Bapak Jokowi yang saya hormati. Sebelumnya
saya ucapkan selamat lantaran bapak telah dipercaya oleh 70.997.833 juta (53,15 %) rakyat Indonesia
untuk menahkodai biduk kapal Indonesia
ini selama lima
tahun ke depan (Kompas, 23/07). Semoga
amanah itu kelak menjadi daya amunisi untuk memoles wajah Indonesia lebih
baik lagi. Dalam segala lini.
Pak Jokowi, sembari menunggu pelantikan Anda
Oktober kelak, perkenankan saya sedikit menyita waktu untuk berbagi keluh kesah
dengan Anda. Saya ingin bercengkrama dengan Anda dalam sunyi dan sepi. Kebetulan
daerah saya, Cirebon,
tiga tahun lalu terjamah oleh tangan-tangan jahat pembenci bhineka. Mereka yang
tega menumpahkan darah saudara seiman di kala sholat Jumat berkumandang hanya
lantaran paham agama yang berbeda. Peristiwa Jumat kelam itu lekat dalam memori
kami sebagai tragedi luka pemboman Masjid Mapolresta Cirebon (15 April 2011).
Meski itu sudah berlalu tiga tahun lalu, dampak
psikologisnya tetap mencekam hingga saat ini. Apalagi konon kini telah datang
genre puritanisme baru yang coba mengoyak kembali kebhinekaan negeri ini.
Islamic State of Iraq and Sham/Syria (ISIS) namanya. Kendati saya sangat tak
setuju label Islamic yang digunakan
mereka. Sebab saya yakin, Islam tak pernah mengajarkan pengikutnya untuk
membunuh rasa kemanusiaan agama manapun.
Dari titik ini saya sadar, betapa isu keberagama(a)n
senantiasa krusial dan relevan untuk diamalkan dalam setiap relung zaman. Sebab
itu, izinkan saya menulis sepucuk risalah pada Anda tentang toleransi. Tentang
kebhinekaan. Tentang warna-warni Nusantara ke depan yang kini nasibnya kian tak
kunjung terang. Tentang tenun kebangsaan yang sudah dirawat dengan peluh dan
nanah oleh para founding father’s
negeri ini.
Pak Jokowi, beberapa waktu yang lalu,
kebhinekaan negeri ini kembali dicederai. Segerombolan orang mencincang rasa
toleransi dengan membubarkan dan menganiaya jemaat Katolik yang tengah
menjalankan kebaktian dengan khusyuk. Tragedi itu terjadi di Kompleks Perumahan
STIE YKPN, Ngaglik, Sleman. Tak hanya itu, mereka juga melakukan serangkaian
teror perusakan bangunan di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman yang
dipakai umat Kristiani untuk menjalankan kebaktian.
Dua
hari sebelumnya, sejumlah pemberang menerobos rumah Direktur Penerbitan Galang
Press Julius Felicianus di YKPN saat para jemaat Katolik sedang menggelar Doa
Rosario di bulan suci Maria yang jatuh pada Mei lalu. Julius yang saat itu
sedang di kantor bergegas pulang namun setiba di rumah ia malah dianiaya
bersama jemaat lain yang sedang takzim berdoa. Michael Ariawan, wartawan Kompas
TV yang datang meliput juga tak luput dipukuli dan handycam miliknya dirampas (beritasatu.com/02/06).
Beberapa bulan sebelumnya, di Semarang
terjadi pembubaran diskusi tentang Bapak Republik yang Terlupa, Tan Malaka. Alasannya
sepele: ormas berjubah takut acara bedah buku karya Harry A. Poeze berjudul
"Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4", di
Gerobak Art Hysteria, Semarang,
itu akan kembali membangkitkan arwah komunisme di persada bumi pertiwi. Tak hanya
membubarkan diskusi, mereka juga melakukan serangkaian penangkapan terhadap
sejumlah orang di rumah milik warga di Jalan Potrosari Tengah RT 04 RW 01,
Srondol Kulon, Banyumanik (setara-institute.com/17/02).
Mungkin Anda juga tahu, suasana sesak
bernuansa SARA juga tumpah ruah dalam ajang kontestasi pilpres ini . Betapa
isu-isu sentimen rasial dan keberagama(a)n digunakan oleh satu kelompok untuk
menjatuhkan lawannya. Dari mulai isu capres non-muslim, keturunan Tionghoa,
sampai komunis –tiga hal yang seolah terus menjadi momok kebhinekaan bangsa
ini. Sampai lahir tabloid yang khsusus mengulas salah seorang capres melulu
dari kaca-pandang rasis dan fasistik.
