Berani Hidup


Sehabis kuliah, seorang kawan mengirim pesan singkat padaku. Isinya: aku sudah tak punya harapan hidup. Sebab kini hidupku tak ubahnya benalu yang hanya membuat keluarga dan masyarakat malu. I hate my self and I want to die (aku benci diriku dan aku ingin mati), katanya sambil mengutip Kurt Cobain, pentolan grup band lawas Nirvana. Aku terperangah.

“Rileks saja. Hidup ini hanya permainan. Jangan terlalu serius dalam menghadapi hidup. Bermain-main sajalah. Karena hidup hanya akan jadi komedi jika dipikirkan. Dan hidup juga akan menjelma tragedi manakala hanya dirasakan.”, jawabku spontan, sembari tak yakin aku mampu membuat kecamuk hati kawanku ini reda.

Pemuda Kini

Pesan pendek itu sebenarnya menyiratkan: bahwa di negeri ini masih banyak hak-hak dasar  warganya yang masih belum mendapat tempat semestinya. Kawanku, hanyalah satu suara yang mewakili ribuan suara kaum muda di kampungku, atau mungkin di seluruh pelosok Nusantara ini, yang hidupnya tak dihiraukan lingkungan, pemerintah, tokoh masyarakat, keluarga atau sahabat. Mereka menjerit tanpa ada yang mempedulikan. Dunia mengacuhkannya.

Masa muda yang seharusnya menjadi saat paling aktif dan kreatif menjadi suram dan pekat lantaran tak adanya lahan untuk bereksistensi. Mau melakukan hal yang sedikit bermakna, merasa tak punya modal dan kesempatan. Bukankah kesempatan hanya milik mereka yang pintar dan berpunya? Maka menjerembabkan diri ke lubang gelap pun menjadi solusi yang tak terelakkan.

Pesan pendek itu juga lahir bukan tanpa sebab yang melatarbelakangi. Kawanku pada awalnya bukanlah tipe pemuda yang gampang putus asa. Berkali-kali ia coba merealisasikan apa yang sudah diangankannya sedari dulu: kerja. Tapi berkali-kali juga ia dikecewakan oleh institusi itu. Padahal, ia hanya ingin sedikit meringankan beban yang memberati keluarganya. Ia juga hanya ingin selazimnya pemuda lain yang sudah waktunya bekerja. Itu saja.

Pernah suatu kali ia bekerja sebagai tenaga pembersih untuk lokomotif kereta, tapi sayang tak bertahan cukup lama. Di samping karena gajinya terus-menerus digelapkan oleh bosnya sendiri, ia juga tak kuat menahan cercaan tetangga tentang pekerjaannya itu.

Ia tak putus asa. Ia terus mencoba. Kali ini ia mencoba peruntungannya di bidang yang agak sedikit “bonavid” dan istimewa: menjadi buruh pabrik tekstil konveksi di Bandung. Tapi memang nahas, hanya karena tingginya yang kurang 1 cm, ia tak jadi diterima di pabrik itu. Sang pabrik menginginkan pegawai yang tingginya tidak kurang dari 165 cm. Sedang kawanku tingginya hanya mencapai 164 cm. Alamak!

Dalam hati aku berpikir: kalau hanya untuk mengaitkan kancing ke dalam baju yang belum jadi, tak harus sesorang mempunyai ketinggian fisik sampai 165 cm. Atau kalau hanya untuk memindai tenunan yang rusak, apakah seseorang harus mempunyai ketinggian fisik sekian? Sungguh tak masuk di akal. Pasar dan industri (liberal?) memang kejam!

Merasa kegagalan dan langkanya kesempatan menghimpitnya terus menerus, sedangkan kebutuhan hidup yang ganas tak mau diajak kompromi, ia pun banting setir. Ia sudah tak lagi memikirkan kerja. Yang ada kini hanya harapan yang pupus dan menggantung tak ada kepastian. Sembari sesekali mencoba hal-hal yang bisa membuatnya lupa pada penderitaan hidup. Nikotin dan alkohol tentu menjadi menu utama untuk meluluskan usahanya itu.

