Aku bisa
benar, tapi mungkin juga salah.
Kau bisa
salah, tapi mungkin juga benar.
(Imam Syafi’ie
RA)
Hidup di
tengah kerumun manusia yang tak mengerti indahnya perbedaan, memang sulit dan
serba salah. Apalagi jika perbedaan itu menyangkut sisi intim keberagamaan.
Yang ada, satu dengan yang lain saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling
benar. Dan kelompok di luar dirinya adalah sekumpulan manusia yang salah dan
perlu ditatar. Alamak!
Padahal
kerumun manusia itu bukan orang bodoh yang mudah sekali dijejali kebenaran
relatif yang menipu. Sebab, mereka adalah para dosen terdidik yang sudah
kenyang memakan bangku kuliah. Tak jarang, di belakang nama manusia-manusia itu
tertempel gelar berderet layaknya kereta api, tanpa tahu apa kegunaan dari
titel-titel panjang itu. Memang, di sini gelar lebih penting daripada kualitas
kepribadian.
Ya,
dosen-dosen mayoritas perguruan tinggi di sini baru sekadar bisa mengklaim,
menyalahkan, memvonis, dan mendikte para mahasiswanya untuk turut serta dalam
ideologi (madzhab)nya yang kumal, basi, fanatik dan karatan. Mereka bilang,
misalnya: “Kalian tak usah tahlil. Itu tak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan
Hadits. Itu salah. Itu bid’ah. Dan tempat bagi para pelaku bid’ah tersesat,
hanya neraka yang layak. Sudahlah, kita ikut aja apa yang sudah dilakonkan oleh
Nabi sewaktu hidup. Seperti saya ini…”, kata salah satu dosen fiqh yang ngawur
dan tentu tak dapat dipertanggungjawabkan omongannya itu.
Telisik
Sejarah
Penulis
sebagai mahasiswa tentu terkejut. Bagaimana mungkin ucapan seperti itu meluncur
dari seorang dosen hukum Islam? Tapi penulis ber-husnudlon, mungkin
beliau lupa pada kata-kata mutiara dari Begawan ilmu Fiqh kita, Imam Syafi’ie,
yang sudah penulis kutip di atas. Bahwa,
di dalam fiqih tidak ada yang namanya kebenaran mutlak (kecuali dalam hal yang
sifatnya ubudiyyah dan qoth’ie, tentu). Semuanya bersifat dzonny
atau spekulasi yang harus diuji senantiasa relevansinya pada setiap konteks zaman
yang melingkupinya.
Hal ini juga
diakui Imam Syafi’ie dengan kata-katanya tersebut di atas. Bahkan jika kita
mau ijtihad sendiri untuk menggali
hukum, meski salah, kita akan mendapatkan satu ganjaran. Jika benar, dapat dua,
ucap salah satu hadits Nabi yang terkenal. Lagipula, jika kita mau belajar
sejarah hukum Islam dan Ushul Fiqh secara mendalam, dalam kasus tahlil dan
ziarah qubur semisal, keduanya adalah kategori hukum yang sudah mengalami
berkali-kali verifikasi yuridisnya (Naskh al Hukmi).
Artinya,
memang pada awalnya Nabi melarang umat Islam priode pertama untuk tahlil dan
ziarah kubur. Karena konteks pada masa itu kaum Islam masih terpengaruhi oleh
model penyembahan a la masyarakat pagan (penyembah berhala kaum Jahiliyyah).
Dari situlah Nabi mempunyai kekhawatiran pada umatnya barangkali terjerumus ke
lembah kemusyrikan secara implisit (seperti meminta atau berdo’a kepada ahli
kubur yang diyakini bertuah). Ini terbukti dengan hadits Nabi: kuntu
nahaytukum an ziyarotil qubur, aku melarang kalian semua untuk ziarah
kubur.
Tapi setelah
Nabi melihat pola keberagamaan umatnya yang sedikit demi sedikit beranjak lebih
dewasa, Nabi meralat hadits itu dengan bersabda: kuntu nahaytukum an
ziyarotil kubur, alaa fa zuruha. Liannaha tudzakirotu lil maut. Dulu aku
melarangmu melakukan ziarah kubur. Tapi sekarang, ziarahlah. Karena
sesungguhnya ziarah kubur itu dapat mengingatkan kita pada kematian –hingga
kita akhirnya giat untuk beribadah. Inilah yang dinamakan Naskhu Sunnah bi
Sunnah. Menghapus hukum yang tertera dalam hadits dengan hadits itu sendiri.
