Di
tengah hiruk pikuk pemilihan bupati (pilbup) yang kini menggenggam nyaris
seluruh headline media massa, ada satu hal menarik yang cukup menghibur untuk
dijadikan renungan. Satu hal yang membuat kita tersenyum sinis dan menyembulkan
beberapa tanya: benarkah demikian? Kenapa hal-ihwal di luar nalar kerap dijadikan
rujukan legitimasi atas kehendak-kehandak duniawi kita yang artifisial?
Setidaknya
itulah yang penulis tangkap dari “kisah spiritual” salah satu calon bupati
(terkuat) yang direkam harian ini satu hari yang lalu (Kabar Cirebon,
07/10). Dalam kisah itu disebutkan, malam menjelang hari pencoblosan,
kediaman sang calon bupati didatangi oleh tiga cahaya yang diyakini sebagai
tokoh-tokoh agung Cirebon: Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati),
Pangeran Cespleng, dan Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana).
Ketiganya
datang dalam bentuk cahaya terang bulat yang mengelilingi seantero rumah. Dan,
lebih ajaib lagi, ketiganya datang tidak dalam waktu bersamaan. Ada jeda waktu
satu-dua jam seolah menunggu giliran. Orang pintar yang memang sudah disiapkan
di rumahnya (entah untuk apa), turut meyakinkan bahwa ketiga cahaya terang
bulat itu memang benar-benar para wali yang datang untuk merestui sang calon
yang hendak bertarung dalam pesta demokrasi 5 tahunan.
Keyakinan
ini diperkuat dan dibumbui oleh pra-asumsi yang lazim: sebelumnya sang calon
memang menggelar ritual khataman Qur’an di rumahnya, bahkan orang pintar itu
juga memberitahukan bahwa sesaat sebelum kejadian ia memang sudah diberi sinyal
ghaib bahwa akan datang tamu-tamu agung ke kediaman calon yang diusungnya.
Sinisme pun merebak: wali kok seperti broker tim kampanye?
Persepsi
salah
Diakui
atau tidak, sejak dulu hingga kini banyak kesalah-pahaman serius yang
menelikung umat beragama dalam mendefinisikan semiotika tanda religiusitas.
Baik itu yang berwujud kasat mata maupun maya seperti perjumpaan dalam mimpi.
Umumnya, yang lazim diketengahkan oleh sang subjek pada media adalah
tafsiran-tafsiran positif yang hendak mengokohkan image-nya di tengah
publik. Tentunya, ada tujuan tertentu yang hendak dicapai dalam penyampaian
pesan itu.
Padahal
kita tahu, tak semua simptom (tinanda) yang dianggap religius itu identik
dengan hal ihwal religiusitas. Syekh Abdul Qadir al-Jaylani adalah salah satu
tamsil yang bisa diutarakan di sini. Wali terbesar dalam khasanah Sunni
tersebut pernah pada satu mujahadahnya didatangi oleh sepercik cahaya agung
terang benderang (nur adzim) yang berpendar di ufuk.Cahaya itu berbicara
pada sang Syekh: ya Abdal Qodir, ana robbuka wa qod abahtu laka al
muharromat (wahai Abdul Qodir, aku adalah tuhanmu. Mulai detik ini aku
memperbolehkanmu memamah segala hal yang haram).
Tapi
apa jawaban Raja para Wali (Shulton al Awliya) ini? Mencengangkan!
Dengan lantang beliau berujar: audzu billahi min asy syathon ar rojim, ikhsa
ya lain (aku berlindung dari setan terkutuk, enyahlah kau laknat!). Sang
Syekh tidak terburu merasa “gede rumangsa” telah mengalami pengalaman spiritual
yang menakjubkan. Justeru tinanda ghaib itu langsung dipersepsikan sebagai
setan yang menyesatkan (tengok kitab: al-Lujayn ad-Dany fi Manaqibi al
Quthbi ar Robbany as Syekh Abd al Qodir al Jaylany, hlm 24-26). Dalam
istilah Umberto Eco, pakar semiotika dunia pengarang novel The Name of Rose
itu, sang Syekh telah berhasil mengidentifikasi simptom ghaib itu secara genuine.
