(Gus Mus) |
Catatan:
Pada
bulan April tahun 2016 saya merasa beruntung bisa mengikuti acara bedah buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi
Pesantren di pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur (26/04). Bedah buku tersebut
merupakan rangkaian acara memperingati Satu
Abad Madrasah di pesantren tersebut.
Yang menarik adalah para pembedahnya bukan orang-orang sembarangan. Mereka
merupakan figur-figur otoritatif yang sangat dihormati di kalangan pesantren
lantaran kedalaman ilmu dan kharismanya.
Mereka
antara lain KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Rembang Jawa Tengah dan KH. Husein
Muhammad dari Cirebon Jawa Barat. Gus Mus, kita tahu, adalah kiai kharismatik,
budayawan senior, sastrawan produktif, mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (ormas agama terbesar seantero Indonesia), pengasuh pondok pesantren Raudlat at-Thalibin Rembang, dan sederet
keutamaan lainnya. Kiai Husein adalah kiai pejuang hak-hak perempuan, pendiri
Fahmina Institute Cirebon, mantan komisioner Komnas Perempuan dan pengasuh
pondok pesantren Dar at-Tauhid
Arjawinangun Cirebon.
Benar saja, acara yang dimulai pukul 09 pagi tersebut
disemuti oleh pengunjung. Pelbagai kalangan tanpa melihat latar belakang sosial
secara serempak berdatangan. Dari kiai hingga santri, dari pejabat hingga
rakyat. Saking padatnya, bahkan kapasitas Aula Pesantren tak sanggup menampung
luberan peserta yang sangat antusias hendak berpartisipasi dalam acara
tersebut. Saya beruntung karena bisa menyelinap hingga ke deret kursi nomor
tiga dari depan. Secara otomatis saya dengan leluasa bisa mencatat poin-poin
penting dari semua uraian pembedah yang hadir.
Khusus untuk uraian Gus Mus saya rangkum menjadi tulisan
“Sebelas Rumus Gus Mus”. Keesokan harinya (27/04), demi semangat hendak
berbagi, saya posting rangkuman tersebut ke facebook. Ibarat salju
menggelinding, postingan tersebut terus menyebar ke pelbagai tempat
antah-berantah. Tak tanggung-tanggung, 986 orang telah membagikannya. Dan, ini
yang repot, saya mendadak diserbu ribuan permintaan pertemanan. Jika tak salah,
dalam satu hari saja jumlahnya nyaris 2500 permintaan pertemanan. Tentu tak
semuanya saya konfirmasi. Pertanyaan yang justru mengganjal adalah: sedahsyat
itukah magnet sesosok Gus Mus?
Berikut ini adalah rangkuman uraian Gus Mus.
2) hlasan
kiai-kiai tempo dulu. Sekarang:
di mana ada kiai mandiri?
3)
Kiai
dulu kalau tidak butuh apa-apa, namanya kaya. Kiai sekarang?
4)
Mewacanakan
konsep zuhud (asketis)
untuk konteks masyarakat
Indonesia yang tengah begitu konsumtif dan hedon adalah laku ekstrem. Kita
harus berangkat dari konsep “kecil” berupa: kesederhanaan. Sebab kesederhanaan
akan melahirkan kekayaan dari dalam, bukan kekayaan dari luar.
5) Yang
hilang dari para mubaligh, pendidik dan da’i sekarang adalah ruh ad-da’wah (ruh dakwah) yang sejuk dan menyegarkan.
Ruh dakwah yang ditebarkan oleh Nabi, Walisanga, ulama-ulama salaf, terkikis
oleh perangai dakwah yang mengancam dan menakutkan. Model dakwah seperti ini
tidak mengajak, tapi malah mendepak. Padahal, “aku diutus untuk mengajak, bukan
untuk melaknat”, ujar salah satu hadits Nabi.
6) Ada
perbedaan tajam antara makna dakwah (ajakan) dan amar (perintah).
Tapi kini kedua term itu dicampur-adukkan maknanya hingga menghasilkan konsep
yang rancu.
7) Kebanyakan
kiai dulu tidak mengenal apa itu Nasionalisme produk Barat. Kesadaran mereka
dari awal: Indonesia ini rumah kita, maka harus kita jaga dan tidak boleh
dijajah atau dirusak. Sebab itu, santri yang tak mencintai negerinya akan
kualat oleh tuah Mbah Wahab, Mbah Hasyim Asyari, dan kiai-kiai lain yang
menyimpan Indonesia dalam urat nadinya.
