Seusai khatam mendaras film Romi dan Yuli dari Cikeusik, ingatan
penulis langsung tertumbuk pada dua khasanah roman terbesar sepanjang sejarah
peradaban Timur dan Barat. Di lembaran romantika Barat kita tentu akrab dengan
Romeo-Julliete karya William Shakespeare yang abadi hingga kini. Di belahan
Timur, kisah Qays-Layla, buah ruhani an-Nizami (seorang pujangga Persia abad ke-12),
amat familiar –khususnya di belantara dunia sufi dan pesantren. Dua roman itu mengisahkan
hal yang nyaris sama: tentang kasih tak sampai dua sejoli yang berujung pada jurang
tragedi. Hanya latar-settingnya saja yang berbeda. Tema, gagasan, alur cerita,
semua persis belaka.
Kini, kisah serupa bisa kita jumpai di Indonesia dengan
wajah yang berbeda. Meski tak sedramatik Romeo yang menenggak racun demi
cintanya pada Julliete, ataupun Qays yang menjadi gila dan mengisolasi diri di
hutan rimba hingga ajal menjemputnya, hadirnya Romi dan Yuli tetap merupakan oase romantika dua insan yang
menyayat hati. Film besutan Hanung Bramantyo ini, yang disarikan dari puisi-esai
Denny JA dengan judul yang sama, bisa menjadi alternatif di tengah suguhan film
mutakhir kita yang kering dan monolitik: komedi, horor, dan otobiografi (tokoh).
Film Romi
dan Yuli mengisahkan dua pasang manusia muda yang dirundung asmara sedemikian rupa.
Romi (Rohmat?) yang diperankan Ben Kasyafani adalah anak seorang pesohor
Ahmadiyah Cikeusik –satu aliran yang konon menjadi ancaman serius bagi akidah
(Islam) konvensional. Sedangkan Yuli (Juleha: Sascia Adya Mecca) lahir dari
rahim keluarga yang menjadikan agama sebagai sumber tertua kehidupan jauh di
atas cinta. Tapi, berkat kepiawaian Romi, Yuli beserta keluarga besarnya tak sanggup
mengendus perbedaan yang menjadi momok dalam kelangsungan hubungan mereka
sekian lama. Itu terjadi sampai undangan pernikahan telah disebar.
Hingga datanglah hari biadab itu. Ketika
sedang asyik-masyuk dalam sebuah restoran Jepang, Romi dikejutkan dengan siaran
berita yang mempertontonkan kebrutalan atas nama agama. Ya, saudara-saudara Romi
di tanah kelahiran sedang menjadi sasar amuk massa yang menganggap perbedaan adalah tindak
kriminal yang haram. Tak tanggung-tanggung, empat nyawa jemaat Ahmadi menjadi
syahid dalam tragedi itu (06 Februari 2011).
Sontak, perbedaan identitas yang selama ini
rapi digenggam, kini menganga di depan mata. Yuli beserta orang tuanya mengetahui
identitas asli sang kekasih dan calon menantu. Begitu juga orang tua Romi. Semerbak
aura kebencian pun menyengat di antara dua keluarga besar, sampai pernikahan
akhirnya dibatalkan. Seberapa kuatnya Romi dan Yuli mengingatkan orang tua, toh orang tua mereka berdua tetap pada
pendiriannya masing-masing bahwa agama di atas segala. Bahkan, dalam buku
puisi-esai yang tak diangkat dalam film adaptasinya, dijelaskan bahwa
“diplomasi puisi” a la Kahlil Gibran yang
coba diblesakkan Romi ke hadapan sang Ayah, dibalas dengan sinisme yang menusuk
nurani: kedudukan agama itu di atas
puisi, jangan kau bandingkan penyair dengan Nabi (Denny
JA, 2012: 74).
Endingnya, laksana Layla yang menjemput ajal
karena rindu yang tak terperi kepada Qays, Yuli yang sudah sejak lama menderita
sakit kanker getah bening-pun menghadap sang Maha Kuasa bersama cintanya yang
mengekal kepada Romi. Ironis memang, kematian yang merenggut Yuli terjadi
justeru di kala orang tua ingin menghembuskan berita gembira yang merestui
hubungan “haram” tersebut.
Puisi
dan Film
Orang kerap bilang, lazimnya film adaptasi
mengalamai kegagalan serius di level penyampaian gagasan secara komprehensif.