Jika
tamsil itu dirasa terlampau jauh, kita juga bisa mengulik fenomena demikian
dalam negeri ini. Lia Aminudin atau yang masyhur dengan sebutan Lia Eden
mungkin bisa menjadi personifikasi paling relevan dalam kasus ini. Pada medio
2000-an, ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai perangkai bunga plastik itu
menggemparkan dunia keberagamaan kita karena mengaku telah mendapat wahyu dari
sang Jibril.
Lia
adalah tipikal ibu rumah tangga yang ahli ibadat. Saban malam tak pernah ia
lalui tanpa tahajud dan dzikir. Sampai pada suatu malam di titimangsa 27
Oktober1995, ia mengaku ada sepercik cahaya yang menemani di setiap ritual
khusyuknya. Dua tahun kemudian, cahaya itu pada akhirnya mengaku (dan diyakini
Lia) sebagai Malaikat Jibril sang pembawa wahyu (Gatra 12 Mei 2001).
Dalam
pandangan Lia, ia telah mengalami pengalaman spiritual yang sanggup mengubah
hidupnya. Dalam persepsi agamawan Lia telah mengalami waham (kesalah-pahaman
tafsir pengalaman spiritual) yang serius. Dalam terminologi ilmuwan neurologi,
Lia mengalami halusinasi, ilusi dan delusi akibat “kerusakan otak” (brain
demage) yang akut. Dalam kacamata publik, Lia adalah sesat.
Personal
branding?
Berhadapan
dengan media, memang butuh news page yang menarik. Apa yang dilakukan
sang calon sepertinya tak lebih dari strategi marketing untuk mencitrakan
dirinya sebagai si sholeh yang telah mendapat restu orang suci untuk memimpin
Caruban Nagari ini. Inilah sebentuk personal branding yang
berkedokinfo-info bombastis dalam rangka mendulang simpati massa.
Ia
tak sadar telah masuk dalam kubangan yang disebut Pierre Bourdeau sebagai body
image dalam cultural capital. Atau keterpesonaan dalam simulacra,
dunia sarat citraan dalam istilah Jean Baudrillard. Atau, imagologi,
yakni idealisme (kualitatif-substansial) kalah oleh realitas dan realitas
bertekuk lutut pada imaji kosong yang disebarkan melalui iklan dan media massa.
Padahal
rakyat sebagai konstituen yang otonom, tak memerlukan kisah-kisah spiritual
picisan semacam itu. Yang diinginkan rakyat adalah kinerja realitistis yang
sanggup dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar
belakang sosio-politiknya. Masyarakat begitu merindukan pemimpin yang visioner,
membumi, tanggap, dan empatik. Fenomena Jokowi yang kini ibarat meteor dahsyat
dalam jagat perpolitikan kita, sudah cukup untuk membuktikan hal itu.
Jokowi
adalah pemimpin yang sanggup bertindak konkrit dan empatik terhadap warga Solo
yang dililit oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Dari upayanya yang tulus dan
komprehensif itu, pada periode kedua pemilihan Wali Kota Solo, Jokowi sanggup
menangguk angka dukungan lebih dari 90% suara. Bahkan ia didaulat sebagai Wali
Kota terbaik nomor tiga sejagat raya. Jokowi meraih itu semua bukan lantaran
telah didatangi oleh figur-figur spiritual, melainkan karena ia telah bekerja
nyata bagi warganya.
Akhir
kalam.
Terlepas dari benar atau tidaknya tinanda spiritual yang didapatkan oleh sang
calon, rasanya tetap kurang etis mengumbar pengalaman religius kepada publik.
Di samping karena itu masuk dalam entri poin domain privat, hal yang demikian
juga rentan terjebak pada kesalahan tafsir yang menyesatkan. Alih-alih yang
datang orang suci, ternyata justru iblis yang menyaru jadi wali. Bagaimana jika
demikian yang terjadi?
Kabar Cirebon, edisi 10 Oktober2013
0 Response to " Politik dan Mistik "
Posting Komentar