Di zaman
yang sudah tak jelas rimbanya ini, bukan perkara mudah untuk mengklasifikasikan
figur ideal seorang Kyai. Apalagi jika dihubungkan dengan fungsinya dalam
menghadapi arus globalisasi. Sebab kini Kyai tak lebih dari penjelmaan makhluk
yang ambigu (berwajah dua & berpendirian ganda), bahkan penuh anomali.
Kendati pernyataan ini tak dapat mengingkari fakta bahwa Kyai, hingga kini,
juga masih diyakini sebagai sumur moral yang diharapkan akan keberkahannya.
Singkatnya, Kyai adalah makhluk bertuah!
(Lukisan Gus Mus) |
Bicara Kyai
tidak serta merta dapat menyamakannya dengan term Ulama yang selama ini kita
ketahui. Kyai lebih erat dengan budaya ketimuran, pun juga tak hanya
berkonotasi pada gambaran akan seorang yang mendalam ilmu agamanya. Seperti
ketika Nusantara ini masih hidup di bawah ketiak kekuasaan Majapahit, banyak
masyarakat yang menganggap barang-barang mistis nan klenik sebagai “Kyai”.
Kyai Nogososro, misalnya. Tentu kita tak menduga bahwa Kyai Nogososro ini
adalah sebatang pohon yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa Tengah di wilayah
Pantura dulu.
Karenanya,
kurang bijak jika membahas Kyai hanya memakai pisau analisa lama khas para
ulama Salaf as-Sholeh. Imam Ghozali, semisal. Dalam salah satu
karya monumentalnya, Ihya’u Ulumiddin, beliau pernah sedikit
menyinggung tentang tipologi seorang Ulama. Menurutnya Ulama ada dua macam;
satu Ulama akhirat, dan dua Ulama dunia. Ulama akhirat adalah mereka yang masih
teguh memegang kaidah-kaidah yang sudah digariskan agama via Nabi
Muhammad saw. Sebaliknya, Kyai dunia ialah mereka yang telah terjerat arus
dunia yang sarat glamour dan manipulasi.
Ini adalah
gambaran klasik tentang Ulama atau Kyai tempo doeloe. Kini lebih
kompleks lagi. Makna Kyai tidak terbatas pada dua klasifikasi itu. Sebab memang
orang sekarang begitu maniak membuat jargon, simbol dan istilah yang runyam.
Misalnya, beberapa tahun lalu almarhum almaghfurlah Gus Dur mewacanakan satu
lagi tentang macam Kyai, yakni Kyai Kampung. Dalam kacamata Gus Dur, Kyai
kampung merupakan personifikasi Kyai yang masih dekat otentisitasnya dengan
Kyai akhirat seperti yang dijelaskan Imam Ghozali. Artinya, Kyai semacam ini
ialah mereka-mereka yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mangabdi pada
Allah, semesta dan manusia. Lain tidak!
Mengapa
cucu pendiri NU itu mengkaitkannya dengan istilah “Kampung”? Sebab kyai-kyai
semacam itu lebih banyak yang hidup di pelosok-pelosok kampung, jauh dari
hiruk-pikuk dunia (apalagi politik!) dan hidupnya amat besahaja. Hidup mereka
hanya dicurahkan untuk memeberi pencerahan dan penyuluhan bagi lingkungan
sekitar. Bahkan banyak di antara mereka, saking intensnya mengamalkan
amanah-Nya itu, sampai merelakan diri untuk hidup di dalam kubangan derita dan
penjara kekurangan secara duniawi –meski hal itu tak terlalu mereka hiraukan.
Tentunya Kyai model begini sekarang amat langka, bukan?
Lazimnya
yang terjadi saat ini adalah seorang Kyai yang bermutasi menjadi selebritis,
sibuk berebut jabatan dan proyek, sibuk menjajakan agama sebagai komoditas
politik dan ekonomi, sibuk menjadi broker, jurkam atau tim sukses.
Inilah gejala mutakhir yang terjadi pada habitus para Kyai kita saat ini.
Sebuah gejala yang menurut istilah G.W Allport dalam bukunya, The
Individual and His Religion, menjadikan agama sebagai unsur peluaran
belaka. Artinya, di sini para Kyai telah menjadikan agama hanya diproyeksikan
sebagai kendaraan untuk menjemput kepentingan-keuntungan sesaat dan
golongan saja. Contoh yang paling kentara ialah ketika negeri ini hendak
menuju pemilu, tentu. Berbagai partai, tanpa pandang latar belakang,
ramai-ramai menggunakan agama sebagai alat mengeruk suara massa.
Istilah
Baru
Istilah-istilah
ini belum menginjak ke wilayah yang lebih luas dan kontemporer cakupannya.
Semisal, kategori Kyai Khos, Kyai Am, Kyai Langitan,
Kyai Daratan, atau tetek bengek lainnya. Kyai-kyai inilah yang begitu hobi
membuat umat linglung dalam keterpecah-belahan kepentingan politik golongan
yang parsial dan sesaat. Tak usah disebutkan di sini contoh konkritnya, sebab
saban hari kita sudah kenyang dijejali informasi akan itu. Lebih lucu lagi,
baru-baru ini dekan Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya, Abd. A’la, turut
menyumbang satu item untuk entri Kyai. Yakni: Kyai Karbitan dan Kyai Genetika.
Apalagi ini?
Secara
sederhana, Kyai Karbitan tak jauh beda maknanya dengan Kyai “jadi-jadian”
yang hanya mengikuti selera trend zaman dan pasar modal. Tipe
ini banyak dijumpai di media elektronik (TV, radio, internet) terutama, juga di
media cetak (koran, tabloid, majalah). Apalagi jika bulan Ramadlan tiba, wabah
Kyai “siluman” ini semakin menggila saja bak jamur di musim penghujan. Lalu apa
maksud Karbitan? Tak lain karena kyai-kyai yang demikian muncul ke permukaan
hanya jika job sedang ada di tangan. Maka wajar jika kemudian
mereka dijuluki sebagai Kyai Karbitan, lantaran memang mereka disubsidi
(dikarbit-i?) oleh job dari para pemodal.
Sedangkan
Kyai Genetika menunjuk pada status Kyai yang diperoleh karena motif nasab,
garis keturunan. Atau dalam plesetan para santri umumnya, yang demikian lazim
disebut sebagai Kyai tiban atau Kyai nasib. Kyai
Genetika dalam prakteknya tidak beda jauh dengan model Kyai Karbitan. Tidak
jauh beda dalam hal potensi, mental, spiritual dan intelektual tentunya.
Karena, seperti sudah disentil Abd. A’la, Kyai Genetika jarang yang mempunyai
kualifikasi mumpuni dalam multi-bidang keagamaan. Bagaimana mau mumpuni? Wong status
itu merupakan kebetulan (atau kemestian?) saja, bukan sebuah
panggilan kehidupan.
Kembali ke
Fitrah
Apapun itu,
sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi mereka yang berstatus Kyai, Alim-Ulama,
Ustadz, atau apapun namanya, untuk kembali ke fitrah dan misi awal mereka
berpijak dan berangkat. Yakni sebagai pengemban tugas suci kenabian sabagimana
Nabi Besar mencontohkan. Tinggal bagaimana nanti pengamalannya disesuaikan
dengan konteks zaman di mana Kyai itu hidup sekarang. Bagaimana
konkritnya? Wal ulama’u A’lamu.
0 Response to " Menilik Ulang Makna Kyai "
Posting Komentar