Selalu saja ada detail yang terabaikan hingga menyebabkan film adaptasi tidak
memiliki greget yang sama dengan buku yang menjadi acuannya. Ini bisa kita
lihat dalam banyak film adaptasi: dari mulai Laskar Pelangi hingga Sang Kyai. Ekspektasi
penonton kerap meleset tajam melihat buku pujaannya telah dikerdilkan
sedemikian rupa dalam altar sinema. Ini memang bukan murni kesalahan insan
sinema. Karena, katerbatasan durasi dan hal-ihwal lain, adalah musabab awal
mengapa film adaptasi justeru kerap tak adaptatif.
Tapi rasanya hal demikian tak terjadi pada
film Romi dan Yuli. Antara puisi-esai
Denny JA maupun representasi visual Hanung Bramantyo memiliki kekuatan
tematik-estetik yang nyaris sama. Dari mulai alur cerita yang koheren,
penokohan yang kokoh, gagasan jernih yang hendak disampaikan, setting yang
jelas, sang narator sebagai guide
yang piawai, dan tampilan slide-slide berita (dalam puisi-essai Denny ini bisa
kita jumpai dalam catatan kaki) sebagai penguat cerita, adalah beberapa keberhasilan
yang sukses dipentaskan Hanung.
Hanya saja, dalam hal sublimasi-intimitas,
rasanya kekuatan tulisan memang jauh lebih digdaya ketimbang medium sinema.
Aktivitas membaca sangat soliter dan impersonal, sementara menonton lebih lekat
pada proses memasuki dunia rekaan yang kerap nir-personal. Aktivitas literer
lebih memungkinkan pembaca untuk khusyuk pada bagian-bagian teks tertentu. Memilahnya
sembari membubuhkan catatan, ringkasan, komentar, kritik, sanggahan, ilustrasi,
perbandingan, alegori, dan bahkan parodi di sela-sela teks utama. Mungkin
aktivitas menonton juga bisa mendapat porsi yang sama, namun dalam bentuknya
yang ekstrem, aktivitas visual terkadang menyingkirkan kebutuhan dan kesempatan
untuk mengusut secara lebih radikal terhadap objek sinematik yang ada di
hadapannya (Adi Wicaksono: 2004:189).
Meski demikian, pudarnya intimitas yang
mencekam pada dimesni visual itu berhasil ditutup oleh beberapa ornamen
tambahan yang tak terdapat pada teks aslinya. Semacam adegan pembuka yang
mendeskripsikan Yuli tengah menonton pentas wayang. Aktivitas menonton wayang
ini diulang sampai 4 kali dalam fim berdurasi 40 menit itu. Ini merupakan
modifikasi menarik, karena Hanung mencoba menyelipkan unsur kebudayaan bukan
sekadar unsur tempelan (ekstrinsik) belaka, melainkan sebagai alegori dari suasana
batin yang menimpa para tokoh dalam film tersebut.
Juga, jika mengacu pada sistematika prosa,
Hanung memutuskan untuk mengakhiri film ini dengan ending tertutup, di mana
secara implisit telah tercipta “rekonsiliasi” antar dua keluarga (atau paham?)
dalam adegan pemakaman Yuli. Ini berbeda dengan Denny yang lebih memilih untuk
mengkhatamkan Romi dan Yuli dengan
ending terbuka dalam puisi-esainya. Ending tertutup adalah tuntasnya cerita
tanpa meninggalkan jejak tanya, sementara ending terbuka menyerahkan akhir
cerita sepenuhnya kepada pembaca secara otonom (Jakob Sumardjo, 1997: 59-60).
Diskriminasi
Intra-religi
Di dalam film Bunga Kering Perpisahan, Hanung Bramantyo berhasil menciptakan daya
visual yang mencekam lantaran cinta yang kelewat sangat antara Albert dan Dewi.
Tapi intimitas ketegangan itu tetap tak bisa menandingi Romi dan Yuli. Ini lantaran, kisah cinta beda agama (inter-religi) mungkin
terbilang klise. Tapi cinta intra-agama relatif baru dalam jagad dunia puitika
maupun sinema di Indonesia.
Meski penulis yakin kasus yang demikian kerap terjadi, rasa-rasanya belum
pernah tersentuh oleh tangan dingin penyair maupun para insan sinema.
Kita tahu, Garin Nugroho adalah maestro yang
kerap menyuguhkan tema-tema keragaman budaya Nusantara berbalut lanskap
multikulturalisme dalam banyak filmnya. Dari mulai Surat untuk Bidadari (berlatar budaya Sumba),
Bulan Tertusuk Ilalang (Jawa Tengah),
maupun Aku Ingin Menciummu Sekali Saja
(Papua). Tapi karena taburan imaji visual dan metafora yang dinilai “kelewatan”,
film-film Garin kerap gagal menerjemahkan gagasan yang jernih kepada komunikan
yang dihadapinya. Ini persis seperti fenomena “puisi gelap” yang lokomotifnya
diarak oleh Afrizal Malna. Membaca puisi-puisi Afrizal berpotensi membuat
pembaca (awam) mengalami kekacauan representasi dan dislokasi tiada henti.
