1 Agustus 2015. Pagi itu
Jombang begitu sumringah. Hajatan intelektual digelar dimana-mana.
Pesantren-pesantren seperti Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, dan Rejoso
seperti berlomba-lomba mengadakan sarasehan dan seminar demi menyambut helatan
agung Nahdlatul Ulama (NU) yang terpusat di alun-alun. Masyarakat juga tak
ketinggalan berbagi peran. Banyak warga yang menyulap rumahnya menjadi
kontrakan mendadak. Juga tak sedikit petani, santri, ustadz, yang mencoba
peruntungan dengan cara berdagang. Bertahun-tahun ngopi di Jombang, baru kali
itu aku melihat kota santri sedemikian semarak dan hidup.
Di antara limpahan
kegiatan yang berkualitas tersebut, ada satu yang menarik perhatian kala itu:
bedah kitab an-Nushush al-Islamiyah fi
ar-Rad ala Madzhab al-Wahabiyyah besutan Syaikh Muhammad Faqih bin Abdul
Jabbar al Muskumambani, Sedayu-Gresik atau lazim disebut Mbah Faqih
Maskumambang. Beliau merupakan salah satu figur penting di balik
malang-melintangnya sejarah NU di panggung Nusantara. Tentu masih hangat
ingatan di benak para santri betapa dulu kiai yang satu ini pernah
berseteru-paham dengan Hadlratussyaikh Hasyim Asyari dalam menyikapi
bedug/kentongan. Bayangkan seorang Rais Akbar dan Wakil Rais Akbar bisa
berperang pendapat tanpa harus mengurangi rasa canda dan hormat. Ini saya kira
salah satu khasanah NU yang patut dijaga senantiasa.
Bedah kitab itu kian
mencuri perhatian lantaran konon naskah an-Nushush
telah lama terpendam dimakan rayap Sedayu 93 tahun lamanya. Saya tak tahu benar
atau tidaknya fakta itu. Yang jelas, kitab Nushush
sempat menjadi bahasan hangat nyaris di seluruh sela-sela warung kopi yang
bertebaran di Jombang kala muktamar. Apalagi bedah kitab itu ditambah dengan
diskusi buku Islam Nusantara-nya gurutta Ahmad
Baso. Seorang master dan ideolog Aswaja terkemuka di Indonesia yang hingga kini
masih sulit dicari tandingannya. Maka,
dengan megucap basmalah, saya memutuskan memilih berangkat ke pesantren
al-Aziziyah Denanyar demi mengikuti bedah kitab & buku tersebut.
Seingat saya, tak banyak
yang hadir saat itu. Sekira 30-an orang saja. Kendati demikian, ini tak
mengurangi gayengnya jalanan diskusi dan bedah buku. Ini tentu dikarenakan
pembedah yang hadir bukan orang-orang sembarangan. KH. Aziz Masyhuri selaku pe-nahqiq kitab Nushus, Kiai Ahmad Baso (penulis Islam Nusantara), dan Kiai Martin
van Bruinessen (pembanding). Tak banyak yang saya ingat dari uraian Pak Ahmad
Baso –mungkin lantaran saking banyaknya. J Begitu juga dengan Pak Martin. Hanya ini
yang saya ingat dari profesor Utrecht itu: “Islam Nusantara itu ziarah kubur”.
Bagaimana dengan kiai
kharismatik Romo Kiai Aziz Masyhuri? Ketika menerangkan, beliau tidak
meledak-ledak layaknya seorang ideolog. Juga tak banyak unsur humor yang kadang
melupakan inti bahasan. Beliau begitu moderat, bahkan ketika menjadi pembicara
sekalipun. Santai, terarah, kronologis, dan tepat bidikan. Beliau bukan tipikal
pembicara yang memiliki pretensi hendak “mengintimidasi” audiensnya. Sesekali
beliau menerawang jauh ke depan tanda keprihatinan yang begitu mendalam.
Di antara sekian uraian Kiai
Aziz yang juga tertera dalam pengantar buku perlu saya kutip. “Salah satu
penyebab membeludaknya arus pemikiran takfiri
tak lain adalah karena tertidurnya sebagian ulama kita dalam mengadvokasi
masyarakat dengan menanamkan spirit Aswaja secara berkesinambungan. Kelalaian
ini menyebabkan para ulama itu tidak mengetahui persoalan apa sesungguhnya yang
tengah terjadi di tengah masyarakat dewasa ini. Sehingga mereka sama sekali
tidak melakukan pembelaan terhadap para pengikut madzhab empat yang diremehkan,
dicacimaki secara beringas, diancam akan dibunuh, apabila tidak segera
bertaubat dari mengikuti madzhab empat. Bahkan dihina dengan sebutan khimar (keledai) dan kata-kata lain yang
amat tidak pantas diucapkan oleh seorang yang mengaku beragam Islam.