8) Satu
di antara penyakit orang Indonesia adalah: kepentingan dulu dikedepankan,
masalah dalil baru dicari belakangan.
9) Salah
satu ciri khas pesantren adalah tanggung jawab ilmiah ila yawmil qiyamah (hingga Hari Akhir).
10) Dalam mendidik, metode cerita/dongeng
ditengarai masih sangat efektif. Karena cerita tidak mengancam. Tapi begitu
meresap.
11) Untuk mendidik anak, seorang Ibu punya
modal terbesar: kasih sayang. Elusan telapak tangan Ibu tak bisa diganti oleh
seribu elusan tangan baby sitter.
Tambakberas, 26 April 2016
Sederhana sebenarnya. Tapi karena uraian itu menyinggung
figur-figur penting dalam tradisi pesantren, maka sontak menjadi kehebohan. Tak
kurang, saking massifnya kegiatan “share” posting itu, malamnya Gus Mus musti
turun tangan untuk meluruskan beberapa poin/rumus.
Berikut posting facebook saya menanggapi ralat dari Gus
Mus.
Ralat, Cinta, dan Kejujuran Ilmiah
Masyarakat
fisbuk yang aku cintai, tadi pagi aku mengunggah petuah-petuah Gus Mus dalam acara bedah buku
memperingati 1 Abad Madrasah di ponpes Tambakberas, Jombang (26/04). Petuah-petuah itu aku rangkum ke dalam
“Sebelas Rumus Gus Mus”.
Rangkuman
itu aku buat semata karena kecintaanku pada Ulama (di tengah hidup yang banal
dan artifisial ini, kepada siapa lagi kita hendak mencinta?). Aku tak menyangka
status rangkuman itu bak bola salju yang menggelinding.Tapi
aku bersyukur, karena pada akhirnya status itu berlabuh ke dermaga sang Empunya
status: Almukarram Romo KH. A. Mustofa Bisri.
Aku
bahagia sekali ketika Gus Mus dalam komentarnya meralat dua rumus –dari jumlah
keseluruhan sebelas rumus— yang aku tulis. Aku anggap ralat (tashih) ini sebagai bentuk kecintaan
dan pengamalan beliau pada rumus nomor 9 bahwa: salah satu tradisi pesantren
adalah pertanggung jawaban ilmiah ila yawmil qiyamah. Ralat itu demikian
bunyinya,
((
Koreksi/ralat dari yang bersangkutan:
:: 'Rumus' nomer 1, tertangkap dan tertulis: "Tapi kiainya nganggur."
Yang benar: "Tapi banyak kiainya yang nganggur."
:: 'Rumus' nomer 1, tertangkap dan tertulis: "Tapi kiainya nganggur."
Yang benar: "Tapi banyak kiainya yang nganggur."
::
nomer 7, tertangkap dan ditulis "Nasionalisme itu bukan produk
Barat..."
Yang benar; "Kebanyakan kiai dulu tidak mengenal apa itu Nasionalisme produk Barat. Kesadaran mereka dari awal: Indonesia ini rumah kita, maka harus kita jaga dan tidak boleh dijajah atau dirusak))
Yang benar; "Kebanyakan kiai dulu tidak mengenal apa itu Nasionalisme produk Barat. Kesadaran mereka dari awal: Indonesia ini rumah kita, maka harus kita jaga dan tidak boleh dijajah atau dirusak))
Oleh
karena itu, sebagai santri yang begitu merindukan ridlo kiai, secara pribadi dan dari
hati terdalam kulo nyuwun agunge pangampunten dumateng Almukarram KH. A.
Mustofa Bisri a.k.a. Gus Mus. Semoga panjenenganipun tak pernah jemu untuk
mencerahkan kita. Dan pada Anda semua, saya haturkan sejuta maaf. Kebenaran
hanya milik Allah semata. Dan kesalahan hanya milikku.
Demikian
pemberitahuan dariku. Semoga Anda semua senantiasa bahagia dan bersahaja.
***
Saya
posting kembali ke blog semata karena semangat berbagi. Blog tentu tak sebising
facebook. Blog lebih sunyi dan hening. Saya berharap dari keheningan yang
dimiliki blog, siapapun yang merasa tersentil dari rangkuman tersebut, bisa
kembali mencerna maknanya dengan lebih jernih dan matang. Semoga.
Apoligia
pro libro suo.
Gus Mus adalah kyai yang teduh dan amat bisa mengayomi umat.
BalasHapusYup, beliau tak sekadar Ulama. Tapi juga Guru Bangsa.
Hapus