Madrasah
Diniyyah Takmiliyyah Awaliyyah (DTA) benar-benar seperti anak tiri yang
kehadirannya tak diinginkan oleh pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini.
Dari pusat hingga daerah, dari Kemenag hingga Kemdikbud, dari Pemprov hingga
Pemda, masih mengganggap kehadiran DTA ibarat benalu yang hanya mengotori area
elitis pendidikan formal. Keberadaannya kerap dipandang sebelah mata, atau
bahkan memang tak ada.
Parahnya,
stereotip ini tak datang hanya dari kalangan atas saja. Dari kalangan masyarakat
dan anak didik pun ikut membubuhi cap yang sama. Mereka mengganggap pendidikan
DTA kurang memenuhi prasyarat untuk meraih syahwat kehidupan modern yang
hedonistis dan kapitalistik. Anggapan
bahwa agama tak mampu menjawab persoalan-persoalan ekonomis bagi siswa didik ke
depan, masih menjadi paradigma dominan mereka dalam menilai DTA.
Untuk
yang pertama bisa dibuktikan oleh, diantaranya, meski banyak daerah yang kini
memberlakukan Perda wajib DTA (Karawang, Bandung, Cirebon, misalnya), toh pada
faktanya Perda itu tetap saja ibarat lebah tanpa sengat. Hanya gagah di kertas,
tapi lemah praksisnya. Ini belum lagi ditambah fakta bahwa selama ini Kemenag
memang setengah hati dalam mengurus madrasah.
Seperti
yang pernah dikeluhkan Jazuli Juwaini, anggota komisi VIII DPR RI, bahwa saat
ini masih banyak masalah yang dihadapi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian
Agama dalam meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren (Kompas, 14/02).
Imbas dari kebijakan yang setangah-setengah inilah diantara penyebab yang membuat
masyarakat beranggapan remeh dalam memandang DTA.
Pendidikan
alternatif
Tentu
ini adalah ironi, atau bahkan tragedi untuk negeri yang konon menjadikan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Di tengah euforia RSBI yang
mendewakan angka dan konstanta, SMK dengan geliat mobil Kiat Esemka-nya, dan
baru-baru ini proyek pemerintah beserta empat universitas tentang Mobil Listrik
(Putra Petir)-nya, sebenarnya DTA hadir sebagai alternatif yang membawa oase
kesejukan dalam bingkai pendidikan agama. Karena tak semua anak mempunyai ekses
maupun ekspektasi yang cukup memadai untuk mereguk studi di madrasah maupun Pesantren.
Apalagi bagi mereka yang duduk di sekolah formal.
Di
samping itu, kehadiran DTA juga berfungsi untuk mengisi apa yang luput dari perhatian
para pegiat pendidikan saat ini: absennya asupan moral dan agama. Harus diakui,
pendidikan moral dan agama masih dikerdilkan dalam kurikulum pendidikan kita.
Dengan hanya proporsi waktu dua jam seminggu, apa yang bisa dipetik hasilnya? Padahal,
di tengah gempuran budaya hedon-kapitalistik, globalisasi dosa dan ankara
murka, korupsi yang sudah mewabah-membudaya, fundamentalisme agama yang bahkan
sudah masuk ke level RT/RW desa, DTA adalah benteng potensial yang ikut andil menggawangi
anak didik agar selalu mengamalkan Islam khas Nusantara. Islam yang menyadari
betul tentang makna Bhineka Tunggal Ika.
Sayang,
tak ada yang dengan sungguh memikirkan DTA sebagai pendidikan alternatif, ketika
pendidikan formal gagal menjalankan fungsinya untuk turut mengejewantahkan
nilai-nilai agama. Gerak pendidikan alternatif khas DTA yang, meminjam ungkapan
KH. Musthofa Bisri, hendak memanusiakan manusia sebagai manusia, kurang –atau
bahkan tidak sama sekali- mendapat apresiasi signifikan dari kalangan atas
maupun masyarakat grass root.
Bayangkan
saja, apa yang bisa dilakukan oleh seorang guru DTA dengan hanya suntikan
insentif Rp. 200 ribu pertahun? Ya, itulah angka yang diterima setiap guru DTA
per-tahunnya. Murid, guru, sarana-prasarana, dan seluruh unsur DTA benar-benar
yatim-piatu secara paripurna. Hak-hak dasar
mereka yang hendak turut mencerdaskan anak bangsa dikebiri hanya lantaran label
dan status belaka. Padahal, mereka telah menerapkan pendidikan karakter jauh
sebelum Depdikbud menelurkan program itu. Karakter untuk senantiasa sportif,
jujur, integral, bertanggungjawab, amanah, disiplin, adalah tema sehari-hari yang
diinternalisasikan para guru kepada siswa didik DTA. Bahkan para guru DTA itu
senantiasa mengajarkan muridnya agar jangan sampai merampas hak orang lain,
jauh sebelum Depdikbud menandatangani nota kesepahaman bersama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru
ini (Kemdikbud, 9/03).
Pahlawan
sesungguhnya
Tapi
meski tanpa gaji, tanpa tunjangan fungsional, tanpa sarana pra-sarana yang
memadai, bahkan tanpa ada legitimasi konstitusi kuat yang memayungi, para guru
DTA tetap menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan agama. Keikhlasan
mengabdi demi tegaknya moral dan religiusitas telah merobohkan tembok pamrih
yang hanya mendewakan pundi-pundi rupiah dan harta. Mereka tak dibingungkan
oleh jadwal sertifikasi, penempatan tugas, maupun Nomor Induk Pegawai.
Semboyan
rame ing gawe sepi ing pamrih (banyak bekerja sedikit minta) di dada
mereka tak haya berhenti sebagai slogan kosong isi. Tapi benar-benar telah
mengurat-menadi. Mereka lebih banyak yang memilih jalan sunyi
belajar-mengajar daripada mengegolkan proyek itu ini. Sebaliknya, banyak pegiat
pendidikan (formal?) yang justru mendistorsi semboyan di atas menjadi sepi
ing gawe rame ing pamrih (sedikit kerja banyak minta). Mereka itulah yang
menjadikan pendidikan hanya sebagai lahan subur mendulang materi, bukan area
suci untuk berbakti dan mengabdi.
Bagi
saya, merekalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Maka, sangat
disayangkan jika pemangku kebijakan tetap menomor-sekiankan DTA. Wallahu
A’lam.
Artikel
ini dimuat di Harian Radar Cirebon (Sayap Jawa Pos Group) Edisi 26
Mei 2012
benar-benar ironis
BalasHapusTak hanya ironis. Tapi tragis!
Hapus