Dan sungguh tragedi demikian akan menjadi
daftar maha panjang jika kita mau mengurainya. Tragedi yang telah mengaduk-aduk
akal dan nurani kita sebagai manusia. Tragedi yang melukai kebhinekaan kita
sebagai warga Nusantara. Tragedi yang telah mengkhianati amanat Pancasila dan
UUD 45 sebagai dasar nilai Republik Indonesia. Yayasan Denny JA bahkan
mencatat: 15 tahun pasca reformasi, eskalasi kekerasan dan diskriminasi yang
terjadi di Indonesia
sudah dalam tahap amat mengkhawatirkan (kompas.com, 23/12/12).
Sejak angin perubahan rezim itu berhembus,
lebih dari 10.000 orang meninggal, 2.398 kasus kekerasan tergoreskan. Semua
tragedi itu mayoritas, 65%, berhulu dari riak-riak yang lahir lantaran
perbedaan tafsir mengenai agama (Denny, 2013: 51-52). Fakta ironis yang menjadi
lanjutannya adalah: rata-rata pelaku kekerasan itu justru berasal dari aparatur
Negera sendiri. Kepolisian terbukti menyumbangkan angka kekerasan sampai 26,2
%. Pemerintah Daerah juga tak mau ketinggalan. Pemda menyumbang saldo angka kekerasan
sampai 23 % (Denny, 2013: 83).
Para pencaci bhineka itu seperti alien yang
tampak kikuk dan alergi menghadapi fakta keberagama(a)n. Mereka seperti bukan
lahir dari rahim Nusantara yang sudah jelas menjadikan bhineka sebagai tiang penyangga
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka dengan seenak hati hendak memaksakan
satu versi kebenaran untuk ditumpahkan pada wilayah privat golongan lainnya.
Padahal, seperti yang kerap Gus Dur bilang: kita orang Indonesia yang
(kebetulan) beragama Islam. Bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.
Oleh sebab itu, saya ingin Anda menggenggam
betul hakikat keberagama(a)n yang sejatinya merupakan anugerah ini. Tidak hanya
keberagama(a)n yang terserap secara tersurat dalam visi-misi Anda. Tapi saya
mau komitmen Anda yang lebih dari sekadar deretan teks. Saya butuh sikap dan
aksi Anda baik yang lalu maupun nanti. Lantaran toleransi tidak bisa
diterapkan hanya sebatas act of thinking
yang diretas lewat piagam-piagam perjanjian dan retreat-retreat klise.
Melainkan jauh lebih dari itu: toleransi adalah act of doing yang mewujud pada kesadaran sikap dan tindakan.
Karenanya,
saya ingin kelak Anda berani menghardik Kapolri yang berpendapat bahwa
beribadah di rumah adalah tindak kriminal. Sebab, itu jelas bertentangan dengan
Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan
Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Saya juga mau kelak Anda sanggup
menekan syahwat para pemimpi(n) daerah yang ingin menodai keberagama(a)n dengan
cara membangun Negara-negara Islam kecil di daerah melalui Perda Syariah.
Sebab
Perda
Syari’ah pada dasarnya merupakan kelanjutan gugatan terhadap Pancasila.
Bukankah kita sadar bahwa dasar Negara Indonesia adalah Pancasila? Kenapa
kini ada pemerintah-pemerintah kecil yang mendirikan “Negara-negara Islam
kecil” di tingkat Provinsi dan Kabupaten? Bukankah Pancasila harus diterima
oleh siapa saja? Tidak hanya disepakati secara semu pada level Nasional namun
sebaliknya dilucuti di tingkat daerah?
Sebagai
penutup, saya ingin mengutip pernyataan Heiner Bielefeldt, special rapporteur pada penutupan Forum Aliansi Peradaban di
Vienna, tahun lalu. Bahwa: “kejahatan atas nama agama (telah) mengkhianati
agama itu sendiri. Kian suburnya aksi kejahatan tersebut sudah seharusnya
memanggil langkah nyata dari kepemimpinan yang bertanggungjawab dari semua
aktor” (Kompas, 09/03/13). Bagaimana
menurut Anda pak Jokowi?
Akhir kalam.
Terimakasih sudah mau membaca surat
ini.
Sudah jelas, bahkan terpampang disetiap ruangan Garuda yang gagah itu mencengkram Bhineka tunggal Ika. Filosofi dari lambang negara itu seharusnya mengeluarkan kembali nurani yang tertimbun. Sepakat. Semoga didengarkan dan dijalankan :)
BalasHapusAmmin, terimakasih Efri.
Hapus