Malam sudah begitu pekat dan larut
ketika kendaraan yang kutumpangi menapakkan jejaknya di bumi Lasem, Rembang,
Jawa Tengah. Setelah badan terguncang hebat dari mulai Babat Lamongan, lelah
itu terbayar sudah. Seketika itu aku berkesiap. Mendadak, ingatanku memanggil
Sayyid Abdurrahman (Mbah Sambu), Mbah Ma’shum Ahmad, Mbah Baidlowi, Mbah
Kholil, Mbah Masduqi, Mbah Hamid Pasuruan, Mbah Ali Ma’shum, dan banyak lagi
ulama-awliya lainnya.
Pandanganku mengitari sekeliling:
hening. Hanya ada deretan bangunan-bangunan angkuh nan kekar bercitarasa
arsitektur Tionghoa dan pesantren-pesantren tua yang sudah mulai rapuh
menghadapi derasnya arus zaman yang kian brengsek. Selebihnya hanya deretan
rumah kusam para penduduk di bibir pesisir ini. Tak lama, pandanganku tertumbuk
pada plang papan nama yang sudah mulai mengelupas catnya: ponpes Al-Hidayat
Lasem.
(Plang Pesantren yang Sangat Sederhana) |
Pesantren legendaris inilah yang
menjadi tujuan petualanganku kali ini. Inilah pesantren kecil yang telah
melahirkan orang-orang besar yang tak terhitung jumlahnya. Nama-nama agung ini
bisa kita eja dari mulai: Mbah Kholil Lasem (kakek Gus Qayyum), Mbah Baidlowi
Lasem, Mbah Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Mbah Machrus Aly (Lirboyo
Kediri), Mbah Hamid (Pasuruan), KH. Abdullah Faqih (Langitan), Mbah Chudlori
(Magelang), Mbah Mushlih (Mranggen), etc.
Mbah Ma’shum Ahmad (1870-1972)
sebagai pendiri, tak pelak lagi, adalah syekh
al-masyayikh (ulamanya para ulama) yang tak terbantahkan. Nubuat ini sudah
terbaca ketika dulu Mbah Kholil Bangkalan berkata pada santrinya: “Tolong
buatkan aku kurungan ayam jago, sebab besok akan datang seorang pemuda bernama
Muhammadun (nama Mbah Ma’shum ketika muda) dari tanah Jawa. Ketika Mbah Ma’shum
muda baru saja datang di tanah Bangkalan, beliau dengan penuh pasrah langsung
masuk dan berjongkok di dalam kurungan tersebut. Mbah Kholil pun berkata di
hadapan para santrinya: inilah jago tanah Jawa yang kumaksud tempo hari, yang
kelak akan menjadi Jagoan Tanah Jawa”.
Setelah sedikit ber-soliloqui, seorang santri datang menghampiriku.
Menanyakan asal-usul dan keperluanku. Sembari mempersilakanku istirah, ia
bilang: Mbah Nyai Azizah (puteri kinasih Mbah Ma’shum yang masih sugeng/hidup) mau tindak (berangkat) ke Semarang jam dua dinihari nanti. Tapi ia akan
menghubungi Lurah Pondok untuk menyambungkanku ke Mbah Nyai barangkali beliau berkehendak
disowani sebelum berangkat ke Semarang. Aku sumringah. Merapal doa. Menggurat
asa. Semoga kedatanganku tak sia-sia.
Gusti Allah mboten sare.
Seseorang tinggi kurus dengan wajah tampan menghampiriku. Ia begitu santun dan
teduh. Dari irama pembicaraannya, ia jelas bukan santri kemarin sore. Ia fasih
berbicara dalam logat kromo yang sangat fushah.
Ia menjelaskan sejarah Lasem dan pesantren al-Hidayat berikut manusia-manusia
agung di dalamnya. Itulah untuk awal kalinya aku jumpa dengan Lurah Pondok yang
begitu luar biasa: Mas Hanif.
Dan kelak, ia-lah yang menjadi sahabat terbaik dalam mengajariku untuk
mencintai Lasem. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya.
