Sekolah sebagai siksaan yang
tak tertahankan
Ucap
penyair India, Rabindranath Tagore, ini memang terkesan terlalu mengada-ada.
Bagaimana mungkin lembaga pendidikan yang tugasnya mencetak manusia berpengetahuan
disamakan dengan “lembaga pemasyarakatan” yang sarat dengan nuansa anarkisme
itu. Tapi jangan terburu membuat kesimpulan dulu, karena pernyataan ini juga
didukung oleh pengamat lain yang concern terhadap dinamika pendidikan.
Diantaranya, ketika akhir 1970-an, Ivan Illich mengejutkan masyarakat,
praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasannya yang kontroversial. Yaitu
tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah).
Ivan
memprediksi, jika pengetahuan dan kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan
wajar, maka secara otomatis institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi
diperlukan. Dengan alasan, masyarakat akan mampu menggerakkan fungsi pendidikan
lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat oleh otoritas
kelembagaan seperti sekolah. Artinya, dalam masyarakat ini sekolah tidak lagi
dibutuhkan.
Sekolah
Kini
Sebegitu
kacaukah dunia pendidikan saat ini, hingga banyak kalangan yang sudah membubuhi
“cap merah” padanya? Memang jika mau menilik secara jernih situasi pendidikan
Indonesia saat ini, betapa tepatnya semua pernyataan di atas. Kita lihat, dalam
perkembangannya, lembaga pendidikan (khususnya sekolah), tidak banyak
mempersembahkan efek positif signifikan terhadap para siswa didik, entah itu
dari segi skill maupun pengetahuan. Sebaliknya, sekolah lebih berperan
sebagai “penjara” yang memisahkan anak didik dari dinamika persoalan
masyarakatnya.
Semakin
lama seseorang bersekolah, semakin rentan pula jarak antara dirinya dengan
realitas nyata. Bahkan, sistem pendidikan yang tidak kondusif juga telah
mengakibatkan bakat dan kreatifitas anak didik terpasung. Ujung-ujungnya,
sekolah bukan lagi tempat untuk belajar, melainkan “kamp” siswa untuk didesain
sedemikian rupa menurut konsepsi yang nir-proporsional.
Untuk
sedikit membuktikan bahwa lembaga pendidikan kita masih dalam fase “merangkak”,
mari kita lihat hasil survei Political and Economic Risk Consultant (
PERC). Di dalam survei tersebut tertera bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 Negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Negara yang “baru kemarin pagi” menjemput kemerdekaannya, Vietnam.
Kualitas yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang, bahwa dari 146.062 SD
di Indonesia, ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia, juga hanya delapan sekolah saja yang mendapatkan pengakuan dunia
dalam kategori The Diploma Program (DP).
Lebih
jauh, berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) yang dibuat oleh
United Nations Development Programe (UNDP), menyatakan bahwa Indonesia
berada pada peringkat 110 dari 177 Negara. Di bawah Vietnam, Filiphina,
Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura yang sama-sama Negara ASEAN. Vietnam
berada di urutan 108, Filiphina ke-84, Thailand ke-73, Malaysia ke-61, Brunei
Darussalam urutan ke-33, dan Singapura pada urutan ke-25. Data HDI ini diukur
dari indeks pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Ironis bukan?
Ini
untuk skala Internasional, belum yang masih pada tataran wilayah regional,
tentu sudah bisa ditebak hasilnya. Akibat pola pendidikan yang selama ini kerap
mengedepankan konseptual-teoritis belaka, banyak out put sekolah yang
buta terhadap pernak-pernik realitas, hingga menyebabkannya, meminjam istilah
Max Weber, teralienasi dari dunianya sendiri. Lemahnya kompetensi,
kreativitas, serta kemandirian adalah ciri yang paling mencolok dari para
lulusan lembaga pendidikan kita saat ini. Tentu saja ada pengecualian dalam hal
ini. Tetapi, berlimpahnya alumni dan sarjana setiap tahunnya yang belum mampu
menjadi daya dorong transformasi masyarakat ke arah yang lebih baik, paling
tidak bisa menjadi bukti akurat dari gagalnya orientasi dasar lembaga pendidikan
(sekolah) di Indonesia.
Pembenahan
Orientasi
Dari
titik itu, sudah sepatutnya situasi ini mampu menggelitik kesadaran semua
komponen yang terlibat dalam pemberdayaan pendidikan (baik itu pemerintah,
guru, masyarakat, orang tua) untuk mereformasi corak pendidikan lama ke arah
yang lebih mencerahkan.
Sebagai
langkah awal, mungkin tawaran penulis ini dapat dijadikan bahan diskusi
kemudian. Pertama, mendesain pola pendidikan yang lebih realistis dan
fungsional dan sesuai dengan kebutuhan dan kultur masing-masing anak didik. Kedua,
mereposisi fungsi dan tugas seorang guru agar tidak lagi menggunakan pola mengajar
yang menggurui, namun lebih pada pendekatan secara persuasif kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan konteks potensi masing-masing siswa.
Ketiga, memposisikan siswa
sebagai subjek. Artinya, siswa harus diberi ruang dan waktu seluas-luasnya
untuk dapat leluasa berimajinasi, berekspresi, bereksplorasi dan mengenali
potensinya. Mereka harus terus dimotivasi untuk mengembangkan potensinya,
termasuk dalam menggali nilai-nilai moralitas dan nilai universal kehidupan.
Sehingga pada saatnya nanti mereka dapat menemukan sendiri kematangan hidupnya.
Keempat, menanamkan semangat
belajar untuk berkarya secara nyata. Seorang guru dituntut untuk mengajak siswa
lebih mengakrabi kondisi sosial di sekelilingnya. Jadi, bukan kemampuan
menghafal teks dan rumus angka belaka yang ia punyai. Tetapi lebih dari itu;
keterampilan dalam membaca realitas. Terakhir, kelima, merubah paradigma
akan orientasi belajar. Maksudnya, orientasi yang tak berujung pada kesenangan
individu yang artifisial dan sementara, semisal untuk bekerja. Akan tetapi
lebih jauh dari itu, bagaimana mengupayakan agar anak didik mampu mencipta
peradaban untuk generasi setelahnya, knowledge to mankid civilized.
Semua
prasarat di atas dapat terlaksana jika dari seluruh lapisan masyarakat ikut
berpartisipasi mewujudkannya. Karena sesungguhnya masyarakatlah yang paling
memahami apa yang mereka butuhkan dan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Fungsi pemerintah lebih sebagai pendengar yang baik atas suara rakyat,
mengakomodasi keinginannya, memfasilitasi kebutuhannya, mendinamisasi,
melayani, dan mengapresiasi karya masyarakat. Sehingga dari sini akan terjalin
sebuah kerjasama yang sehat antara pemerintah dan rakyat. Yaitu kerjasama dalam
membangun pola pendidikan yang bermutu, handal, berdaya, dan berkeadaban.
Bila
sudah seperti ini situasinya, maka kita sudah pasti harus sekolah, bahkan jika
perlu full day to school! Bagaimana menurut Anda? Wallahu A’lam.
Artikel
ini dimuat di Harian Kabar Cirebon. Edisi: lupa.
0 Response to " Masih Perlukah Sekolah? "
Posting Komentar