Di alaf modern ini, dunia dan kehidupan silat kini semakin
menepi dan jarang diminati. Lantaran, mindset masyarakat saat ini masih
menganggap silat sebagai cabang olahraga yang tak relevan lagi dengan konteks
zaman –mengingat kian canggihnya perkembangan tekhnologi- dan kurang komersial
secara finansial –dibanding dengan cabang olahraga lain seperti sepak bola
misalnya.
Untuk contoh kecil yang pertama, ialah minimnya –untuk tak
mengatakan tak ada sama sekali- mahasiswa atau siswa didik yang mengambil
kegiatan silat sebagai program ekstranya. Kebanyakan dari mereka lebih memilih masuk
organ-organ ekstra yang lebih simpel, praktis, komersial dan sesuai dengan
denyut nadi zaman tentunya. Band kampus, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Mahasiswa
Pecinta Alam (Mapala), teater, cheerleader, adalah beberapa yang bisa
ditunjuk sebagai misal.
“Belanda masih jauh! Atau: hare genee belajar
silat? ”, adalah beberapa celoteh yang kerap mereka lontarkan setiap kali
penulis tanya kenapa tak masuk dalam organ ekstra silat. Sebenarnya apa yang
salah dengan silat? Apakah manusia adab modern memang tak lagi peduli dengan
kesahatan tubuh dan keseimbangan hidupnya, atau praktisi silat sendiri yang
kurang piawai dan universal dalam mensosialisasikan urgensi silat di masa
sekarang?
Nilai positif
Fakta seperti ini tentu sangat disayangkan. Mengingat fungsi
silat tak hanya untuk bela diri menghalau musuh, atau kuda-kuda dalam berperang
saja, tapi lebih dari itu semua: menjaga keselarasan dan kesehatan (baik fisik
maupun psikis) kehidupan manusia dan alam semesta. Atau bisa juga sebagai
proyek turut andil dalam pelestarian budaya Nusantara –untuk konteks silat
pribumi. Atau bahkan, dan ini yang terpenting untuk konteks saat ini, sebagai
salah satu medium menghalau pemanasan global (global warming). Kok bisa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu penjelasan yang lebih
detail dan sistematis. Pertama, silat sebagai medium untuk memelihara
kesehatan si empunya, tentu tak diragukan lagi. Pasalya banyak organ dan persendian
tubuh menjadi lancar dan dinamis dikarenakan gerakan-gerakan tertentu dalam
silat. Contoh kecil saja yaitu ikhwal pembakaran kolesterol (lemak) yang
menggumpal dan bersarang dalam tubuh. Tentu kita semua tahu bahwa salah satu
pangkal penyakit adalah bejibunnya kolesterol dalam tubuh. Maka pembakaran
lemak secara alami via silat, menjadi hal yang niscaya.
Kedua, masalah
silat sebagai salah satu pilar untuk melestarikan khazanah budaya Nusantara,
jelas sekali tentunya. Lantaran, pusaka yang diwariskan oleh nenek moyang kita
tak hanya sekadar seni ukir, seni batik maupun seni tutur dan tulis saja, tapi
lebih jauh dari itu adalah warisan yang berupa seni beladiri. Terbukti,
terdapat beberapa aliran seni beladiri khas pribumi yang tetap eksis hingga
kini. Pencak Silat Siwah (Aceh), Silek Harimau (Minangkabau), Pencak Sasak
(Lombok), Sandhi Murti (Bali), Cikalong (Cianjur), Gambus (Banten), dan masih
banyak lagi. Itulah diantara beberapa asset budaya Nusantara yang harus terus
dirawat dan ditumbuhkembangkan.
Ketiga, kaitan
antara silat dan global warming. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa global
warming kini tengah menjadi endemik dan momok bagi kehidupan alam kita. Itu
semua disebabkan oleh, salah satunya, banyak manusia yang mengkonsumsi daging
secara berlebihan. Daging merupakan komoditas penghasil
emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon
gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta
api, helikopter) di dunia (13,5%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari
penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah
dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk
pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2 (Livestock’s
Long Shadow – Environmental Issues and Options).
Di sinilah silat mendapatkan perannya yang proporsional. Karena
dalam beberapa aliran beladiri silat tertentu, terdapat fase dimana sang murid
harus melakoni puasa mutih (vegetarian). Substansinya sang murid
diajarkan untuk melakoni pola hidup yang menghargai binatang, dengan cara
bervegetarian. Bayangkan jika ada seribu murid saja yang bervegetarian, berapa juta
emisi karbon yang kita tekan demi kesehatan Bumi? Maka dengan belajar menekuni
dan mangakrabi dunia sunyi silat, sejatinya kita telah turut andil dalam
menyelamatkan dan menjaga Bumi dari musuh yang kini mencengkram kehidupan kita
bersama: pemanasan global.
