah bergenggsi USA, News Week.

 
Teladan Intifadha
Sepertinya kita umat Islam tak perlu lagi menunggu siapa-siapa (negara sekalipun) untuk membantu saudara kita di Palestina. Kita harus memulai perlawanan ini dari sesuatu yang terlampau remeh dan dari diri sendiri. Dengan intensitas dan keyakinan, insya Allah setitik demi setitik akan membawa dampak perubahan nan cerah. 

Para pemuda yang terjaring dalam kelompok Intifadha di Palestina, mungkin dapat dijadikan tauladan dalam hal ini. Yakni mereka yang berjuang dan bergerak secara independen tanpa intervensi dari siapa pun. Yang menjadi motivator sekaligus motor penggerak para pejuang ini murni hanya ingin mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan (rakyat) Palestina semata. Kultural dan militerisme, di antara strategi yang mereka gunakan. Dengan cara merayap ke dalam ceruk-ceruk batin masyarakat, mereka lancarkan aksinya itu.

Ini tidak harus dipahami secara dangkal. Sebab beda Palestina beda juga Indonesia. Mungkin mereka mampu mengangkat senjata dan berperang secara face to face, tapi tidak kita. Karena itu kita harus memakai modus yang berbeda dan jenaka. Yang lebih vital dan subtansial tentunya:  merekonstruksi paradigma berpikir dan kultur! 

Artinya, sedari saat ini kita harus berani mengambil sikap emoh terhadap hal ikhwal yang bersifat "kebarat-baratan". Emoh dalam konotasinya yang positif dan dinamis, harusnya. Bukan emoh yang lahir dari rasa apriori dan apatis, sebab itu hanya berpotensi menjebak kita dalam jeruji pasif yang berdosis sama bahayanya.

Konkritnya bisa dikatakan: Pertama, kita harus lebih cermat dan intens dalam mengeksplorasi nilai-nilai khas ke-Timuran. Tancapkan keyakinan dari mulai saat ini bahwa budaya Timur tak kalah kayanya dengan produk kultur Barat. Sebab memang fakta sejarah berbicara demikian. Tentu kita ingat betapa Timur (Islam) pernah memegang laju kendali sejarah peradaban dunia ­kurang lebih satu millenium lamanya. 

Jadi, ada semacam upaya counter balik khasanah berharga kita yang dulu sempat "kecolongan" oleh tentara Salib dan para begundal rezim Genghis Khan. Ambillah hikmah (ilmu pengetahuan) di mana saja kalian temukan, tutur Nabi SAW mengingatkan. Juga, ingatlah matahari boleh saja berpendar terang di pucuk Barat, tapi ia muncul awal kali di ufuk Timur, kata Muhammad Iqbal, filosof  Pakistan, menguatkan.

Kedua, menyulut kembali jiwa kompetitif yang telah sekian lama padam dalam nurani kognitif kita. Sebab hidup di dunia yang egoik dan materalistik seperti sekarang ini, sulit jika tidak berani berkompetisi. Ini hanya sebagai langkah depensif dari kemungkinan yang bisa datang secara tiba-tiba. Terutama dari pihak luar. Karena memang mereka yang mengawali dan memupuk ketegangan ini. Tesis Samuel Huntington, The Clash of Civilization, cukup untuk dijadikan bukti.

Kedua langkah di atas hanyalah sekadar tawaran yang tidak harus dikontekstualisasikan secara tergesa-gesa dan sembrono. Sebab keduanya bukanlah resep ketat yang apabila tidak dilakukan akan membuahkan bahaya yang signifikan. Konklusinya penulis kembalikan pada masing-masing pembaca. Tetapi yang jelas, tentu kita tak mau merusak alur sejarah yang mendedahkan bahwa tentara David yang secuil, Intifadha, pernah memenangkan peperangan melawan Goliath yang perkasa. Juga, tentu kita tidak ingin menjadi korban negara adidaya yang ke sekian kalinya setelah Palestina, Lebanon, Libya, Irak, dan Afghanistan, bukan?  Wallahu A'lam.

Kabar Cirebon, Jumat 29 Juni 2012

0 Response to " Belajar pada Intifadha "

Posting Komentar