Akan datang suatu masa
ketika agama tinggal jadi slogan
dan al-Qur'an cuma jadi bacaan.
Nabi Muhammad SAW
Lima belas
abad silam Nabi meramalkan tentang nasib
agama dan pusakanya, al-Qur'an. Yakni ketika agama cuma jadi
aksesoris dan al-Qur'an hanya menjadi bahan kajian dan
perbincangan belaka. Betapa tepat semua yang telah di
ucapkan Nabi agung. Sebab akhir-akhir ini sudah banyak
tanda yang dapat dijadikan penguat untuk sabda beliau di atas.
Tentu sudah bukan barang asing lagi jika saat ini umat Islam
telah melangkah jauh dari rel yang telah digariskan oleh Nabi. Banyak orang
yang kini, meminjam istilah G.W Allport dalam bukunya, The Individual and His Religion (1950, New
York: Macmillan), menjadikan agama hanya sebagai unsur peluaran belaka. Artinya, di sini agama hanya menjadi kendaraan untuk menuju
kepentingan dan keuntungan sesaat dan golongan saja. Bukannya menjadi sikap hati dan pikiran
untuk lebih mengarifi hidup dan kemanusiaan.
Contoh yang paling kentara ialah ketika negeri ini hendak
menuju pemilu, tentu. Entah itu pilpres, pilgub, pemilukada atau bahkan pilwu. Berbagai partai, tanpa pandang latar
belakang, ramai-ramai menggunakan agama sebagai alat mengeruk suara massa. Agama dalam kasus ini telah menjadi
iklan komersial untuk memanipulasi publik. Mereka, para calon pemimpin itu,
menjual ayat-ayat kitab suci dengan harga yang sangat murah hanya demi lolos ke
singgasana kekuasaan yang diinginkan. Mereka tak sadar telah mengamalkan
adegium yang digaungkan oleh filsuf Niccolo Machiavelli: menghalalkan segala
cara untuk kekuasaan politis. Inilah bukti paling miris ketika agama hanya
menjadi gincu dunia politik.
Al-Qur’an Kini
Belum lagi jika kita berbicara
tentang al-Qur'an, situasi yang sama akan kita
jumpai, bahkan lebih memiriskan. Betapa tidak? Di mana-mana al-Qur'an dikaji, dihapal, diseminarkan, tapi apa hasilnya?
Selain even-even seremonial yang mewah, tidak ada! Bahkan untuk konteks pesantren sekalipun. Soalnya, di dalam lembaga
pesantren ada satu hal yang kini masih disakralkan: kitab kuning. Santri dan kyai lebih senang menggali hukum lewat kitab kuning daripada langsung ke sumbernya: al-Qur'an
dan hadits. Dari sinilah
lambat laun al-Qur’an menjadi benda kramat yang hanya menjadi pengisi laci
lemari buku. Penuh rayap dan berdebu.
Padahal, bukankah kitab-kitab kuning itu hanya “sekadar” karya manusia pada Abad Pertengahan
belaka? Yang tentu di dalamnya masih banyak ditemukan “kekurangan” dan
“kekeliruan” yang butuh revisi terus-menerus. Kenapa para santri itu seolah ingin meletakkan kitab
kuning di atas Qur’an sebagai rujukan kehidupan? Tetapi, apakah para santri dan kyai sudah berpikir sampai
sejauh ini? Entahlah, yang jelas fakta berbicara
bahwa kaum pesantren kini telah memposisikan kitab kuning layaknya kitab suci
nomor dua setelah Qur'an. Sesuatu yang sempat disayangkan oleh gembong Islam
modernis dulu: Muhammadiyyah dan Persis.
Ada satu fakta yang lebih menggelikan. Ini penulis temui
pada salah satu pondok Hafidzul Qur'an di ujung Timur pulau Jawa. Di dalam pesantren itu hampir semua
santri penghafal Qur’an
itu membawa Handphone (HP) yang memiliki fitur video. Gunanya
untuk memutar ”film-film dewasa” agar otak yang kepanasan sebab terlalu sering
mendaras ayat-ayat suci dapat te-refresh kembali, kata salah satu dari mereka. Dalam hati kecil
penulis bertanya, mereka yang kini menjadi pemegang gawang kelestarian Qur'an
saja pola sikapnya tak jauh beda dengan layaknya anak remaja kota besar,
apalagi kami?