Tragisnya ada sebagian
ulama Aswaja yang sengaja berpura-pura tidak tahu mengenai semua persoalan ini,
seakan-akan mereka tidak mau ambil pusing dengan apa yang tengah menimpa umat saat
ini. Mereka ini lebih cenderung bersikap apatis dan hanya ingin mencari selamat
sendiri, tidak mau ribut dan cape dalam membela umat, serta agar supaya
kebutuhan pokok (materi) mereka tidak terganggu. Sungguh sikap-sikap semacam
ini menimbulkan keheranan yang luar biasa di kalangan para pendukung akidah
Aswaja an-Nahdliyah yang secara tulus lahir-batin memperjuangkan umat tanpa
pamrih” (Menolak Wahabi, 2015:xx-xxi).
Itulah kira-kira yang
beliau ujar dan tuliskan saat itu dengan mata nanar dan bibir bergetar. Kiai
Aziz Masyhuri mengkritik sikap pasif sebagain ulama NU yang bergeming terhadap
arus deras wahabisme dan –pada akhirnya- radikalisme. Pengabaian ini menurut
Kiai Aziz patut disayangkan jika melihat fenomena bangkitnya puritanisme agama
di segala penjuru Bumi Pertiwi yang sanggup mengoyak tenun kebangsaan menjadi
terurai tak tentu arah. Lebih dari itu, gejala sedemikian juga berpotensi besar
dalam merongrong kedaulatan akidah an-Nahdliyyah yang telah lama dipegang teguh
ulama-ulama Nusantara.
Mungkin Kiai Aziz
terinspirasi terhadap sosok Mbah Yai Faqih Maskumambang yang sepanjang hidupnya
dengan lantang membabat paham-paham celana cingkrang. Dalam kitab Nushush misalnya, Mbah Faqih tanpa
tedeng aling-aling membabat pemikiran para ulama Wahabi dengan
statemen-statemen yang keras dan tegas seperti “kebodohan”, penyimpangan, dan
lain-lain (Nushus, 2015: 20). Untuk
perjuangannya itu, Mbah Yai Faqih harus membayar pahit: makam di mana beliau
disemayamkan begitu tak tersentuh dan dikerubuti ilalang. Ironis sekali, bukan?
Tapi itulah perjuangan.
Kiai Aziz memang tidak
“se-ekstrem” Mbah Yai Faqih dalam melawan paham-paham radikal. Tapi keduanya
memiliki irisan yang sama. Yaitu: kegigihan dalam mendokumentasi dan menulis
data-data penting sejarah pemikiran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di
sela-sela kemasygulannya mengasuh para santri, Kiai Aziz tak pernah lupa tugas
sejarah untuk senantiasa menulis dan mendokumentasikannya dengan baik. Beliau
dengan telaten menenun ide-ide para ulama salaf
as-shaleh dan menjahitnya kembali untuk dikonsumsi generasi muda
nahdliyyin. Tak kurang dari 95 judul buku berbahasa Indonesia, 26 buku berbahasa
Arab, 7 buku terjemahan bahasa Jawa (makna gandul) dan buku-buku lainnya telah
lahir dari ketekunan menantu salah satu pendiri Nahdlatul Ulama ini: KH. Bisri
Syansuri (kakek Gus Dur dari jalur Ibu).
Menulis, dalam tradisi
pesantren, memang bukan hal yang asing lagi. Menulis dan membaca, ibarat dua
sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Pepatah latin mengatakan, scrifta manent verba volant (apa yang
ditulis akan abadi, apa yang diucap akan menguap). Kitab Ta’lim al Muta’alim juga mengingatkan: ma kutiba qarra, wa ma hufidza farra (apa yang ditulis akan kekal,
apa yang dihapal akan sirna ditelan zaman). Bahkan ayat pertama yang Tuhan
turunkan kepada Nabi berbunyi: iqra
(bacalah). Itulah sekelumit tentang “dasar hukum” menulis dan membaca.
Para santri tentu takkan
mengenal dengan baik Imam Syafi’i jika tidak ada kitab al-Um, ar-Risalah, maupun
Diewan as-Syafi’i. Generasi muda
nahdliyyin juga mungkin kebingungan melacak tapak jejak Imam Ghazaly, tanpa ada
manuskrip bernama Ihya Ulumaddin, Tahafut al-Falasifah, Minhaj al-Abidin, dan lain-lain. Atau
bahkan, kita tak bisa memahami dengan baik torehan pemikiran Hadlratussyaikh
KH. Hasyim Asyari tanpa lebih dulu memahami kitabnya Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun Qanun Asasi.
