Menulis, dalam tradisi Islam,
bukan hal yang asing lagi. Menulis dan membaca, ibarat dua sisi mata uang yang
tak mungkin dipisahkan. Pepatah latin mengatakan, scrifta manent verba volant (apa yang ditulis akan abadi, apa yang
diucap akan menguap). Kitab Ta’lim al
Muta’alim juga mengingatkan: ma
kutiba qorro, wa ma hufidzo farro (apa yang ditulis akan kekal, apa yang
dihapal akan sirna ditelan zaman). Bahkan ayat pertama yang Tuhan turunkan
kepada Nabi berbunyi: iqro (bacalah)!
Itulah sekelumit tentang “dasar hukum” menulis dan membaca.
Kita, ummat
Islam,
tentu takkan mengenal dengan baik Imam Syafi’i jika tidak ada kitab al-Um, ar-Risalah, maupun Diewan
as-Syafi’i. Kita juga mungkin kebingungan melacak tapak jejak Imam Ghazaly,
tanpa ada manuskrip bernama Ihya
Ulumaddin, Tahafut al Falasifah, Minhaj al Abidin, dan lain-lain. Atau
bahkan, kita tak bisa memahami dengan baik torehan pemikiran Hadratus Syekh KH.
Hasyim Asyari tanpa lebih dulu memahami kitabnya Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Qanun Asasi.
Itulah secuil bukti keakraban
para ulama dan para sholih dahulu dalam mengakrabi tradisi menulis dan membaca.
Sayangnya, kini tradisi itu kian memudar. Banyak kyai dan santri yang menguasai
seperangkat teori sastra Arab (nahwu, shorof, balaghoh, badhi’ ma’ani, manthiq)
tapi digunakan hanya sekadar untuk membaca kitab atau menghayati keindahan
makna al-Qur’an, bukan malah untuk memproduksi karya ilmiah maupun sastra.
Dunia ilmiah di pesantren kini benar-benar sepi layaknya kota
Cirebon di
jam dua dini hari.
Padahal, Nusantara ini dulu
mengenal ulama-ulama seperti Syekh Nawawi al Bantany (Banten), Syekh Isa al
Fadani (Padang), Syekh Mahfud at Turmusi (Termas), Syekh Ihsan Jampes (Kediri),
Syekh Abdus Shomad al-Palembany (Palembang), Syekh Syamsuddin as-Sumathrany
(Sumatera), Syekh Hamzah Fansury (Aceh) yang produktif sekali menelurkan
gagasan melalui medium tulisan. Dari tulisan-tulisan mereka lah kita mengenal
kitab Husnu as-Siyaghoh (ilmu
Balaghoh) karya Syeh Isa, Siroj at-Tholibin (komentar jenius dua
jilid atas kitab Imam Ghazaly Minhaj al-Abidin)
karya Syeh Ihsan, atau bahkan Sulam
at-Taufiq (Fiqih) karya Syeh Nawawi yang lazim dikaji para
santri.
Novel Otoboigrafis
Tidak hanya penulisan ilmiah
dan sastra, para ulama dahulu juga senang sekali membuat torehan karya
berbentuk otobiografi.
Atau yang lazim kita sebut sebagai manaqib.
Manaqib pada dasanya merupakan kisah
hidup (sirah) para sahabat, ulama,
awliya’, yang pantulan keteladanannya patut dibuat cermin refleksi untuk
generasi berikutnya. Sebut saja missal manaqib
Sulthan al-Awliya Syekh Muhyiddin Abdul Qodir al-Jilany, manaqib Imam Syafii, dan lain sebagainya. Di Indonesia ada manaqib Hadratus Syekh KH. Hasyim
Asy’ari berjudul Penakluk Badai (karya Aguk Irawan Mn)
yang versi visualnya berjudul Sang Kyai.
Salah
besar jika mengatakan era penulisan novel otobiografis baru mengemuka pada
dekade-dekade ini. Karena faktanya, tradisi demikian sudah begitu mengakar di
kalangan ulama Islam abad pertengahan. Apa yang digalakan oleh, misalnya,
Andrea Hirata (melalui Tetralogi Laskar Pelangi) maupun Ahmad Fuadi (Negeri
Lima Menara ) baru-baru ini, adalah semacam renaisans
(kebangkitan ulang) dalam tradisi penulisan novel otobiografis yang nyaris
punah di kalangan kaum Islam dan pesantren.
Kita
mafhum, dalam deretan para ulama dulu, terbuhul nama Syekh Syihabuddin
Suhrawardi. Seorang ulama sufi-filosof ini telah melahirkan puluhan kitab super
tebal. Salah satunya, kitab al-Ghurbah
al-Gharbiyyah (Keterasingan Barat). Kitab itu merupakan novel filsafat yang
bahkan lebih keren daripada kumpulan aforisma Also Sprach Zarathustra-nya Friedrich Nietszche. Bahkan, Henri
Corbin, filosof Prancis, berujar bahwa: jika al-Faraby merupakan Magister Secundus (Guru Kedua) yang
menghidupkan ajaran rasional Aristoteles, maka Syekh Suhrawardi adalah Magister Secundus yang menghidupkan
ajaran Plato yang ideal (Rahmat: 1998/15).
Sebagai langkah awal, para
santri sebenarnya bisa membuat
manaqib/biografi tentang figur kyai sepuh di pesantrennya masing-masing secara
berjamaah.
Karena bagi saya, figur kyai pesantren tempo
doeloe senantiasa
memantulkan petuah yang berharga untuk para santri dalam menyongsong kehidupan
modern yang banal ini. Ketauladanan kyai sepuh ibarat oase yang menyejukkan di tengah miskinnya
tauladan di era kini. Selayakyalah para santri itu bisa memberikan sumbangsih
yang berharga dengan turut menyebarkan kisah hidup dan gagasan kyai
mereka yang
selama ini masih tercecer di banyak tempat dan media.
Retrospeksi Santri
Bercermin dari uraian di atas, sudah
sepatutnya kalangan pesantren
turut meneladani tapak jejak para ulama dan para sholih dahulu yang begitu giat
dalam menghidupkan tradisi literasi (membaca dan menulis). Tak hanya tradisi
literasi, kaum sarungan juga hendaknya kembali menghidupkan
gairah dokumentasi yang kini mulai redup. Karena sungguh, dalam hal
dokumentasi, kaum santri masih sangat tidak terpuji.
Untunglah, terhitung sejak
bulan November tahun lalu Pondok Pesantren
Nadwatul Ummah Buntet Pesantren asuhan KH. Luthfie el-Hakim, secara resmi melahirkan
janin bernama Bilik Aksara Santri Nadwatul Ummah (BAS-NU). Janin ini secara khusus hendak menampung
seluruh potensi dan kreatifitas santri yang selama ini masih terpendam,
terutama dalam bidang membaca dan tulis menulis. Dan alhamdulilah, kini para
santri pondok
yang didirikan oleh almaghfurlah KH.
Fuad Hasyim ini mulai bergeliat dalam mengkhidmati deret ide dan aksara.
Apa
yang dilakukan oleh BAS-NU adalah titik kecil dalam cakrawala semesta
kreativitas kaum pesantren. Harus ada titik-titik lainnya agar warna yang
ditorehkan lebih kentara dan mengena. Kinilah saatnya pesantren kembali
menorehkan tinta emasnya di kanvas peradaban modern melalui kertas dan pena.
Semoga.
*** Coretan sederhana ini kupersembahkan untuk semua adik-adikku di BAS-NU
0 Response to " Santri, Menulislah! "
Posting Komentar