Tahukah pak dosen akan hal ini?
Daur-mendaur
ulang hukum seperti ini bukan hal yang asing di dalam Islam. Jangankan
hukum, bahkan kitab suci sendiri berkali-kali mengalami “revisi”. Dari Taurot
Nabi Musa as, Zabur Nabi Dawud as, Injil Nabi Isa as, hingga mencapai titik
penyempurnanya pada al-Qur’an yang diusung oleh Jibril kepada Nabi Muhammad
saw. Semua kitab suci itu absah sebagai wahyu Tuhan pada konteks masing-masing
zamannya.
Tapi tentu,
tak relevan jika menggunakan Taurot sebagai referensi hukum kontemporer saat
ini. Bayangkan saja, di era Nabi Musa as, manusia yang ingin bertaubat harus
bunuh diri dulu. Kemudian Nabi Muhammad datang dengan Qur’annya untuk me-revisi
ketentuan hukum yang termaktub dalam Taurot itu. Jadilah, untuk bertaubat, kita
cukup memperbanyak baca istighfar dan bertekad kuat untuk jangan sekali-kali
terjerumus pada lubang yang sama. Indah, bukan?
Berkaca pada
Imam-Imam Besar
Akhir kalam,
ada baiknya sebelum penulis tutup tulisan ini, kita renungkan kisah manis
antara Imam Syafi’ie dan Imam Maliki, dua Imam Madzhab besar yang pandangan
hukumnya cukup berbeda tajam. Seperti misalnya pendapat yang mempermasalahkan
tentang qunut. Menurut Imam Syafi’ie, qunut adalah Sunnah
Ab’ad. Tapi menurut gurunya, Imam Maliki, bukan. Bahkan itu bid’ah.
Tapi ketika Imam Syafi’ie bertandang ke rumah gurunya, beliau tidak pernah
mengamalkan qunut dalam setiap sholat shubuhnya, karena menghormati sang
guru, yakni Imam Maliki.
Begitu juga
dengan Imam Maliki. Jika beliau sedang bersilaturrahim ke muridnya, yakni Imam
Syafi’ie, beliau selalu melakukan qunut dalam setiap sholat shubuhnya,
lantaran menghormati sang murid. Itulah salah satu kisah manis yang dicontohkan
kedua Imam besar kita dalam bidang fiqh. Bagi mereka berdua, perbedaan bukan
alasan untuk saling menghakimi dan menyalahkan. Melainkan perbedaan adalah
sepenggal rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia agar kita mau saling cinta
dan menebar kasih sayang.
Maukah para
dosen kita menghayati cerita di atas, dan menyadarai bahwa: beda itu sexy!
Semoga saja. Wallahu
A’lam.
Artikel
ini dimuat di Harian Kabar Cirebon (Sayap Pikiran Rakyat)
29 Mei 2012
Yap, benar sekali. apa yang kita yakini belum tentu benar seadanya. kadang kita juga harus mempertanyakan tentang keyakinan kita. apakah kita benar-benar yakin sepenuhnya atau kita hanya bersembunyi dibalik bukti-bukti nyata atas keyakinan yang kita anut. Mudah-mudahan kita bukan orang yang hanya bisa berbicara tanpa biisa melakukan dan membuat solusi nyata atas permasalahan yang ada.
BalasHapusAmin.
HapusBeda itu sexy!
Bhineka itu sunnatullah.
Ikhtilafu ummaty rahmatun.
beda itu keperluan
BalasHapussetuju?
Beda itu Indah!
HapusBagaimana pendapat anda tentang Ahmadiyah yang dianggap telah menghina Islam, seperti adanya fatwa MUI? Apakah umat Islam salah bila mengajak Ahmadiyah untuk kembali kepada Islam, bahkan dengan menggunakan kekerasan seperti di Cikuesik Banten?
BalasHapusgedabrus fil tulisan...
BalasHapusahahaha,...
sehat bloy..??
=D