(1)
“Dalam berdakwah, perbanyaklah
menggunakan medium cerita. Lantaran orang sekarang sulit menerima dalil.
Cukuplah dalil untuk kalangan atas (akademik) saja. Masyarakat umum cukup
memakai cerita”.
Penjelasan: jadilah pencerita yang baik.
Milikilah kemampuan story-telling
yang mumpuni. Sebab dengan bercerita tak akan ada kesan indoktrinasi maupun
menggurui. Komunikator (guru) maupun komunikan (murid) serasa sejajar, nyaman,
dan pesan sanggup tercerap secara lebih implisit tapi substansial.
(2)
“Jadilah santri jurnalis cum penulis. Artinya, santri yang
kemana-mana tak pernah alpa membawa sesobek kertas catatan dan sepucuk pena.
Sebab ilmu adalah buruan, dan catatan adalah tali pengikatnya yang paling kuat.
Bahkan, Sayyid Muhammad Alawy Al-Maliky berujar: senantiasa membawa kertas dan
pena dalam saku adalah sebuah keniscayaan bagi para santri”.
Penjelasan: seperti pepatah usang
berkata, ma hufidza farra wa ma kutiba
qarra (apa yang dihafal akan raib ditelan waktu
dan apa yang dicatat akan abadi dikenang zaman). Jadilah pencatat yang tekun
layaknya Imam Syafii yang mempunyai ribuan catatan berserakan dalam daun, batu,
dan kertas. Jadilah pencatat yang ulung layaknya Roland Barthes yang
meninggalkan ber-rak-rak catatan siap terbit pasca wafatnya. Jadilah pencatat
yang rajin seperti halnya Ahmad Wahib yang hingga kini Catatan Hariannya
menginspirasi ribuan kaum muda yang gelisah karena mencari. Karena serakan
catatan-catatan itulah nama mereka abadi di singgasana waktu dan semesta.
Mencatatlah
agar kalian dikenang. Tanpa catatan, kalian takkan menjadi apa-apa.
(3)
“Pendidik anak-anak usia belia
merupakan pendidik sejati yang sebenarnya. Artinya, pendidik dalam lini inilah
yang manfaatnya paling bisa dirasakan (ilmun
yuntafa’u bih). Bikinlah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) maupun Raudhatul
Athfal (RA/TK)”.
Penjelasan: di tengah binalnya hidup yang
memperkosa kita untuk senantiasa menurut pada sistem, ketulusan dan ketabahan
bukan lagi menjadi etika yang jumawa. Norma modernitas adalah prestise, karir,
kenaikan pangkat, pencitraan, dan sampah
menjijikkan lainnya. Norma ini juga berlaku dalam altar suci pendidikan.
Calon-calon
pendidik itu kini tengah mengantri di gedung-gedung perguruan tinggi bonavid
nan mewah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang menawarkan candu dan ilusi,
barangkali saja ada satu-dua kursi kusam yang bisa diduduki. Juga tak alpa,
menjajakan selembar ijazahnya di lembaga-lembaga pemerintah ad-hoc, siapa tahu laku untuk menjadi
bungkus kebijakan pemerintah yang bau dan basi.
Sebaliknya,
pendidik yang di pedalaman nuraninya bersemayam keindahan semesta, berpeluh
lelah dalam surau pojok kampung yang nyaris roboh, sembari ditemani anak-anak
yang kakinya penuh dengan lumpur sawah, mengumandangkan makna firman-firman-Nya
yang agung dalam syair, nadlam, macapat, maupun kidung.
Atau
bisa juga mereka berada di gubuk reot di belakang terminal, memberi penyuluhan
pada anak-anak hasil kebengisan zaman, tentang makna suci pendidikan. Juga tak
jarang pendidik sejati kita temukan di paguyuban-paguyuban luar biasa, yang
dengan segenap welas-asihnya menuntun anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) agar
mereka juga kelak layak mendapat perlakuan yang sama di mata dunia.
Dawuh
Romo Yai kali ini merupakan tamparan keras untuk para pendidik(an) yang di
otaknnya masih bersemayam kredo: pendidikan juga merupakan lahan basah
mendulang rupiah, karir, citra, dan wanita.
