I
have imagined that paradise will be a kind of library!
(Jorge Luis Borges)
Beberapa hari yang lalu, jagat media sosial
kita kembali riuh-bergemuruh. Bukan lantaran selebrasi sensasional yang kerap ditebarkan
para artis, juga bukan sebab ancaman radikalisme yang kini tengah kembali
meradang. Melainkan karena pernyataan salah satu petinggi partai di republik
ini yang berseloroh: pengumpulan data kecurangan pilpres ke Mahkamah Konstitusi
tidak bisa dilakukan seperti Roro
Jonggrang membuat Tangkuban Perahu (03/08).
Sontak statemen tersebut menjadi
bulan-bulanan di linimasa twitter maupun facebook. Pasalnya, cerita rakyat Roro
Jonggrang dan Tangkuban Perahu cukup familiar bahkan di memori kognitif siswa
sekolah dasar sekalipun. Majal sekali tentunya jika mengatakan Roro Jonggrang
sebagai pembuat Tangkuban Perahu. Padahal tokoh, setting, plot, dan narasi
cerita tersebut jelas jauh berbeda. Pasangan Roro Jonggrang adalah Bandung
Bondowoso. Sedangkan Tangkuban Perahu mengisahkan Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
Meski narasi dan plot kedua cerita rakyat ini nyaris sama, tapi tokoh dan
setting cerita sangat berbeda.
Kisah Roro Jonggrang bercerita tentang
seorang putri yang mematok syarat pernikahan dengan dibuatkan seribu patung dan
candi dalam waktu semalam oleh pangeran Bandung Bondowoso. Candi itu sekarang
kita kenal dengan candi Prambanan di Yogyakarta. Sedangkan Tangkuban Perahu
mengisahkan Sangkuriang yang murka lantaran tak dapat memenuhi permintaan
kekasihnya, Dayang Sumbi yang notabene adalah ibunya sendiri, untuk membuat
perahu dan telaga sebagai syarat pernikahan. Kemurkaannya diluapkan dengan
menendang perahu hingga terbalik. Jadilah cerita rakyat Tangkuban Perahu yang
amat populer di Jawa Barat.
Terlepas dari ramainya kontroversi yang
mengemuka, ada hal substansial yang mustinya diperbincangkan lebih lanjut. Kita
bisa memulainya dari pertanyaan sebagai berikut: bagaimana mungkin manusia Indonesia yang
menduduki jabatan strategis dalam sebuah partai mengalami “buta aksara”
sedemikian? Mengapa mayoritas orang dewasa abad ini seakan mulai mengalami
penyakit psikologis berupa tuna literasi budaya?
Kembali
ke Aksara
Kita harus kembali ke sekolah jika ingin
mengatasi pelbagai macam masalah (Douglas Greer: 1991). Agar insiden serupa tak
terulang, ada baiknya kita kembali mengakrabi dunia sekolah: dunia aksara. Tentu
aksara di sini tak melulu sebagai pembelajaran aksara tingkat dasar. Karena Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), melalui Direktorat
Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI),
pada tahun 2014 telah mengejawantahkan layanan kegiatan keaksaraan meliputi:
keaksaraan dasar, keaksaraan usaha mandiri, aksara kewirausahaan, dan peningkatan
budaya tulis melalui aksara berbasis cerita rakyat.
Poin terakhir inilah yang rasanya kerap
luput dari perhatian hingga melahirkan tragika di atas. Ini mungkin lantaran
fokus pendidik selama ini adalah angka buta aksara dasar yang kini mencapai 6,4
juta manusia di Indonesia.
Kendati mengentaskan angka buta aksara merupakan hal yang mulia, melanggengkan
keaksaraan menuju pemberadaban manusia juga mustinya jauh lebih mulia, bukan?
Mengutip rilis Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat,
Ditjen PAUDNI: kegiatan pasca keaksaraan
sangat urgen diberlakukan lantaran para aksarawan baru cenderung kembali buta
aksara apabila kemampuan keaksaraannya tidak dipergunakan secara fungsional dan
berkelanjutan.
Artinya, pendidikan keaksaraan tak cukup jika
melulu ditangani dengan proses tambal sulam yang konvensional semata. Melainkan
bagaimana caranya agar aksara dapat menjadi suluh yang sanggup menerangi si
empunya untuk menjemput kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain: bagaimana
menjadikan aksara lebih eternal dan laten dalam perikehidupan manusia Indonesia.
Mengingat di era globalisasi ini melek aksara saja tak cukup, jika tak dilanjutkan
dengan merawat dan melahirkan ide-ide baru melalui medium aksara. Itulah tujuan
pembangunan millenium (Millenium Development Goals-MDG’s) yang
sebenarnya. Itulah tantangan jangka panjang dunia keaksaraan di abad 21 ini.