Ini belum menengok realita yang kini melilit mayoritas
Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat PT) tanah air. Utamanya di PT-PT
berbasiskan Islam, UIN/IAIN/STAIN misalnya. Di
tempat-tempat ini al-Qur'an sudah tak tampak lagi layaknya kitab suci yang harus dibaca, diagungkan, dihikmati, dan diamalkan. Melainkan
fenomena yang terjadi justru sebaliknya: al- Qur'an dihujat autentisitas teks dan relevansi maknyanya.
Sampai ada satu pameo yang mengatakan: jika mahasiswa
bertanya tentang relevansi Al-Qur'an, dosennya dengan sembrono justru berani
menggugat tentang autentisitas kitab suci itu. Di sini dosen bukan malah
meluruskan, tetapi justru membuat kesesatan yang tak kalah mengerikan dosisnya.
Ini mungkin lantaran
para dosen kini merasa lebih afdol mengaji tafsir dari para orientalis Barat
ketimbang para mufasir yang tak diragukan kredebilitas keilmuannya. Padahal,
kita semua tahu, ada udang di balik batu. Ada misi tersembunyi di balik semua
proyek penafsiran yang orientalis lakukan itu: kolonialisasi ilmu pengetahuan (science-colonialism).
Ini masih mending. Baru-baru
ini seorang dosen filsafat di STAIN Jember menghapus asma Allah dengan
sepatunya yang lusuh di depan puluhan mahasiswa semester I yang masih
polos-polos (Duta Masyarakat, 05/01/2012). Ini untuk
menununjukkan bahwa Qur’an hanya buku biasa saja yang profan, bukan kitab suci
yang sakral. Sang dosen mungkin berpikir, apa yang dilakukannya masih dalam
koridor akademik yang lumrah. Tapi, apakah ia pernah tersadar: berapa juta hati
umat yang tersakiti akibat perbuatannya? Berapa juta kaum beragama yang ingin simbol agung agamanya tetap
terhormat dan terpelihara. Ini bukan masalah etis tak etis secara akademis. Ini
masalah menghargai simbol agama yang sudah dijamin oleh Konstitusi
Internasional itu.
Jangankan asma Allah, peci
kita saja jika diinjak orang lain tentu kita takkan terima. Bahkan paham paling
liberal pun masih harus punya respect dengan semua simbol agama yang
diagungkan. Kebebasan bukan berarti kita dengan seenak perut boleh menyakiti
hati dan perasaan banyak orang. Inilah liberalisme yang tak bertanggungjawab.
Inilah kebebasan yang sudah disalah-artikan hingga menjadi kebablasan. Inilah fenomena yang wajar terjadi di
Perguruan Tinggi Islam kita kini. Masya
Allah.
Al-Qur’an Nanti
Ala kulli hal, jika di lingkungan terdidiknya saja situasinya sudah demikian, bagaimana dengan mereka masyarakat
muslim awam? Tetapi, sejujurnya,
penulis tidak terlalu khawatir. Sebab sejarah membuktikan: meski al-Qur'an dihujat, dicaci, dilecehkan, bahkan diabaikan
oleh pemeluk Islam sendiri, itu semua tak akan dapat mengurangi nilai-nilai dan
autentisitas yang terkandung di dalamnya. Karena Allah sendiri yang telah
menegaskan, bahwa sungguh Dia yang akan langsung menjaga kitab suci itu sampai
akhir zaman, wa inna lahu lahafidzun.
Meski demikian, ini tetap harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama. Satu tugas maha berat yang menuntut kerja
keras ganda. Sebab, meski remuk-redam begini, penulis tidak ingin esok nanti
anak cucu mewarisi suatu tradisi memalukan dari para nenek moyangnya. Tradisi yang tak punya respect secuilpun
terhadap agama dan kitab sucinya. Apalagi, konon kata satu hadits Nabi yang masyhur, ma min kaumi zamanin illa wa ba'dahu syarrun
minhu: setiap generasi
yang lahir pasti lebih jelek kualitasnya dibanding generasi sebelumnya. Nah!
Artikel
ini dimuat di Harian Kabar Cirebon (Sayap Pikiran Rakyat) Edisi
13 Maret 2012
alquran pegangan kita sebagai seorang muslim, smoga kita bisa bersama-sama memeluknya
BalasHapusJangan cuma dipeluk. Amalkan juga. Hehehehe
Hapus