Kabar duka itu menyeruak. Seorang
karib nun jauh di sana melayangkan pesan singkat padaku. Ia berkabar: Kiai Makhtum Hannan, pengasuh pondok pesantren
Masyariqul
Anwar, Babakan Ciwaringin, salah satu ulama Ahlul Halli
wal Aqdi (AHWA) Nahdlatul Ulama, musytasyar
PBNU, ulama sepuh Cirebon, telah berpulang ke pelukan-Nya tepat pukul 08:30 pagi hari tadi (21/01) di kediamannya yang syahdu. Satu lagi
manusia agung meninggalkan kita semua. Inna liLlahi wa inna ilayhi rajiun.
Seketika ingatanku membuhul.
Merangkai puzzle segala peristiwa
yang bersentuhan dengan seorang guru yang bersahabat, seorang bapak yang hangat,
dan ulama yang penuh marwah dan martabat. Sekira satu dasawarsa yang lalu aku
mengenal sesosok ulama kharismatik itu. Wajahnya arif. Perangainya abid. Kedalaman
pengetahuan agamanya begitu alim dan faqih.
Saat itu juga aku segera memasukkan beliau sebagai salah satu ulama
idola akhir zaman.
Aku lazim
memanggil beliau dengan sebutan Mama. Atau lebih tepatnya Mama Yai. Sebutan Mama
pada seorang Kiai untuk konteks Cirebon mungkin bisa disejajarkan dengan istilah
Romo dalam kultur pesantren Jawa Timur. Kendati dalam dimensi yang lain Mama
juga bisa diartikan sebagai Bapak. Aku memanggil beliau demikian atas
permintaan beliau sendiri. Ketika suatu waktu aku menyebut beliau “Romo Yai”,
sesegera beliau meralat. “Mama saja. Lebih enak didengarnya”.
Aku ingat
betul, dulu Mama bersama Ibu Nyai dan anak-anak kinasihnya kerap singgah ke
rumah. Aku kerap menyaksikan Mama bercengkrama dengan Bapak hingga larut malam.
Bahkan kerap kali hingga shubuh menjelang. Tak jelas apa yang sedang
dibicarakan oleh dua manusia yang kuagungkan itu. Tapi dari mimik dan gesturnya
tersirat terang, mereka berdua tengah khusyuk berjibaku dalam pembicaraan
serius. Saking seriusnya, tak jarang Mama sampai menginap berhari-hari ditemani
Ibu Nyai dan santri-santri ndalem-nya.
Yang
membuatku terenyuh sejak awal kali bersua Mama adalah cermin kerendah-hatian
yang memancar nyaris dari seluruh tindak-lakunya. Mama saat itu ibaratnya sudah
menjadi salah satu “punjer”nya tanah Cirebon. Tapi beliau tak segan tidur satu kamar
denganku di rumah belakang. Ketika bapak menawari agar beliau tidur di rumah
depan, beliau enggan. Padahal di rumah depan sudah dipersiapkan kamar khusus
untuk beliau ketika tengah singgah. “Pun
mboten napa-napa kula kalih Erul mawon”, begitu jawab beliau pada bapak.
Beliau
seperti tengah mengajarkan padaku dan santri-santrinya tentang makna tawadlu
bukan dari slogan maupun mimbar pengajian. Melainkan langsung dari ahwal dan seluruh tindakan. Begitu juga
dalam hal santap makanan. Seingatku beliau jarang sekali dahar di meja makan. Tapi lebih memilih lesehan bersamaku dan
santri-santri ndalem yang lain di gothakan belakang. Di tengah krisis dan
defisit ketawadluan yang kini menjadi gejala universal, tentu laku beliau yang
seperti itu merupakan hal yang luar biasa indahnya.
Satu hal
yang hinga kini menjadi cambuk keras dalam dadaku ketika aku berkesempatan ngalap berkah dan ilmu pada beliau. Tanpa
lelah, Mama senantiasa mengingatkanku pada satu kalimat ini: liyakun waladul asadi syiblan laa hirratan
(anak macan seharusnya jadi macan. Bukan kucing!). Seperti biasa, tiap beliau
mengutip itu, aku hanya sanggup menundukkan kepala sembari merapal ucap lirih dalam
dada: allahummaj’alny minhum. Karena
aku menanggap perkataan itu disamping sebagai tamparan keras juga sebagai doa.
Selanjutnya
adalah anjuran agar mengistiqamahi istighfar
dan shalawat. “Segala permasalahan
akan sirna ketika kamu sudah mengakrabi istighfar dan shalawat dalam tiap inci
kehidupanmu”. Begitu kira-kira dawuh
beliau mengingatkan. Saat bapak meninggal dunia dua tahun lalu, Mama
menambahkan satu wasiat lagi padaku. Wasiat itu berupa: agar jangan pernah abai
untuk menziarahi makam bapak. “Biasakanlah ketika pergi dan pulang untuk
sempatkan sejenak kirim fatihah di
pusara bapak”, tutur beliau. Senantiasa.
Tiga bulan
lalu, di tengah kepayahan yang sudah menggerogoti sekujur tubuh, aku sowan ke ndalem beliau. Meminta berkah dan restu
untuk kujadikan bekal mengarungi hidup yang baru. Dalam pertemuan nyaris dua jam itu, aku
mendapat jutaan hikmah yang keluar dari manusia hebat di depanku. Tak lupa, di
akhir pembicaraan beliau menengadahkan tangan bermunajat, aku menunduk
mengamini. Tak terasa, titik bening merayap di sekujur pelupuk mata. Karena
diam-diam, aku telah menganggap beliau sebagai ayah sejak bapak tiada.
Kini, 22
Rabi’u Tsany 1438 H bertepatan dengan 21 Januari 2017, Mama menyusul Bapak. Di tengah
limpahan nikmat kubur yang sudah rindu menyapa, dua karib itu akan segera
berjumpa. Sugeng tindak, Ma. Salam
buat Bapak.
Allahummaghfirlahuma, warhamhuma, wa afihima wa’fu
anhuma.
0 Response to " Selamat Jalan, Mama... "
Posting Komentar