Tak
terasa, air mata mengalir begitu derasnya dari pori-pori nurani kemanusiaan
penulis setelah menyimak dengan khidmat film Taare Zameen Par besutan Aamir Khan Production. Film “Bollywood”
yang dirilis awal tahun 2008 ini selalu relevan ditonton dan dieja setiap
zaman. Lantaran, dalam film ini setiap gambar dalam adegan mengandung artisika
sinematik yang begitu intim, bahasa skenario yang amat subtil dan menyentuh,
plot yang sederhana, dan, ini yang paling penting: tema “diffirient” (berbeda)
yang unik dan punya daya gugah tinggi.
Bagaimana
tidak? Dalam film itu dikisahkan bagaimana seorang Ishaan Awasthi, anak kecil
penderita Dislexia (sulit mengenali
huruf dan angka) harus mendapatkan perlakuan represif dan diskriminatif oleh
guru, teman-teman, lingkungan sekitar, dan bahkan dari orang tuanya. Dunia
mengucilkan Ishaan
hanya lantaran ia kesulitan menderetkan angka dan aksara secara benar. Tak ada
siapapun di kolong langit ini yang mau mengerti penderitaannya. Semua orang
menganggapnya anak yang malas, bebal dan bengal.
Sampai
akhirnya Ishaan
bertemu dengan seorang guru di “asrama pembuangan” orang tuanya. Guru itulah
yang mengerti jeritan hati Ishaan dan membukakan katup Dislexia yang menyerang sel otaknya dari kecil. Sang guru itu
dengan telaten dan penuh cinta mengajari Ishaan untuk mengenal angka dan
aksara. Lantaran sang guru percaya, untuk menangani murid yang “berbeda”, perlu
pendekatan yang “berbeda” pula. Sebuah pendekatan yang lebih manusiawi dan
profetis tentunya. Dari sentuhan hangat sang guru inilah, akhirnya Ishaan
menemukan jati diri dan potensinya yang berkilau hingga bahkan mengalahkan
semua kemampuan “manusia normal” seumurannya.
Menurut
penulis, film ini adalah bentuk revolusi tematik dalam dunia sinema India yang
awalnya hanya melulu membahas tema tentang cinta picisan. Film ini setara
dengan 3 Idiot (juga diperankan oleh Aamir Khan) yang mengobrak-abrik tatanan
mapan perfilman India yang sudah beku dan berkarat. 3 Idiot mengkritisi secara
radikal model pendidikan yang hanya menuhankan angka, prestasi dan konstanta
–tapi abai akan proses dan spontanitas kreatifitas.
Ingat Derrida
Jujur
saja, menonton film ini ingatan penulis langsung tertumbuk pada sesosok filsuf
kontemporer terbesar di abad ini: Jacques Derrida. Filsuf rendah hati dari
Prancis ini tak pernah lelah mengudarkan kita bahwa tak ada sebenarnya
terminologi “abnormal” itu. Mereka yang kita anggap menyimpang dari normalitas
itu sebenarnya “hanya” berbeda dengan kita.
Derrida
senantiasa mewacanakan istilah The Other (Sang
Liyan): bahwa dalam hidup kita harus selalu menaruh respek yang tulus terhadap
apapun dan siapapun yang kita anggap berbeda. Entah itu dalam lini ilmu
pengetahuan, konvensi, tradisi, agama, apalagi manusia. Bukan malah
mendiskriminasinya dengan segala argumentasi khas normalitas konvensional.
Michel
Foucault, filsuf ahli genealogi pemikiran, juga mengamini pernyataan ini.
Foucault selalu menaruh perhatian yang besar terhadap mereka yang berbeda,
tersingkirkan dan termarginalkan oleh struktur sosio-kultural yang
melingkupinya.
Berangkat
dari titik itulah, mengapa Unicef baru-baru ini mengganti istilah para
“penyandang tuna” sebagai kaum difabel. Kaum yang berbeda dengan kita.
Pergantian terminologi itu menyimpan pesan bahwa: labeling, stereotip, maupun
stempel penyadang tuna dan cacat itu harus kita hentikan saat ini juga! Sebab
mereka juga manusia yang harus diperlakuakn secara manusiawi setara dengan
manusia lainnya.
Bukankah,
dalam Preambule UUD 45 juga sudah tertera jelas bahwa: setiap warga negara
memiliki hak dan kewajiban yang sama? Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan
yang layak?
Menggedor nurani pendidik
Ala kulli hal.
Film ini sejatinya merupakan peringatan keras untuk para pendidik di sektor dan
lini apapun untuk menyadari bahwa: semua murid memiliki potensi dan bakat yang
berbeda-beda. Mereka tak bisa kita samakan layaknya seragam sekolah yang harus
senantiasa se-ragam. Bentuk kepala boleh sama, tapi ekspektasi, ketertarikan
dan minat setiap murid sudah pasti beragam. Tugas para pendidik bukan untuk
menyeragamkan, tapi mengakomodir segala keberagaman potensi itu dalam wadah
yang semestinya.
Siapa
tahu, ternyata murid yang berbeda itu, yang mengalami Dislexsia itu, ternyata murid-murid cemerlang yang mempunyai bakat
di bidang lain. Bukankah, seperti yang disebut oleh Ram Shankar Nimbukh (Guru
dalam film itu), Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Piccaso, Thomas Alfa
Edison, dan bahkan novelis legendaris Agatha Christie pada awalnya merupakan
seorang Dislexia yang payah? Siapa
yang menduga para penyandang Dislexia
inilah yang pada akhirnya memoles tinta emas ke kanvas peradaban dunia kita
hingga saat ini?
Camkan
itu, para pendidik!
Naskah
tidak terlacak tanggal penerbitannya
0 Response to " Taare Zameen Par: Film Wajib untuk Para Pendidik "
Posting Komentar