Brana Cafe dan Rezim Tuna Budaya



Tragedi ditutupnya Brana Cafe oleh PT. KAI Daerah Operasi III Cirebon (KC, 11/06), kian membuktikan bahwa pemerintah memang tak bersahabat dengan kebudayaan. Kafe unik yang banyak mengingatkan kita akan adiluhungnya kebudayaan Cirebon ini, harus tersuruk setelah PT. KAI ngotot bahwa kapital lebih penting daripada pembibitan mental dan intelektual.

Sebagai orang yang kerap menikmati syahdunya kopi rempah khas Cirebon, sembari mengkhidmati jejalan lukisan-lukisan dari keringat nalar para maestro rupa, tentu ditutupnya Brana Cafe sekali lagi menunjukkan betapa paradoksnya kota yang konon menyimpan sejuta kebudayaan ini.

Sejarah Kafe
Di tengah deru-debu Kota Wali yang kini begitu bersyahwat hendak menjadi metropolitan baru, dengan pembangunan hutan-hutan beton secara massif dan kolosal, runtuhnya Brana Cafe adalah ironi yang menohok hati. Bukan lantaran bangunan itu yang musti diperjuangkan, tapi spirit & elan vital Brana Cafe yang setia dan istiqomah untuk mengaktualisasikan produk kebudayaan Cirebon itulah yang begitu mengiris kognisi. 

Brana Cafe adalah oase di tengah gempuran kafe kopi kapital khas negeri Paman Sam yang hanya menjajakan kenikmatan semu dengan harga di luar nalar: Starbucks, Hard & Rock Cafe, etc. Dengan modifikasi “Kafe Tradisi”, pelan tapi pasti, Brana Cafe menyedot animo para perindu kebudayaan untuk sekedar beristirah di dalamnya: dari mulai seniman, sastrawan, akademisi, jurnalis, penggiat LSM, hingga mahasiswa. 



Selain kopi rempah, jajanan tradisional dan lusinan lukisan yang memadati dinding, tentu saja ada hal lain yang lebih substansial hingga membuat banyak seniman-sastrawan betah berjam-jam bermeditasi ide di dalamnya. Satu diantaranya, mungkin adalah kesadaran bahwa modernisasi merupakan state of mind (kondisi pikiran), bukan life style (gaya hidup). Dan kondisi pikiran itu hanya bisa dibangun jika kita mau berangkat dari semangat mentradisikan alam pikir yang tak abai pada akar-kultural.

Di Perancis semisal. Meletusnya Revolusi Perancis tentu tak bisa mengesampingkan peran kafe-kafe diskusi yang ikut andil di dalamnya. Begitu sakralnya kafe bagi orang Perancis hingga mereka nyaris menjadikan cafe layaknya sebuah sinagog berpikir. Tradisi berpikir para filsuf Perancis yang amat panjang dan fenomenal banyak yang lahir dari kafe-kafe layaknya kafe Le Procope di Rue de I’Ancienne Comedie, Paris, Perancis. 

Dari meja kafe Le Procope-lah, Jean Jacques Rousseau, Diderot, Pirot, Voltaire membuahkan karya masterpiece-nya yang abadi. Kafe ini juga pernah menjadi persinggahan Napoleon Bonaparte dan Benjamin Franklin ketika membahas pemisahan agama dari negara dengan Voltaire. Bahkan, belakangan kafe itu juga melahirkan para pemenang Nobel Sastra semisal Albert Camus dan Jean Paul Sartre. 

Kafe mereka jadikan tak hanya sebagai tempat menikmati kopi sembari menghela jeda dari kepenatan kerja, tapi lebih dari itu: sebagai medium beraktualisasi diri, bertukar pikir, menulis, melukis, atau sekadar merenung. Setidaknya, imaji seperti itulah yang terlintas di benak saya ketika asyik bercumbu dengan Brana Cafe –dulu.

Selain Paris, Dubai mungkin bisa dijadikan tamsil menarik. Kota kebanggaan Uni Emirat Arab (UEA) ini merupakan kota hyper-modern yang sangat miskin peninggalan purbakala. Sejak ditemukannya sumber minyak bumi, kota ini mendadak menjadi kota ultra-modern yang giat membangun gedung-gedung pencakar langit, bahkan melebihi Ibu Kota UEA sendiri: Abu Dhabi. Di antara gedung-gedung itu terdapat Hard & Rock Cafe tempat penduduk lazimnya nongkrong. 

Lantaran bangunan Hard & Rock Cafe dirasa sudah terlalu jadul, maka Pemkot Dubai pun berencana merubuhkan kafe itu untuk diganti dengan bangunan baru yang lebih menjilat langit dan modern. Tak dinyana, rencana itu spontan memantik protes dan perlawanan yang gegap gempita! 

Padahal Hard & Rock Cafe bukan bangunan purbakala, dahulu kala pun belum. Tapi dianggap masyarakat Dubai sebagai situs cultural heritage (warisan kebudayaan) yang wajib dihormati, dibanggakan dan dilindungi serta dilestarikan. Saking rindunya mereka akan warisan kebudayaan, bahkan Hard & Rock Cafe pun mereka lindungi hingga titik darah penghabisan (Suprana: 2008).

Mental Merawat
Memang, mental merawat dan meruwat di negeri ini memang masih begitu marginal dan alienatif. Ini terbukti dari berderetnya candradimuka kebudayaan yang dibiarkan luruk oleh pemerintah. Pada 2011 lalu, rezim Foke di Jakarta pernah hampir memutus selang infus kehidupan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin –tempat bernaungnya puluhan ribu dokumen penting tentang sejarah kesusasteraan Indonesia.  

Pemkot Bandung juga pernah mengambil ancang-ancang menghabisi Gedung Landraad, tempat di mana Soekarno pernah diadili pada tahun 1930. Untung saja ada sekelompok kecil budayawan yang memperjuangkannya habis-habisan hingga gedung itu kini menjadi pusat kebudayaan yang aktif (Muhidin: 2011). 



Karenanya, jika rezim Ano-Aziz tetap menutup mata atas tragika yang menimpa Brana Cafe, maka stempel rezim tuna-budaya-pun layak tersemat pada duo kepemimpinan ini. Untuk menyadarkan rezim tuna budaya, salah satu strategi yang efektif adalah digalangnya gerakan massa (people power). Sebab itu, melalui essai ini, saya ingin menggedor nurani publik yang masih mendekam kebudayaan dalam hatinya, bahwa menyelamatkan Brana Cafe tak ubahnya menyelematkan asset kebudayaan kita yang sangat berharga! Bagaimana menurut Anda? 


Tanggal pemuatan tidak terlacak
 

0 Response to " Brana Cafe dan Rezim Tuna Budaya "

Posting Komentar