Berkat kebaikan Mas Hanif pula
akhirnya aku diperbolehkan sowan ke ndalem
sebelum Mbah Nyai Azizah tindak. Subhanallah,
siapapun yang memandang Mbah Nyai pertama kali pasti ia akan takjub dan
terkesiap. Di umurnya yang sudah menginjak kepala sembilan, beliau masih segar
bugar dengan wajah yang begitu cerah. Tutur katanya mencerminkan kedalaman ilmu
yang bak sagara. Tatapan matanya membuat siapapun yang ada di depannya tunduk
seketika karena rasa segan yang tak terkira. Berhadapan dengan beliau seolah
tengah menghadapi secara langsung Mbah Ma’shum Ahmad, ayahanda tercintanya.
Tapi, semua kebekuan itu sirna
ketika mengetahui lebih dalam tentang Mbah Nyai. Dengan ketelatenan seorang Ibu
yang sudah lama tak jumpa dengan anaknya, seperti itulah Mbah Nyai
memperlakukanku. Beliau sangat teliti terhadap semua detail: dari mulai tempat
tidur untukku sampai menyiapkan cemilan untuk aku bawa menemani hari-hari ke
depan di pesantren al-Hidayat. Aku yakin perlakuan serupa juga beliau lakukan
pada semua tamu yang singgah demi mengunduh berkah di ndalemnya. Belakangan
benih-benih cintaku pada Lasem mulai merekah-sumringah seiring aku memahami
betapa agungnya laku Mbah Nyai Azizah.
Di pertemuan kedua dengan beliau,
aku diajarinya membaca surah al-Fatihah dengan benar (beliau adalah penghafal
al-Qur’an yang aktif mengajar dan mengimami shalat hingga kini), memberiku
amalan-amalan yang pernah diijazahkan ayahandanya, memberikanku
berlembar-lembar kertas untuk mencatat, bahkan memberiku kitab karya beliau dan
kopiah putih sebagai kenang-kenangan. Lebih dari itu, satu hal yang membuat
dadaku sesak, adalah momen ketika beliau mengakuiku sebagai santrinya. Air
lamat-lamat merambat di pelupuk mata.
Aku ingat betul ketika beliau
berpesan. “Ada ijazah amaliyyah yang Mbah (Ma’shum) berikan langsung kepada
saya. Pertama, lakukanlah silaturahmi
secara istiqomah pada siapapun. Bahkan pada orang yang membenci dan memusuhimu.
Shil man qhata’ak, sabda Nabi. Kedua, tak perlu tirakat aneh-aneh jika
itu justru mengganggu kewajiban yang lebih penting. Ketiga, ikrom ad-dloif.
Muliakanlah tamu sebaik mungkin sebagaimana kita memuliakan diri sendiri dan
keluarga. Keempat, jadilah orang yang
tak sekadar juud (dermawan), tapi juga
sakhi (welas asih/compassion). Utamanya pada para faqir
dan miskin. Kelima, tradisikanlah
melakukan sholat di waktu awal.”
Beliau tak sakadar berpetuah. Selama
dua hari di sini, aku benar-benar menyaksikan semua petuah ijazah itu
dilakukannya dengan riang gembira. Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu
hobi Mbah Nyai adalah staminanya yang sangat tangguh dalam bersilaturahmi.
Supir pribadi dan santri ajudannya malah kadang mengaku kelelahan mengikuti
ritme silaturahmi Mbah Nyai yang sangat di luar kelaziman manusia seumurannya.
Mengenai hobi yang satu ini, puteri terkasihnya, Ibu Nyai Maria Ulfa, sampai
kerap memperingati Mbah Nyai agar tensi silaturahminya sedikit dikurangi demi
kesehatan. Tapi Mbah Nyai seolah tak menghiraukan ajakan puterinya tersebut.
Dalam hal olah spiritual (tirakat),
Mbah Nyai tak menampakkan laku tirakat yang aneh-aneh. Hampir semua santri pesantren
al-Hidayat tahu bahwa salah satu resep Mbah Nyai tetap segar bugar di usianya
yang kian merangkak senja adalah pola makan beliau setiap harinya yang sangat
sederhana: nasi putih dengan lauk tempe pindang.
