Membaca HAM dengan Nurani


Bicara Hak Asasi Manusia (HAM) di zaman seperti sekarang ini memang agak keterlaluan. Betapa tidak? Di saat negeri-negeri lain sudah mulai akrab dan mengamalkan HAM (meski hanya kulit luarnya saja), kita di sini masih juga sibuk berdebat kusir tentang apa makna, cakupan, batasan, korelasi dan kriteria HAM dalam kaitannya dengan konteks sosial. 

Di samping itu, ada dua hal lagi yang membuat penulis serba salah dalam membahas tema tentang HAM. Pertama, ikhwal paradoks yang tersembunyi dalam tubuh HAM. Seperti tanya ini: bagaimana kita membicarakan HAM untuk kasus narapidana mati (dengan haknya untuk hidup) dan tentara (beserta haknya untuk bersenjata)? 

Kedua, tak lain adalah sebab para penggagas dan perumus HAM sendiri adalah pihak yang paling rajin dan giat melanggarnya. Tentu ini bukan rahasia umum. Lantaran setiap harinya, baik lewat media cetak maupun elektronik,  kita dijejali varian informasi yang menguatkan pernyataan di atas. Contoh kecil ialah tragedi kemanusiaan yang bertubi-tubi tanpa kenal lelah terus menghantam  saudara kita di semenanjung Timur Tengah. 

HAM: Hak Asasi Modal?
HAM yang berarti “Hak Asasi Manusia”, menurut penulis, kini sudah mati. Atau minimal tak lagi relevan. Kabarnya, ia menjadi korban pembunuhan berencana, atau mungkin korban tabrak lari. Kemungkinan pelaku yang pertama, adalah Negara maju yang paling getol memproklamirkan dan membicarakan HAM. Pelaku kedua, tak lain adalah masing-masing individu yang tak sadar akan hak dan kewajibannya dalam hidup bersosial. Jadi yang ada sekarang adalah HAM dengan makna lain: Hak Asasi Modal. 

Kenapa? Karena memang fakta berbicara: HAM kini hanya dimiliki dan dimonopoli kaum kaya bermodal. Hak asasi dalam segala lini hidup mereka tentunya. Dari mulai hak mendapat pendidikan yang layak (bahkan mewah), hak mendapat kerja dan mempunyai harta berlebih, hingga hak untuk mengakses informasi ter-update dunia. Mereka semua ber”hak” atas semua fasilitas itu. Di sinilah ramalan Francis Fukuyama beroleh relevansinya: yakni pada abad ini sejarah telah selesai. Pertarungan ideologi sudah berakhir. Dan yang keluar sebagai pemenangnya adalah kerajaan agung kapitalisme (modal) neo-liberal. Maka sampai kapanpun, siapa yang kuat dan bermodal akan memegang kendali laju sejarah (termasuk kendali memonopoli HAM). Sebaliknya yang tidak, akan tersingkir dan mati tak berarti. Mirip hukum rimba! Benarkah?

Lalu di mana (hak) kaum miskin papa, yang dijadikan tema utama penegakkan HAM oleh PBB 2006 silam? Sungguh nahas, mereka seperti tak punya hak barang secuilpun. Yatim piatu secara paripurna. Jangankan hak memperoleh pendidikan yang layak, bisa makan dua kali dan punya waktu tidur enam jam sehari saja, bagi mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Dari sini, alih-alih bicara hak, yang ada pada kaum papa justru sebaliknya: kewajiban, kewajiban dan kewajiban! Kewajiban mentaati peraturan pemerintah yang diskriminatif, kewajiban melayani majikan yang culas, kewajiban menghormati si kaya, kewajiban mengorbankan harga diri demi secuil remah-remah harta para borjuis yang mungkin dapat mereka kais. 

Lihatlah kaum buruh yang harus kerja 9 jam sehari dengan menggunakan sistem kontrak (outscharcing). Lihatlah juga para TKI-TKW, para “pahlawan devisa” Negara itu, yang tak memiliki garansi keamanan secuilpun dari pemerintah negerinya sendiri. Lihatlah anak-anak kecil yang dipaksa bergelut dengan kehidupan yang keras dan legam demi untuk survive lagi hingga esok hari berikutnya. Lihatlah para petani yang antri menerima pinjaman stok pupuk dari tauke-tauke pemeras. Lihatlah tukang becak yang hanya karena ingin membelikan baju pramuka anaknya, harus rela tak tidur tak makan tiga hari tiga malam. Lihat dan lihatlah! Dikemanakan semua hak mereka?


Bukan Hukum (Formal), Tapi (Hukum) Nurani!
Entah kenapa, sudah sejak lama penulis skeptis dengan (pelaksana dan penegak) hukum. Seperti halnya HAM, hukum juga kini telah didistorsi oleh pemangkunya sendiri. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 yang menyatakan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan diilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”, tentu bagai lebah tanpa sengat.

