Isra mi’raj dikenal sebagai peristiwa perjalanan superkilat Nabi dari Makkah ke Bait al-Maqdis (Palestina), kemudian naik ke Sidrat al-Muntaha. Perjalanan yang suprarasional itu hingga kini masih menyisakan teka-teki dan misteri di kalangan para ilmuan, filosof dan saintis. Tapi, seorang tokoh filsuf eksistensialisme, Søren Kierkegaard, mengingatkan kita bahwa: seorang percaya bukan karena ia tahu, tapi karena ia tak tahu. Immanuel Kant bahkan terpaksa harus menghentikan penelitian ilmiahnya demi menyediakan jeda bagi hatinya agar percaya (Shihab: 2000).
Apapun
itu, di balik kabut misteri yang terlekat pada peristiwa Mi’raj, sebenarnya ada
satu pesan implisit yang hingga kini belum terlalu familiar di kalangan muslim.
Lazimnya, umat muslim mengapresiasi peristiwa Mi’raj sebagai kado ulang tahun
sholat, perjumpaan Nabi dengan Allah, dan peristiwa transenden lainnya. Tapi
pesan yang terdalam justru luput dari amatan kita.
Muhammad
Iqbal, filsuf eksistensialisme Pakistan, menandaskan: yang menakjubkan dari
peristiwa Mi’raj bukan lantaran Nabi mampu melampaui batas langit teratas dalam
kecepatan cahaya, bukan pula lantaran Nabi mencapai ekstase ilahiyyah di Sidrat
al-Muntaha. Melainkan, karena Nabi berkenan untuk turun lagi ke Bumi demi
menebarkan titah ilahi dan membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan
tirani. Padahal, di sana Nabi sudah menapaki puncak kenikmatan berupa getting
connected with God secara live. Tapi Nabi lebih memilih pulang ke
Bumi dan menanamkan benih-benih emansipasi manusia secara paripurna.
Jadi,
Mi’raj bukan semata peristiwa spiritual-vertikal (ibadah murni), melainkan juga
moment di mana kita harus melakukan misi pembebasan dan pemerdekaan manusia
dari segala bentuk kolonialisme berwajah baru khas abad 21. Sebut saja:
humanisme transendental.
Konteks Kini
Berangkat
dari titik itu, seharusnya terbesit kesadaaran di palung nurani kita, bahwa ada
yang belum tuntas dalam misi Mi’raj Nabi untuk konteks kekinian. Salah satu
bukti yang bisa disebut di sini adalah: masih berserakannya saudara kita nun
jauh di sana yang terdzolimi tanpa ada garansi keamanan yang menentramkan hati.
Saudara kita yang sudah sejak setengah abad lebih dicengkram oleh kebiadaban
rezim Zionis yang tak punya hati. Saudara kita yang mana salah satu masjidnya
dijadikan oleh Nabi sebagai pijakan untuk bermi’raj (Bait al-Maqdis). Bahkan
pernah dijadikan kiblat bagi umat muslim seantero jagad raya. Saudara kita itu
tak lain adalah Palestina.
Palestina memang sebuah ironi di
zaman modern ini. Ketika negara-negara di seluruh dunia telah mengumumkan deklarasi
kemerdekaannya, juga ketika kemerdekaan telah menjadi hak yang dijamin oleh
Konstitusi Internasional, Palestina tak kunjung menikmati itu semua. Negara ini
masih terengah-engah mengejar impiannya untuk merdeka di tengah embargo dan
isolasi massif yang dilakukan Zionis Israel atas bantuan Sekutu (Amerika
utamanya).
Kejahatan kemanusiaan dan
pelanggaran HAM berat yang berupa genosida, blokade-isolasi, penggerusan lahan
secara kolossal, adalah pemandangan sehari-hari yang bisa kita saksikan di
Negeri para Nabi itu. Kabar terkini bahkan menunjukkan bahwa warga Palestina,
sejak 1947, telah kehilangan hampir dua pertiga wilayahnya karena pendudukan
Israel. Dan penggerusan wilayah itu terus berlangsung entah sampai kapan. Ini
belum menghitung berapa juta nyawa warga Palestina yang telah terenggut akibat
aksi brutal kolonialisme Zionis.
Gaza yang awalnya berupa kota indah
nan hijau kini berubah bentuk menjadi penjara raksasa yang dikelilingi tembok
beton setinggi 8 sampai 10 meter. Para nelayannya tak boleh melaut melebih
jarak 3 mil (sekitar 4,8 km) dari garis pantai. Kadang tidak melebihi jarak
itupun, para pelayan sudah dihujani peluru. Bahkan para petani di As-Siafah dan
Juhrud Dik (ujung utara-timur Ghaza) harus bercocok tanam setiap hari di bawah
bidikan para penembak jitu (sniper) Zionis (Hidayatullah, Juni/2012).