Melihat betapa pentingnya keaksaraan secara
berkelanjutan, pemerintah sampai perlu mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2006
tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA). Inpres ini ditindaklanjuti
dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan GNP-PWB/PBA dan Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (LIFE)
UNESCO-UNLD. Dari seperangkat regulasi ini tercermin kesungguhan pemerintah
dalam memerangi penyakit buta aksara dalam segala dimensinya.
Nyalakan
Lilin
Daripada mengutuk kegelapan, mari nyalakan
lilin harapan. Berangkat dari semangat itu, sejak dua tahun lalu
saya mulai mengkampanyekan pentingnya dunia literasi yang melingkupi: membaca,
menulis dan dokumentasi. Awalnya saya hanya ingin membangun Rumah Baca mini
yang bisa diakses siapapun secara gratis. Tapi ternyata langkah itu kurang
efektif. Menunggu para pelajar meminjam koleksi buku ibarat mencari jarum di
tumpukan jerami.
Saya memutuskan untuk menjemput
bola. Saya datangi sekolah-sekolah dan pesantren di daerah saya tinggal: Cirebon. Betapa kagetnya ketika
melihat fakta 90% mata pelajaran bahasa-sastra dan ekstra kurikuler yang berhubungan
dengan dunia literer nasibnya begitu menggiriskan. Dari titik itulah, pada 10
Oktober 2012 Serikat Penulis Pelajar (SPP) resmi berdiri. SPP adalah wadah bagi
para pelajar yang hendak mengabadikan hidupnya dalam deret aksara. Pasantren
pun menyusul dengan bendera Bilik Aksara Santri (BAS). Kedua organ itu, meski
masih berupa embrio, hendak membaiat dirinya menjadi petani-petani literasi.
Kegiatan kedua organ itu melingkupi pembekalan
materi baca-tulis dasar, pembacaan cerita-cerita rakyat, bedah buku-film,
hingga me-review buku-buku terbaru yang kami anggap asyik. Hasil dari pertemuan
itu kami dokumentasikan dengan baik. Saya tancapkan keyakinan pada tunas-tunas
muda itu bahwa tradisi literasi adalah syarat mutlak jika sebuah bangsa hendak
maju. Sebab, membaca adalah proses agar kita tak mengidap penyakit laten
amnesia sejarah, dan menulis merupakan perangkat lunak supaya kita senantiasa
memperbaharui sejarah dan mendokumentasikannya dengan baik.
Saya kagum dengan Jawahral Nehru
yang membangun perpustakaan National Book
Trust dan Sahitya Academy
di India. Melalui perpustakaan itu, ia merancang program pengentasan angka buta
huruf. Berkat keberhasilannya, ia mendapat ganjaran dari UNESCO berupa UNESCO’s Noma Literacy Prize pada tahun
1999. Saya juga takjub dengan Thomas Jefferson, penulis The Declaration of Independence AS yang mendirikan The Library of Congress. Dari
perpustakaan itulah, Paman Sam banyak memacak sejarah-sejarah gemilangnya.
Di atas semuanya, saya percaya
aksara-lah yang akan memajukan suatu peradaban. Bukan gadget maupun
pusat perbelanjaan. Dan saya sadar, negeri ini masih dikerubuti penyakit
tuna-baca, tuna-tulis dan tuna-dokumentasi. Kita baru terlepas secuil dari
endemi penyakit tuna-aksara, tapi belum juga sanggup beranjak dari ketiga kubangan
penyakit kronis lanjutannya. SPP dan BAS adalah dua lilin yang ingin turut
menyemarakkan kegelapan keberaksaraan yang kini masih menyelimuti negeri. Sebab
itu, kita perlu lilin-lilin lain untuk menyambut semangat yang sudah disulut
oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat
Ditjen PAUDNI di atas agar gema keberaksaraan lebih menyala lagi.
Saya yakin, negeri ini kelak akan keluar
dari satire yang diutarakan Seno Gumira Ajidarma dalam pidato pemerimaan South
East Asia (SEA) Write Award 1997: “saya berasal dari sebuah negeri yang
resminya sudah bebas buta huruf, namun dipastikan sebagian besar masyarakatnya
belum membaca secara benar –yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan
nilai kehidupan. Negara kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari
alamat, membaca harga-harga, membaca lowongan kerja, membaca hasil pertandingan
sepak bola, dan membaca discount obral
di pusat-pusat perbelanjaan.” Nah!
Radar Cirebon,
15 Agustus 2014
0 Response to " Aku Beraksara, Maka Aku Ada! "
Posting Komentar