Bagaimana tidak? Koruptor yang menjarah uang rakyat triliunan rupiah hanya dipenjara dua tahun. Sedangkan si Warimin, karena belum makan dua hari lalu mencuri ayam tetangga, dihajar dan dibakar massa sampai lebur jadi abu. Untuk urus-mengurus hukum pun juga sama. Walujo, tetangga penulis yang kehilangan sepeda motornya pernah mengeluhkan situasi ini. “Bagaimana ini? Saya kehilangan sepeda motor yang harganya kurang dari 5 juta. Tapi untuk biaya mengurusnya di pengadilan, saya sudah mengeluarkan biaya lebih dari 6,5 juta. Jika sepeda motor kembali saya rugi 1,5 juta. Jika tidak? ”, keluhnya suatu waktu tentang dunia hukum dan peradilan. 

Itulah mungkin penyebab lahirnya pameo satir di tengah masyarakat menanggapi kondisi hukum kini: “pasal apa, berani berapa?” Dari titik ini, penulis berkesimpulan: hukum formal (baik itu hukum Negara, adat, sosial, budaya) sudah tak lagi relevan. Atau minimal sudah sekarat. Untuk melestarikan dan menghargai kemanusiaan kita, harus ada hukum yang melebihi tata praja konvensional seperti di atas. Itu semua tidak cukup. Harus ada terobosan hukum yang sifatnya radikal dan tepat bidikan: hukum nurani!

Mungkin Jean Jacques Rousseau dan Montesque, penggagas du Contrac Social itu akan tertawa dan mengejek tawaran yang super ganjil ini. Begitu juga kalangan intelektual, akademisi yang mabuk konsep, sistematika, rumus dan segugus teori. Tapi penulis, beserta Immanuel Kant, tidak!  Sebab penulis yakin, dalam diri nurani manusia yang terdalam terdapat sepercik sumber kearifan yang dapat menjadi standar laku dan moral untuk menggubah wajah dunia. Ia tidak mewujud dalam institusi riil, tapi ia ada dan begitu terasa. Hanya saja kebanyakan manusia agak enggan mendengarkan nyanyian dan jeritan suara pedalamannya sendiri. 

Justru dalam keadaan tanpa hukum pusat yang mengatur, ujar Immanuel Kant, tanpa patokan aturan yang stabil, langkah manusia digerakkan oleh “hukum moral” dalam hati, yang tak dapat dibuktikan secara objektif, tak dapat dirumuskan oleh nalar teoritis, tapi toh ada dalam diri manusia (Derrida,2005). Itu tak lain tak bukan adalah hukum nurani. Konstitusi nurani!

Lebih jauh, manusia Indonesia tak perlu lagi menunggu ratu adil dalam hukum maupun Negara yang mewujud dalam seperangkat teks undang-undang atau peraturan yang diproduksi oleh pemerintah. Karena mereka telah yakin bahwa hukum Negara (baik itu UUD 45, KUHP, Perda, Perpres, PP, Inpres maupun KHI) hanya gagah dan jumawa ketika dirumuskan dalam segepok teks undang-undang. Tapi ketika hukum telah mewujud dalam alam nyata, ia begitu ringkih dan tak berdaya. Maka menjadi beralasan jika yang menjadi undang-undang dalam masyarakat ini adalah konstitusi nurani. Karena mereka telah sadar bahwa (hukum) Negara, adat istiadat  maupun tata-praja konvensional adalah utopia yang takkan memunculkan fajar pencerahan apapun. Lantaran semua perangkat itu telah sangat kerepotan untuk menjawab semua kepelikan problematika manusia.


Pertanyaannya sekarang: maukah kita menghidupkan kembali konstitusi nurani yang telah lama mati itu agar mampu bersuara lagi dengan sehat dan stabil? Entahlah! Wallahu A’lam.


Artikel ini dimuat di Harian Kabar Cirebon (Sayap Pikiran Rakyat). Edisinya lupa. Yang jelas ini adalah tulisan serangan balik untuk Sastrawan Ahmad Subanuddin Alwy.

3 Responses to " Membaca HAM dengan Nurani "

  1. hanya nuriani yang mampu memperlihatkan manusia pada HAM

    BalasHapus
    Balasan
    1. M. Khoirul Anwar KH.7 Juni 2012 pukul 11.43

      Yap! Konstitusi nurani! Bukan UU maupun KHI.

      Hapus
  2. mantep bang, memang benar kata abang tadi kita harus menghidupkan kembali konstitusi nurani............jika indondonesia ini ingin perubahan

    BalasHapus