Ini takkan kita temui dalam puisi esai Denny
maupun adaptasi filmnya. Lantaran, Denny maupun Hanung sepertinya tak mau
terlalu membuang energi dengan main-main terhadap apa yang disebut Roland
Barthes sebagai jouissance:
kenikmatan semu yang semata-mata indrawi dan kerap ”dangkal”. Suatu permainan
visual yang tujuannya semata permainan itu sendiri, tanpa perlu koherensi dalam
bentuk apapun. Ini mirip adegium “seni
untuk seni” dan “seni untuk rakyat” yang dulu sempat hangat dalam perjalanan
susastra kita.
Mungkin bagi Denny, tersampaikannya pesan
dan gagasan (ihwal diskriminasi) ke hadirat penonton jauh lebih penting
daripada hal-ihwal di luar itu. Satu hal
yang cukup mengganggu dalam film ini: terselipnya lagu Hanya Ingin Kau Tahu (Republik) sebagai ilustrasi antara Romi dan
Yuli yang tengah di mabuk asmara,
rasanya menjadikan film ini seperti drama musikal yang kurang lucu. Tentu, ilustrasi
yang terang-benderang tak musti sebanal itu, bukan?
Cermin
Retrospeksi
Terlepas dari nyata atau tak, film ini
sesungguhnya cermin paling representatif dari kondisi keberagama(a)n kita kini
–utamanya ketika berhadapan dengan golongan yang kita anggap “lain”. Masyarakat
beragama masih menganggap aliran/agama lain di luar pahamnya merupakan ancaman
dan bahkan lawan yang musti dibasmi. Kita seperti mewarisi alergi-inter/intra-religi
akut turun-temurun sejak dulu hingga kini.
Dari Gereja, Masjid dan yang terbaru Wihara
(04/08/13), sudah cukup menjadi bukti bahwa kita belum juga sanggup mentas dari
kepungan bernama paranoia. Dunia kini, meminjam terminologi Bonie Hargens,
tengah diliputi paranoia yang akut. The
Others, apapun itu, selalu diposisikan sebagai yang berbeda, yang lain, dan
musuh yang musti ditatar dan bila perlu diberangus. Menjadi berbeda di negeri
ini adalah tabu yang musti dihindari.
Parahnya, fakta ini dicabai-garami oleh kebijakan
yang rumpang dari para pemimpin negeri ini. Baik di level Nasional maupun akar
rumput. Di jajaran tertinggi, terbitnya SKB 3 Menteri (2008) dan Fatwa MUI
tentang Ahmadiyah (2005) hingga kini masih menjadi sumber petaka yang membuat
panggung keberagama(a)n kita menjadi morat-marit. Sudah tak terhitung banyaknya,
ankara murka dan
duka-lara yang tercipta lantaran sumber acuan yang kacau itu. Di level akar
rumput, munculnya Perda-Perda Syariat yang seperti cendawan di musim penghujan,
ibarat bom waktu yang setiap saat siap mengguncang keindahan hidup dalam
Bhineka.
Kemuliaan Pancasila sebagai ideologi negara
maupun agama sebagai etika sosial, kini menguap oleh primordialisme dan
sektarianisme yang tak punya akar kurtural kuat di negeri ini. Pancasila hanya
gagah dan ramai diperbincangkan hanya ketika menjelang tanggal 1 Juni semata.
Sementara agama kini tengah bermetamorfosis menjadi ritus seremoni dan
nostalgia yang tak bermakna substansial bagi para pemeluknya.
Di tengah kondisi keberagaman kita yang
masih oleng itulah, rasanya menjadi niscaya menjadikan film Romi dan Yuli sebagai medium retrospeksi
diri. Terutama, untuk paduka raja Indonesia, H. Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima
penghargaan World Statesman Award dari Appeal
of Conscience Foundation (ACF) pada tahun lalu. Bagaimana menurut Anda?
Secuil
Rujukan:
1) JA, Denny. Atas Nama Cinta, Sebuah Puisi Esai. Jakarta: Renebook, 2012.
2) Wicaksono, Adi. Bentuk dan Koherensi Tiga Film dalam Esei-Esei Bentara. Jakarta:
Penernit Buku Kompas, 2004.
3) Sumardjo, Jakob. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Membaca Romi & Yuli seperti membaca diri sendiri
BalasHapus