(4)
“Aku ini suka syair (penyair).
Semestinya para santri (secuil maupun banyak) juga demikian”.
Penjelasan: syair, sajak, puisi, kidung,
macapat, serat, pupuh, atau apapun namanya, merupakan karya sastra yang amat
dekat dengan kondisi religiositas manusia. Gelanggang seni-budaya, atau sastra
secara khusus, dianggap sebagai medium paling mujarab dalam mengartikulasikan
agama di tengah kondisi masyarakat yang heterogen dan plural. Sifatnya yang
estetis, intuitif, substansial, dan membumi,
membuat sastra memiliki tempat tersendiri di hati khalayak ramai.
Dulu
di jazirah Arabia, bahkan secara berkala diselenggarakan pentas pembacaan puisi
secara massif dan kolosal. Saking dekatnya penduduk Arabia dengan sastra,
sampai Tuhan membuat surat khusus tentang para penyair (as-Syu’aro). Singkatnya, penyair menempati posisi tersendiri di
dalam al-Qur’an. Bukankah, Al-Qur’an sendiri tak lain merupakan deretan puisi
indah yang rimanya tertib dan bergema? InnaLlaha
al jamil, wa yuhib al jamal. Tuhan itu Indah dan amat mencintai keindahan.
Di
tatar Nusantara kita mengenal Kanjeng Sunan Kalijaga, salah satu punggawa Wali
Sanga yang rajin memadukan agama dengan budaya. Syairnya yang berjudul
Ilir-Ilir bahkan hingga kini kerap menyapa kita lewat pujian anak-anak kecil di
masjid maupun surau. Siapa juga tak mengenal pujangga agung Keraton Surakarta
Hadiningrat Ronggowarsito (Raden Mas Bagus Burhan)? Santri Kyai Hasan Besari
Ponorogo ini menghasilkan karya-karya sastra yang hingga kini selaras dengan
nafas zaman. Sebut saja: Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kala Tida, Zaman Edan,
Satrio Piningit dan Ratu Adil.
Di
Pesantren sebenarnya begitu akrab dengan dunia sastra. Ini ditengarai dengan
banyaknya disiplin ilmu yang bersinggungan dengan tata bahasa dan sastra. Misal
Nahwu, Sharaf, Balaghoh, Arudl, dll. Sayangnya, seperti pernah disinggung KH.
Mustofa Bisri, kaum sarungan yang menguasai disiplin itu mayoritas memakainya
melulu “hanya” untuk membaca dan menghayati keindahan kitab, bukan untuk
memproduksi karya sastra secara serius dan berkelanjutan. Padahal Imam Syafi’i
sendiri pernah membuat antologi puisi berjudul Diewan asy-Syaf’i.
Tidak
bisa tidak, untuk menjadi penyiar kita harus lebih dulu menjadi penyair.
Karenanya, mari kita mulai kembali mengakrabi puisi. Sebab bukankah hidup tak
melulu membutuhkan nasi, hidup juga butuh puisi? Untuk itu, mungkin kita bisa
memulainya dengan mendaras dengan sungguh-sungguh gubahan syair-syiar Romo Yai.
(5)
“Ketika di tengah masyarakat,
tampilkanlah wajah Fiqh (hukum Islam) yang luwes, ramah, dan indah. Jangan
ketengahkan Fiqh yang kaku, sangar, dan berdarah-darah. Sebab kalau Fiqh
diterapkan secara tekstual, masyarakat akan lari terpental-pental”.
Penjelasan: bagaimanapun Fiqh adalah
sebuah fundamen paling krusial dari hidup keberagamaan umat Islam. Fiqh
merupakan hulu yang musti dilalui sebelum seseorang hendak mengarungi tengah
dan hilir (thariqat dan haqiqat). Karena sifatnya yang amat
mendasar dan langsung bersentuhan dengan masyarakat, Fiqh semestinya mampu
bersifat fleksibel dan akomodatif terhadap pluralitas kasus yang terjadi secara
simultan dan aktual. Sebab setiap ruang lingkup geografis maupun kultural,
mempunyai problema dan kekhasannya sendiri-sendiri.
