Langit Mendung HAM


(Tribute to Sondang)

Seketika penulis menitikkan air mata ketika mendengar kabar Sondang Hutagalung, pemuda yang pada Rabu lalu membakar dirinya di depan Istana Merdeka, menghembuskan nafas yang terakhir pada pukul 17:45 WIB di RS Ciptomangukusumo (10/12). Sondang meninggal bertepatan dengan Hari HAM dan sehari sesudah peringatan hari Antikorupsi sedunia –dua hal yang menjadi perhatian utama almarhum semasa hidup.

Di masa hidupnya yang singkat (umurnya baru 22 tahun) ia banyak menghabiskan waktunya untuk memperjuangkan nasib petani dan hak asasi kemanusiaan. Ini terbukti dengan keterlibatannya pada banyak organisasi kemanusiaan. Mulai menjadi ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi) –satu organisasi yang dekat dengan petani dan Bung Karno, anggota Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), ketua komunitas “Sahabat Munir” yang selalu lantang mengingatkan penguasa dengan slogannya: “menolak lupa”, dan penggiat advokasi Solidaritas Untuk Rakyat Papua. 

Sayang, banyak pihak menilai aksi bakar diri mahasiswa hukum Universitas Bung Karno (UBK) itu merupakan laku yang sia-sia, bodoh, konyol dan bahkan gila. Sebuah aksi yang hanya ingin mencari sensasi belaka. Pendapat ini terutama lahir dari para skeptis-pragmatis yang tak mau tahu tentang kondisi yang membiliti bangsa ini. Media massa juga banyak yang memberikan “pemberitaan miring” tentang motivasi Sondang: ada yang “salah” dengan kondisi psikologis Sondang atau jangan-jangan Sondang terjerumus dalam gerakan ekstrimis tertentu. Para intelektual juga tak mau kalah. Mereka dengan dingin berkomentar: untuk sementara demokrasi di Indonesia belum membutuhkan Martir.

Kilas Balik
Aksi bakar diri memang tak punya akar kultural yang kuat di Indonesa. Meskipun ada, motifnya paling jauh menyangkut ikhwal personal dan ketercekikan ekonomi. Aksi bakar diri yang bernuansa politis seperti ini bisa terbilang baru. Lazimnya, protes keras terhadap penguasa lalim diekspresikan dengan aksi demonstrasi, orasi-teatrikal, mogok makan dan paling jauh menjahit mulut. Membakar diri tak punya preseden sama sekali di sini. 

Atau Sondang menjadikan para biksu Budha di Vitenam dan Mohammed Bouazizi di Tunisia sebagai inspirasi? Para biksu Budha itu menggagas laku self-immolation yang berhasil menjadikan moral-mental tentara Amerika jatuh dan akhirnya hengkang dari bumi Vietnam. Atau Mohammed Bouazizi pada 17 Desember 2010? Boauzizi adalah seorang pedagang sayur di Tunisia yang protes karena dagangannya digaruk oleh pemerintah. Ia melakukan aksi bakar diri di depan kantor Gubernur sambil beteriak: aparat, kenapa kalian tak mau mengembalikan gerobak sayurku? Aksi itu memicu gerakan sosial di negeri tersebut dan berhasil menumbangkan rezim Zine al-Abidine Ben Ali. Metode ini juga ditiru sebagai cara protes ke pemerintah oleh masyarakat Mesir dan sukses merubuhkan tahta Hosni Mubarak.


Bakar diri untuk protes juga pernah dilakukan oleh seorang buruh Korea Selatan, Chun Tae-Il, dalam suatu aksi di kawasan Peace Market, Korea Selatan, pada 13 November 1970. Tae-Il meneriakkan “taati hukum perburuhan”, “stop eksploitasi buruh”, “hari minggu libur” sambil berlari dengan tubuh penuh kobaran api sebelum kemudian ambruk. Hari-hari selanjurnya, pemogokan buruh dan solidaritas rakyat membesar di berbagai tempat di Korea.

Lalu apakah hal yang sama akan terajadi di Indonesia pasca aksi Sondang? Pesan singkat seorang teman di Yaman mungkin bisa menjadi jawabnya: “aksi Sondang takkan bisa menyamai aksi Muhammed Bouazizi di Tunisia yang berhasil menggulingkan penguasa tiran Zine al-Abidine ben Ali dan memantik “revolusi melati” di semenanjung Mesir, Libya, Yaman dan Suriah. Karena ketika melihat aksi Sondang, masyarakat kita bukannya sadar untuk merajut gerakan advokasi dan sosial, justru sibuk berkomentar di jejaring sosial: facebook dan twitter.

Cukup Sudah
Sondang bukan tipikal pencari sensasi murahan demi popularitas semu yang sementara, apalagi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang paling berharga bagi manusia: nyawanya. Sondang juga bukan pemuda yang mengalami “gangguan” psikologis seperti yang banyak diduga orang dan menjadi “framing sepihak”beberapa media massa teras Nasional. 

Aksi Sondang sesungguhnya merupakan tamparan telak untuk para aktivis yang hanya bisa menjadi penonton  manis di tengah kedegilan ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya di negeri ini. Ini juga hujaman bagi para intelektual-dingin yang hanya mengkritisi penguasa lewat tulisan dan orasi dalam seminar-seminar mentah. Terlebih lagi, ini adalah peringatan super keras untuk pemerintah yang sudah keranjingan korupsi. 

Atas semua aksi yang telah ditoreh, penulis kira Sondang tak butuh gelar sarjana kehormatan atau pahlawan HAM. Ia hanya ingin aspirasinya didengar oleh segenap penguasa lalim yang sudah mengesampingkan urusan krusial (utamanya tentang korupsi dan kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung usai) di bumi Nusantara ini. Ia bukan pahlawan. Ia adalah “korban” yang menginginkan masyarakat segera terjaga dan “bangkit” untuk menghalau rezim bebal, koruptif, hedon dan tunarasa.

Tapi, cukup sudah semua ini! Cukup sudah Marsinah, Wiji Thukul, Munir, Arief Rahman Hakim, Sondang Hutagalung yang menjadi martir atas rezim dzalim. Maka dengarkanlah ini hai penguasa: jika Indonesia tak ingin seperti Tunisia, jangan sampai ada lagi Sondang berikutnya yang hendak memperingatkan kalian dengan cara ekstrim membakar diri. Atau jika tidak, kalian akan melihat lebih banyak lagi anak bangsa yang bersedia memuntahkan darahnya demi negeri yang amat mereka cintai.

Sekarang, istirahatlah dengan tenang kawan. Perjuanganmu takkan sia-sia.

2 Responses to " Langit Mendung HAM "

  1. semoga kejadian itu menjadi pelajaran bg semua org agar tdk mengulangnya kembali

    BalasHapus
    Balasan
    1. M. Khoirul Anwar KH.7 Juni 2012 pukul 11.40

      Yang pertama sekaligus yang terakhir di Indonesia. Semoga.

      Hapus