Nusantara juga dulu melahirkan
ulama-ulama seperti Syaikh Nawawi al Bantany (Banten), Syaikh Isa al Fadani
(Padang), Syaikh Mahfud at-Turmusi (Termas), Syaikh Ikhsan Jampes (Kediri), Syaikh
Abdus Shomad al-Palembany (Palembang), Syaikh Syamsuddin as-Sumathrany
(Sumatera), Syaikh Hamzah Fansury (Aceh) yang produktif sekali menelurkan
gagasan melalui medium tulisan. Dari tulisan-tulisan mereka para santri
mengenal kitab Husnu as-Siyaghoh (ilmu
Balaghoh) karya Syaikh Isa, Siroj
at-Tholibin (komentar jenius dua jilid atas kitab Imam Ghazaly Minhaj al-Abidin) karya Syaikh Ikhsan,
atau bahkan Sulam at-Taufiq (Fiqih)
karya Syaikh Nawawi yang lazim dikaji para santri.
Tapak jejak para ulama
itulah yang menginspirasi Kiai Aziz untuk produktif menulis. Ini diamini oleh
kesaksian salah satu santrinya: Sudirman Hasan. Suatu hari, sang santri pernah
bertanya terhadap Kiai Aziz mengenai motivasi di balik kegigihan beliau
berkarya. Jawaban Kiai Aziz sungguh menusuk relung kalbu. Beliau berujar: “Aku
menulis hanya karena ingin memiliki "peninggalan". Banyak kiai besar
yang sangat tersohor tapi tak memiliki peninggalan. Sang kiai dengan
kepiawaiannya berpidato berdakwah ke mana-mana hingga tentu saja sangat disukai
jamaahnya. Namun, tatkala sang kiai dipanggil menuju hadirat-Nya, hilang pula
reputasi dan ketenarannya. Ia bahkan tidak dikenal oleh generasi-generasi
berikutnya. Itu disebabkan oleh satu hal saja: karena sang kiai tidak pernah
menulis sepanjang hidupnya”.
Dalam hal dokumentasi,
Kiai Aziz juga sangat terpuji. Beliau begitu tekun mendokumentasikan
hasil-hasil bahtsul masail dalam
sejumlah buku sehingga keputusan-keputusan penting tersebut dapat
tersebar ke masyarakat dengan mudah. “Apapun kitabnya, tanyakan KH Aziz
Masyhuri”, dawuh Kiai Zaim Badrussoleh Purwoasri suatu waktu. Kiai Aziz memang
pecinta kitab sejati. “Saya menyadari bahwa Kiai Aziz lebih dari sekadar ahli
sejarah NU. Tapi lebih dari itu, beliau sebetulnya merupakan ensiklopedi hidup.
Tulisan-tulisan beliau merupakan rujukan wajib bagi para peneliti serius,”
kenang Martin dalam kata pengantar buku Ensiklopedi
22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf karya Kiai Aziz Masyhuri (pwnujatim.or.id).
Saking cintanya beliau
pada tradisi menulis dan membaca, konon Sabtu kemarin, beberapa saat sebelum
beliau kembali ke pelukan-Nya, Kiai Aziz sempat membaca kitab. Beliau berhenti
membaca saat hendak masuk ke kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi
itulah Kyai Aziz Masyhuri dipanggil oleh Allah subhanallau wa taala (halaqah.net). Kiai Aziz Masyhuri wafat hari
Sabtu (15/4) pukul 13:45 WIB tepat di usia 75 tahun meninggalkan jejak ratusan
karya yang akan menjadi referensi penting nahdliyyin dimanapun berada.
Tak pelak lagi, Kiai
Aziz Masyhuri merupakan lembaran penting sejarah Islam Nusantara dan Nahdlatul
Ulama yang karya dan ketulusan pengabdiannya akan senantiasa dirapal sepanjang
masa dan massa. Nusantara kehilangan sosok gigih yang mengerti betul cara
memaknai hidup melalui goresan tinta.
Sugeng Tindak, Romo Kiai
Aziz Masyhuri. Kiai yang sangat ugahari. Jejak nJenengan aku yakin akan abadi. Ya ayatuhan nafsul muthmainnah. Irji’ie ila
Rabbiki radliyatan mardliyyah. Fadkhuli fi ibady. Wadkhuli jannaty.
0 Response to " Rebahnya Ulama Kami "
Posting Komentar