Tempe pindang adalah tempe mentah
yang diberi air campuran garam dan cabai. Hanya itu. Tidak kurang tidak lebih.
Hal-ihwal di luar tempe pindang, hanya beliau lirik sesekali di kala tamu
menghidangkan menu selain makanan favorit Mbah Nyai itu. Itupun niatnya semata idkhal as-surur (membahagiakan) terhadap
tuan rumah.
Mengenai pesan ketiga aku
mengalaminya sendiri. Tamu, siapapun dia darimanapun asalnya apapun latar
belakangnya, beliau sambut dan layani dengan hangat, ramah dan telaten. Nyaris
mirip seorang Ibu yang tengah sabar meladeni keinginan balita kinasihnya. Dari
mulai menyuguhkan air, mengidangkan aneka cemilan, memberi sarapan dan makanan
sore, hingga menyiapkan tempat tidur yang nyaman. Aku melihat dengan mata
kepala, beliau sempat memarahi salah satu pengurus lantaran abai memberi makan
pada tamu.
Ihwal as-Sakho (welas asih) pun demikian. Setiap ada pengemis yang
singgah ke ndalem beliau, beliau
senantiasa sibuk mengemasi pelbagai macam aneka makanan, uang, dan pakaian.
Sembari memberikan itu semua, beliau berpesan: “jangan lupa, besok datang ke
sini lagi ya?”. Para tetanggapun merasakan hal yang sama. Secara berkala Mbah
Nyai keliling ke para tetangganya membawa beras dan banyak makanan. Beliau tak
menyuruh santri untuk melakukan itu, melainkan beliau lakukan sendiri. Biasanya
dengan tukang becak yang ditugaskan untuk mengantarnya.
Pesan terakhir, itu aku buktikan
ketika aku baru datang di Lasem. Sekitar pukul 01 dinihari, di ndalem depan aku mendengar ada kecipak
air seperti orang sedang mandi. Akupun bertanya pada salah satu pengurus ndalem: siapa yang tengah mandi di
dinihari yang sangat dingin menyengat seperti ini? Pengurus yang sudah mesantren
13 tahun itu menjawab: itu Mbah Nyai.
Ia melanjutkan, “Selama aku di sini,
aku perhatikan ritme keseharian Mbah Nyai adalah: pukul 01 dinihari mandi,
setelah itu shalat sunnah di ruang tamu depan, lalu berdzikir hingga fajar,
shubuh ngimami di pondok puteri, lalu ngajar Al-Qur’an (baik tahfidz maupun bi
nadhar), waktu dluha digunakannya untuk menemui tamu, dhuhur berjamaah, rehat,
ashar berjamaah, mengajar, menulis, maghrib berjamaah, isya berjamaah, pukul
21:00 tidur. Jam satu bangun lagi. Seperti itu terus selama 13 tahun aku mesantren
di sini”, kata sang pengurus ndalem
yang setia itu.
Hal-hal demikian tentu tak lepas
dari ketelatenan Mbah Ma’shum dulu dalam mendidik anak-anak dan santrinya.
Ketika usia Mbah Ma’shum (Allah yarhamuh)
sudah sangat sepuh dan sakit parah terus menggerogotinya, setiap tengah malam
beliau tetap istiqamah melakukan
shalat tahajud berjamaah dengan para santri. Itu beliau lakukan sambil menutup
mulutnya dengan sapu tangan, lantaran air keluar terus menerus tanpa henti.
Begitu juga ketika beliau sudah tak mampu lagi berjalan, beliau meminta para
santrinya menggendong demi memerisa kegiatan para santri pesantren al-Hidayat.
Bahkan ketika raga sudah tak lagi dapat bergerak maksimal, beliau tetap minta
untuk diantarkan shalat Jumat, kendati hanya dengan berbaring terlentang di
dalam mobil yang diparkir di halaman masjid.
Dari sini aku jadi setitik mafhum
alasan mengapa dulu almarhum Bapak kerap menitikkan air mata setiap mengenang
guru tercintanya, Mbah Ma’shum, di pengajian Rabu pagi itu.
===
Selanjutnya: Bapak dan Lasem
Bersambung…
0 Response to " Kesengsem Lasem "
Posting Komentar