Dalam buku fenomenal Laskar
Pelangi diceritakan bahwa selamatnya Ikal dan kawan-kawan lantaran hadirnya
murid yang menggenapi angka sepuluh hingga SD Muhammadiyah Gantong bisa membuka
kelas baru. Harun nama murid itu. Harun, sebagaimana yang diceritakan Andrea
Hirata, adalah kategori murid “berbeda” lantaran keterbelakangan mental yang
membelenggunya sedemikian rupa. Tapi berkat masuknya Harun ke SD itu, kita kini
dan di sini bisa mengenal sosok-sosok tangguh nan genius layaknya Lintang,
Ikal, Mahar yang sanggup menginspirasi jutaan manusia Indonesia.
Tetapi, di balik energi positif
yang dihembuskan oleh Laskar Pelangi, ada satu detail yang kerap luput dari
amatan para pembaca Laskar Pelangi pada umumnya: kenapa Harun masuk ke SD
reguler dan bukan ke SD “khusus”? Bukankah seharusnya Harun mendapatkan
pelayanan pendidikan yang berbeda dan spesifik? Andrea menjawabnya dengan
jujur: di samping karena faktor ketiadaan Sekolah Luar Biasa (SLB) di pulau Belitung,
Ibunya menyekolahkan Harun motifnya lebih pada menitipkan, ketimbang memburu
pendidikan (Laskar Pelangi, 2008: 6-7).
Harun, menurut penulis, adalah
cermin utuh yang bisa menggambarkan kondisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di
Indonesia, bahkan hingga saat ini. Kepedulian terhadap ABK memang dirasa masih sangat
minim dan minor. Data Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
Pendidikan Dasar (Dit.PPK-LK Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) membeberkan bahwa: hingga tahun 2011 di Indonesia terdapat 356.192
anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan disabilitas (cacat). Namun yang mendapat asupan pendidikan pada Sekolah Luar
Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu maupun
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif baru mencapai angka 85.645. Artinya,
masih sekitar 70% (249.339) ABK usia 5-18 tahun di negeri ini yang belum mampu
mencecap manisnya madu pendidikan.
Ini tentu sebuah ironi yang
sangat menusuk hati. Padahal rentang jarak antara kasus Harun (1978) hingga
sekarang sudah nyaris 35 tahun. Tapi kenapa dalam rentang waktu sepanjang itu
nasib ABK belum juga menjadi agenda penting dalam perikehidupan kita? Kenapa
ABK belum juga mendapatkan pelayanan pendidikan dan servis sosial yang
proporsional selayak anak-anak wajib sekolah pada umumnya? Alih-alih
memperhatikan, bahkan hak-hak fundamental ABK pun kadang kita --utamanya para
pendidik dan orang tua-- tak (mau) tahu.
Tipologi
ABK
Peribahasa tua mengatakan: tak
kenal maka tak sayang. Untuk menumbuhkan semangat kepedulian pada
saudara-saudara kita yang masuk dalam kriterium ABK, ada baiknya kita mengenal
tipologi mereka secara lebih komprehensif. Sesuai dengan yang termaktub pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) No. 20/2003 Pasal 32 Ayat 1, anak-anak yang
memerlukan Pendidikan Khusus (PK)
terbagi menjadi empat.
Pertama, anak dengan disabilitas. Kedua, anak yang mengalami kesulitan
belajar. Ini seperti yang terjadi pada anak-anak penanggung autis (terhambat dalam
sosialisasi-komunikasi-imajinasi), asperger
syndrome (sulit berinteraksi), down
syndrome (hambatan perkembangan fisik), dyslexia
(sulit baca-tulis), disgraphia (sulit
menuangkan pikiran dalam medium tulis maupun lukis), dysphasia (sulit mengerti dan memproduksi bahasa), dyscalculia (sulit berhitung), dan dyspraxia (gangguan motorik).
Ketiga, anak dengan bakat di atas
rata-rata dalam lini Kesenian, Olahraga, Ketangkasan dan Keterampilan. Keempat, anak cerdas istimewa dengan IQ
130< maupun anak indigo (anak dengan intuisi yang melampaui kelaziman). Dua
urutan pertama masuk dalam tipologi disabilitas, sedangkan dua yang terakhir
non-disabilitas. Dua yang disebut terakhir ini, yang memiliki keistimewaan di
atas anak-anak normal, lazim disebut sebagai anak
CIBI: Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (multiple
talented and special intelligence).
Adapula golongan
non-disabilitas yang tak terkait langsung dengan fisik, psikis, maupun kognisi
secara definitif. Jika mengacu pada Pasal 32
Ayat 2 UU Sisdiknas No. 20/2003, mereka yang masuk kategori memerlukan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) ini adalah: anak korban sosial
ekonomi, anak korban bencana, dan anak dengan kendala geografis. Anak pemulung,
anak korban asusila, anak putus sekolah maupun anak yatim piatu, masuk kategori
yang pertama. Anak korban bencana alam, anak pengungsi (Syiah), anak korban
konflik peperangan masuk dalam kriteria kedua. Sedangkan anak-anak TKI di luar
negeri atau anak di daerah pedalaman nan tertinggal masuk golongan terakhir.
ABK
adalah Kita
Benang kusut yang selama ini menimpa
saudara-saudara ABK tidak melulu lantaran peran pemerintah (pusat maupun
daerah) yang sedikit abai, tapi juga karena mindset
di tengah masyarakat yang masih tertancap kuat bahwa ABK adalah warga Negara
“kelas dua”. Bahkan lebih miris lagi, terdapat beberapa kasus orang tua yang
lebih memilih menenggelamkan masa depan sang anak yang masuk kategori ABK
karena malu yang tak tertanggungkan. Ini tentu pola pikir primitif yang musti
diubah.
Menumbuhkan
kesadaran baru agar tercipta pola pikir baru dalam tubuh masyarakat adalah hal
yang sangat niscaya. Lantaran, seperti kerap dikatakan
Lintang dalam Laskar Pelangi: pada hakikatnya semua persoalan berhulu dari
paradigma berpikir. Jika paradigma berpikir dalam masyarakat sudah menganggap
ABK sebagai manusia seutuhnya, penulis yakin para ABK itu takkan lagi menjadi
“anak-tiri” di tengah pergaulan sosio-kulturnya yang lebih luas. Begitu juga
pemerintah, jika produk kebijakan senantiasa lahir dari kerangka pikir yang tak
menghargai Sang Liyan (hal yang kita anggap berbeda), tentu produk yang akan
dihasilkannya pun kurang lebih akan sama. Begitu juga sebaliknya.
Sebab itulah, meski secara de jure tanggung jawab penanganan ABK
adalah tugas pemerintah (dalam hal ini Dit.PPK-LK Dikdas/Kemdikbud), bukan
berarti itu membuat masyarakat harus abai pada tugas mulia tersebut. Karena
pada dasarnya (de facto) misi suci
pemberadaban berupa pendidikan adalah tugas bersama yang harus diampu oleh
segenap elemen bangsa –tanpa pandang latar belakang sosio-politisnya. Termasuk
pendidikan terhadap suadara-saudara kita ABK.
Karena, secara natural, ABK
sejatinya adalah kita. Bagaimana menurut Anda? Wallahu A’lam.
Kabar Cirebon, edisi 21 Oktober 2013
0 Response to " Apa Kabar ABK? "
Posting Komentar