Maka jadilah kawanku saat ini. Sehari-hari tak ada yang ia lakukan kecuali mengulangi borok hari kemarin. Mendendangkan lagu di pinggir-pinggir jalan, jika ada uang sisa ngamen digunakan untuk meneguk alkohol, menyendiri, meracau sambil sesekali melakukan keonaran yang tak seberapa. Hari demi hari terus begitu. Berulang-ulang. 


Dan kawanku yang menjalani hidup seperti itu bukan cuma satu. Tapi ribuan. Mereka terserak di berbagai tempat. Tanpa janji tanpa harapan. Juga tanpa ada orang atau instansi yang mempedulikan.

Siapa sebenarnya paling bertanggung jawab atas etalase cacat budaya semacam ini? Budaya yang membuat kaum mudanya terjangkit sindrom pesimistik hingga tak mampu membaca arah dan peta kehidupan. Budaya yang memenjarakan hak hidup tenang dan berkecukupan bagi setiap manusia. Tanpa pandang bulu agama, ras, suku, status sosial maupun jenjang pendidikan. Budaya yang tak memberikan sedikit asupan harapan kepada mereka kaum muda. Budaya yang tak memberi ruang pada kaum muda untuk menjadikan dan memaknai hidup sesuai kehendak hatinya. Sesuai kemampuannya. Sesuai kreatifitasnya.

Perlu Seorang David

Tak usah mencari kambing hitam atas tragedi hidup yang sudah menggejala ini. Meski Negara, sebagai agen keadilan, kesejahteraan dan pemerataan di suatu teritori tertentu, yang tetap paling tepat untuk dijadikan terdakwa. Tapi biarlah. Sebab, bukankah kita memang terbiasa hidup tanpa ada partisipasi maupun apresiasi dari Negara atau pemerintah? Bagi kita, pemerintah ada hanya pada saat pemilu saja. Di saat mereka membutuhkan suara kita. Lain waktu? Tidak!

Juga tak perlu lagi menunggu siapapun untuk mengawalii perubahan di tubuh budaya pemuda dan masyarakat kita yang kini menderita Inferiority Complex itu. Meski negara atau instistusi sekalipun. Biarkanlah keberadaan mereka kita anggap hanya sebagai pelengkap mosaik hidup kita saja. Tak perlu kita berharap lebih dari itu. Kita harus mulai berbenah dari diri sendiri dengan segala hal yang kita mampu. Mulai saat ini juga. Sekecil apapun itu.

Tak perlu perubahan yang muluk-muluk. Cukuplah perubahan kecil asal dilakukan dengan komitmen dan kontinu. Itu sudah merupakan tenaga yang dahsyat. Seperti ujar Schumaker, Small is Beatiful. Kecil itu indah.  Untuk melawan cacat budaya yang telah menggurita itu kita hanya perlu  alternatif setitik tapi kokoh dan bertenaga. Melawan Goliath yang perkasa perlu seorang David yang kecil.

Satu di antara yang perlu kita lakukan saat ini adalah: bagaimana mengembalikan optimisme dan kekuatan kaum muda di tengah deru hidup yang terus menggilas? Bagaimana membuat mereka kembali tersenyum sambil berkata: meski hidup ini susah, ia begitu indah dan berharga adanya. Bagaimana cara agar mereka mampu memaknai kesejahteraan dan kekayaan secara lain? Bukankah, pemudalah yang akan membawa ke mana biduk kapal Indonesia ini kelak akan berlayar?

Aku sudah coba memulainya dengan kawanku itu. Meski masih secuil dan setapak. Meski hanya dengan menjajakan stiker dan aksesoris marchandise. Ya, saat itu juga, pasca pengiriman pesan pendek itu, aku mengajak tiga orang kawanku untuk menanggalkan dunia gelap jalanan dan ikut bergabung denganku menekuni dunia kreatif desain yang sedikit dapat menghasilkan. Hasilnya? Stiker yang pertama kami buat begini bunyinya:  I Love My Self and I Want to Survive. Aku cinta diriku, dan aku ingin/berani “hidup”.

Bagaimana dengan Anda?




2 Responses to " Berani Hidup "

  1. kalo menurutku hidup itu semestinya di jalani saja dengan sebaik mungkin

    BalasHapus
    Balasan
    1. M. Khoirul Anwar KH.7 Juni 2012 pukul 11.37

      Harus begitu...

      Hapus