Menurut penulis, ini merupakan
kejahatan kemanusiaan terburuk sepanjang sejarah melebihi kebengisan Genghis Khan dan Naziisme Hitler. Karena Zionisme
melakukan tindak brutal itu dengan latar belakang sentimen agama dan rasialisme
yang pekat selama 64 tahun lamanya. Dari sini kita mafhum, bahwa politik Zionis
adalah personifikasi paling mengerikan dari Machiavellian berdarah dingin: menghalalkan segala cara demi
meluluskan segala syahwat politiknya.
Spirit KAA
Sebagai
sesama manusia, tentu kita takkan pernah menerima kejahatan kemanusiaan atas
nama dan alasan apapun. Sebagai warga Indonesia, kita adalah saudara sepersusu
Palestina dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Sebagai
umat muslim, kita adalah saudara kandung yang sama-sama dilahirkan untuk
menebarkan aura welas-asih Allah ke segala empat penjuru mata angin. Karena
itu, tak ada alasan secuilpun bagi kita untuk duduk manis berdiam diri
sementara saudara kita di Palestina tengah menjerit dan meronta sekian lama.
Harus
ada terobosan yang meski setitik tapi menggigit ikhwal Palestina. Seperti ujar ekonom
Jerman abad 19, E. F. Schumacher, Small is Beatiful. Kecil itu indah.
Untuk menghardik kesewenang-wenangan bangsa Zionis yang raksasa kita hanya
perlu langkah kecil tapi bertenaga. Untuk menumbangkan Goliath (Jalut) yang digdaya
kita hanya perlu seorang David (Nabi Dawud as) yang kecil.
Salah
satu upaya kecil itu adalah inisiatif dari para aktivis Aqsa Working Group dan bekerjasama dengan
berbagai LSM yang concern terhadap nasib Palestina untuk
menyelenggarakan KAA jilid II di Bandung 04-05 Juli nanti. Konferensi bertajuk International
Conference For the Freedom of Alquds and Palestine itu akan dihadiri oleh
20 pembicara dari 5 benua (Republika, 14/06).
Tentu saja, karena Konferensi itu
diselenggarakan atas dasar menyongsong kemerdekaan Palestina, maka spirit KAA
yang terkristal dalam Dasasila Bandung harus tetap menjadi canangan utama.
Dasasila itu di antaranya: 1) menghormati hak asasi manusia sesuai dengan Piagam PBB, 2) menghormati
kedaulatan wilayah setiap bangsa, 3) mengakui persamaan semua ras dan persamaan
semua bangsa baik besar maupun kecil, 4) tidak melakukan campur tangan dalam
soal-soal negara lain, 5) menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan
diri secara sendiri maupun kolektif, 6) tidak melakukan tekanan terhadap negara
lain, 7) tidak melakukan agresi terhadap negara lain, 8) menyelesaikan masalah
dengan jalan damai, 9) memajukan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, dan
budaya, 10) menghormati hukum dan kewajiban internasional.
Umat Islam di seluruh dunia saat ini harus segera
melupakan fragmentasi primordialis yang telah lama menghinggapi. Sebaliknya,
kita semua musti duduk bersama demi mengikrarkan diri menjadi pembebas
Palestina. Jika spirit itu disuntikkan dan dengan sungguh diamalkan, penulis
yakin perdamaian akan turun di bumi Palestina.
Mi’raj Emansipatif
Maka
dari itu, sedari kini peristiwa Mi’raj tak cukup diapresiasi hanya melulu dengan
upacara-upacara seremonial yang nostalgis dan repetitif. Apresiasi semacam itu
tak akan banyak guna selain hanya penghamburan dana secara sia dan
menjerumuskan kita pada jurang nostalgia. Kita harus memaknai Mi’raj secara dinamis,
radikal dan substansial. Salah satunya yaitu: melakukan aksi konkrit demi
menyongsong kemerdekaan Palestina secara hakiki dan sempurna. Itu semua bisa
dilakukan jika kita terus mengaktualkan memori dan pesan suci Mi’raj menjadi
gerakan yang komprehensif.
Akhir kalam, Ya yahud, inna jaysa Muhammad, sayaud. Yahudi, sesungguhnya tentara Muhammad akan kembali datang
untuk menghancurkan kalian! Ini adalah semboyan kelompok kecil Intifadha
yang hanya bersenjatakan katapel tapi tak pernah lelah memperjuangkan bumi
leluhurnya dari cengkraman tank-tank Israel yang perkasa. Intifadha itu
kini barangkali menjelma menjadi sepasukan manusia Indonesia yang peduli akan
nasib Palestina yang terkumpul dalam kepengurusan Konferensi
Internasional Menyongsong Kemerdekaan al-Quds dan Palestina.
Semoga
saja Konferensi ini berhasil melahirkan tentara-tentara Nabi SAW yang mampu
merobohkan benteng Yahudi-Zionis abad 21, sebagaimana dulu Nabi berhasil
meluluh-lantakkan benteng Khaibar Yahudi 15 abad silam. Bagaimana menurut Anda?
Wallahu A’lam bi Showwab.
Fajar Cirebon, Selasa
26 Juni 2012
0 Response to " Mi’raj, KAA, dan Emansipasi Palestina "
Posting Komentar