Di Sini, di Desaku…


Di sini, lembaga formal (semacam sekolah, kantor desa, camat) masih meraja.
Masyarakat sipil masih lemah, terbelakang dan tak berdaya.
Di sini, status sosial-ekonomi masih kuat mentahta.
Segala dipandang dari nominal dan angka-angka.

Di sini, agama tak punya nyawa.
Negara tak ada jiwa.
Di sini, uang adalah tuhan.
Individualisme adalah kawan.
Hedonisme dan  materialisme adalah kebutuhan.
Instan dan praktis adalah jalan pikiran.
Sukses lebih mengerikan:
ia merupakan tonggak dari puncak iman.

Di sini, moral, adat, etika, budaya dan bahkan orangtua,
sudah dipandang sebelah mata.
Di sini, kaum mudanya hanya tahu:
MTV, band, tren mode, pacaran dan kerja.

Di sini, kaum balita-remajanya sudah phobi dengan wejangan dan tauladan.
Yang mereka kejar hanya kesenangan-kesenangan artifisial.
Di sini, kaum tuanya pasif, pragmatis  dan materialistis.
Mereka lebih bangga jika anaknya jadi TKI, daripada jadi murid atau santri.

Di sini, kaum pria sudah tak lagi berwibawa.
Perempuan tak ada harga dan santun etika.
Di sini, pejabat desanya hanya becus memikirkan
perut diri dan keluarganya.

Di sini, yang pintar melibas yang bodoh.
Yang sepuh diinjak-injak.
Yang lemah dimanipulasi dan dieksploitasi.
Yang muda tak dihargai.
Yang tua tak dihormati.

Di sini, para santrinya adalah kaum
paling mudah minder dan putus asa.
Yang ada dalam benak mereka hanya:
bagaimana asap dapur harus menyala?
Meski itu berarti harus menyuruh istri kerja di Saudi Arabia.
Meski itu berarti harus meninggalkan sholat dan silaturrahmi di musholla.
Meski itu berarti harus menanggalkan ideal kesantriannya.
Mereka telah abai akan cita-cita agung pesantren yang mulia.
Mereka tak pernah mau kerjasama.
Hanya sinisme, persaingan dan tatap curiga yang ada.

Di sini, kyai tak mampu membuat regenerasi.
Di sini, santri tak mampu kreatif sendiri.
Makan saja harus disuapi.

Di sini, antara ustadz satu dengan yang lain saling unjuk gigi.
Di sini, agama hanya jadi ladang materi dan ajang adu gengsi.
Di sini, setiap hari penghuninya hanya bisa bermimpi dan onani.

Semua mati.
Bernyawa tapi mati.
Mati tapi bernyawa.

Gelap-padam nurani dan jiwanya.
Memang semua masih anak TK.
Termasuk saya!

Di sini.
Di desaku.
Di dadaku.


0 Response to " Di Sini, di Desaku… "

Posting Komentar