Itu semua hanya secuil manfaat yang bisa dipetik dari silat.
Hikakatnya, masih tak tehitung efek positif yang bisa kita reguk jika kita mau
memaknai silat secara dinamis, kontekstual dan radikal. Dari semua uraian di
atas akhirnya silat mendapat relevansinya yang paling signifikan. Karena begitu
beragamnya nilai positif yang terkandung dalam silat. Oleh karena itu, alangkah
baiknya jika mulai sekarang kita tak perlu lagi mengikuti program body
building yang menuntut biaya selangit itu. Kita juga tak perlu ikut fun
bike day yang hanya berupa hiburan angin-anginan daripada olahraga
sungguhan. Atau menjadi anggota LSM yang bergiat terhadap kelestarian
lingkungan. Karena dengan mengikuti silat saja, kita sejatinya telah melakoni
ketiga hal tersebut. Ekonomis, alami, dan lebih terbukti, bukan?
Rekonstruksi mindset dan mediasi
Masalahnya sekarang tak hanya berhenti hanya dari manfaat
apa yang bisa ditebarkan oleh silat, melainkan bagaimana caranya agar silat
bisa kembali lagi diterima oleh khalayak luas. Beberapa tawaran dari penulis
ini mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Pertama, merekonstruksi makna
dari silat itu sendiri. Artinya, makna silat yang semula hanya seni bela diri
harus diperluas cakupan semantik maupun semiotiknya menjadi, misalnya, seni
menjaga kesehatan, seni merawat budaya, seni menyeimbangkan hidup maupun seni
mengakrabi alam semesta ini. Image yang mempertontonkan silat hanya
sebagai seni adu jotos harus segera diverifikasi mulai saat ini –meskipun peran
itu juga harus tetap ada.
Seperti kata tokoh Lintang dalam buku Laskar Pelangi,
pada dasarnya semua berhulu dari paradigma berpikir kita dalam melihat sesuatu.
Jika cara pandang sempit yang kita gunakan, maka out put yang
dihasilkannya pun akan sempit pula. Begitu juga bila sudut pandang kita
diperlebar, maka produk berpikirnya pun akan sama-sama universal. Oleh sebab
itu, sudah saatnya paradigma berpikir kita dalam memandang silat harus segera
direkonstruksi.
Misal terobosan jenius yang telah dilakukan FP2TSI:
mendelegasikan beberapa pendekar untuk membekali seni beladiri pada para TKI.
Terobosan ini, di samping menjadikan silat sebagai seni beladiri, juga sebagai
media bela sesama saudara setanah air yang nasib keselamatannya kurang
diperhatikan bahkan oleh pemerintah kita sendiri. Makna silat di sini meluas
menjadi ajang untuk saling menebar rasa kemanusiaan pada sesama.
Kedua, meremajakan
kembali mediasi yang dipakai untuk mensosialisasikan silat. Medium itu bisa
mewujud dalam beragai hal: cetak atau visual. Seperti yang baru-baru ini dengan
apik dilakukan oleh Gareth Evans melalui film The Raid (PT. Merantau
Film). Film yang ingin menampilkan keelokan pencak silat ke penjuru
dunia ini berhasil menjadi Runner Up Box Office Amerika (JPNN.com,
26/03). Di Los Angles bahkan The Raid menjadi trending topik
di Twitter (metrotvnews.com, 25/03).
Ini tentu berita yang sangat menggembirakan untuk pecinta
silat khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena kita
penonton Indonesia sesungguhnya sudah lama jengah dan jenuh dengan suguhan film
horor dan sensual yang jauh dari nilai edukatif. Disamping itu, setelah
mendekam begitu lama di dunia internasional, dunia perfilman kita akhirnya menggeliat
lagi. Lebih hebatnya, tema yang diunggah sebagai fokus utama adalah silat
tradisi khas Indonesia.
Karena itu, era mensosialisasikan silat via komik manual,
misalnya, kini sudah tak lagi memadai. Karena disamping jangkauan audiensnya
sangat terbatas sekali, di era digital ini banyak media lain yang lebih
representatif untuk digunakan. Harus ada terobosan media sosialisasi yang
sifatnya lebih menyeluruh, universal dan membidik segala kalangan. Saya yakin,
dengan booming-nya film The Raid di penjuru dunia, penggemar dan
peminat silat akan lebih meruyak dan membludak. Baik di dalam maupun di luar
Negeri. Pada akhirnya, kita bangga mempunyai asset budaya berupa seni beladiri
silat (tradisi).
Bagaimana menurut Anda, para pecinta silat Nusantara? Wallahu
A’lam.
0 Response to " Merekonstruksi Makna Silat "
Posting Komentar