Romo
Yai mencontohkan dua kasus yang menarik. Pertama kasus Kyai Abdul Jalil Gondang
Legi dan pamanda Romo Yai Badrul Munir, juga dari daerah yang sama. Kyai Abdul
Jalil “menjama” niat zakat fitrah untuk 60 orang sekaligus. Padahal beras yang
digunakan hanya cukup untuk menggugurkan kewajiban satu zakat fitrah. Ini
dilakukan, gumamnya, semata agar kewajiban zakat fitrah gugur di tengah
masyarakat Gondang Legi yang kondisinya sangat minus-kesejahteraan ekonomi.
“Dasar Bani Israil! Iki Gondang Legi, Mal”, tukas Kyai Abdul Jalil ketika Abah
menanyakan kejanggalannya.
Romo
Yai Badrul Munir juga tak kalah “nyleneh”. Demi terpenuhinya syarat khutbah
Jumat harus sudah ada jamaah 40 orang, beliau merekomendasikan pada masyarakat
agar sholat Qobliyah Jumat dilakukan secara berjamaah. Dan kiat ini mujarab.
Padahal sebelumnya sulit sekali mengumpulkan 40 orang di waktu dhuhur mengingat
rerata masyarakat Gondang Legi berprofesi sebagai petani.
Tak
hanya Qobliyah Jumat secara berjamaah, Romo Yai Badrul Munir juga setiap
Ramadlan tiba hanya menyelenggarakan tarawih 8 rokaat bersama masyarakat. “Seng oleh tithik yo tithik, seng akeh yo
akeh”, begitu komentar Romo Yai Badrul Munir ketika Abah bertanya.
Praktik
Fiqh yang diamalkan oleh dua maestro di atas, bagi sebagian orang, tentu
merupakan model Fiqh yang ganjil dan tak lazim. Utamanya bagi mereka yang
menyematkan dirinya sebagai pemeluk teguh syariat. Namun, bagi ulama bijak
bestari, isi lebih penting ketimbang bungkus. Substansi tentu jauh lebih
krusial ketimbang sederet teori. Maka yang dilahirkan oleh ulama-ulama arif itu
adalah produk-produk Fiqh yang luwes, toleran, dan selaras dengan konteks zaman
yang melingkupinya.
Ini
mengingatkan kita pada dawuh Almaghfurlah Romo Yai Sahal Mahfudh, Kajen, Pati,
dalam kitab magnum opusnya: Nuansa Fiqh Sosial. Beliau dawuh: “Teks Al-Qur’an
maupun hadits sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang
dengan berbagai masalahnya (hlm. xxv)”. Oleh sebab itu, “kita melihat suatu
kebutuhan akan pergeseran paradigma fiqh; yaitu pergeseran dari fiqh yang
formalistik menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan
dengan mengintegrasikan hikmah ke dalam illat hukum (hlm. xiix)”.
Dengan
kata lain: untuk diri sendiri pakailah paradigma Fiqh yang se-ikhtiyath (sehati-hati) mungkin. Tapi
untuk masyarakat, gunakanlah paradigma Fiqh yang seluwes mungkin. Bila perlu
pendapat (qawl) dla’if pun dipakai
agar masyarakat tak alergi terhadap Fiqh. Ini selaras dengan apa yang pernah
diutarakan oleh Romo KH. M. Anwar Mansyur pada acara Muhafadloh Akhir Sanah PP.
Lirboyo tahun 1991.
Beliau
berujar: “saat ini dibutuhkan calon-calon ulama yang mengerti Fiqh secara luas,
untuk itu jangan berhenti belajar sebelum mengaji kitab-kitab besar seperti Mahalli dan sebagainya. Sebab kalau kita
menguasai kitab-kitab kecil saja kita akan terlalu keras terhadap masyarakat.
Bila perlu pendapat-pendapat dla’if pun, jika memang dibutuhkan, kita sampaikan
ke masyarakat agar mereka tak lari dari kita” (Fiqh Alternatif, hlm. xi).
Nah!
Aku meyakini dawuh beliau dan panjenengan, mas.
BalasHapus