Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang
hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.
Dan
mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat.
(Soe
Hok Gie, Menaklukkan Gunung Slamet, Kompas, 14 September 1967)
(Poskamling Desa yang Unik, Doc. Google) |
Di penghujung
tahun 2016, aku melangkahkan kaki ke bumi Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Destinasi
yang kutapaki di Bumi Lasem ini adalah kampung Kauman, desa Karangturi,
Kecamatan Lasem. Kampung Kauman menjadi pilihan saat itu bukan tanpa arti. Di
kampung ini terdapat sejarah bhinneka yang cukup tua. Kebhinekaan yang lahir
secara natural maupun nurtural yang terawat dengan baik hingga saat ini.
Karena
sejujurnya, petualanganku saat itu di samping ingin menenun sejarah masa
lampau, juga bertujuan hendak mengkaji kebhinnekaan dan keberagama(a)n bukan
dari mimbar seminar, teori buku, maupun hasil riset mentah seorang sarjana yang
dikejar deadline wisuda.
Aku ingin meraba kebhinnekaan langsung ke jantung masyarakat yang telah
menghayati arti perbedaan selama berabad-abad secara intim dan dekat.
Tujuan
ini tentu bukan tanpa alasan. Di tengah intoleransi yang masih terus
menghinggapi beberapa warga negeri ini, mengaji dan mengkaji tentang
kebhinnekaan menjadi suatu hal yang niscaya. Sebab bangsa ini dibangun dari
tenun kebangsaan yang kokoh dan terdiri dari pelbagai suku, agama, dan latar
belakang sosio-politik yang pusparagam.
Bukan
dari puing-puing semangat primordialisme apalagi sektarian yang menganggap
golongan maupun kelompoknya paling benar. Oleh sebab itu, dilihat dari kacamata
apapun, tragedi Sarinah, Samarinda, maupun bom panci di Bekasi yang terjadi
sepanjang tahun 2016 kemarin tentu sangat tidak dibenarkan.
Apapun
motif dan alasannya, rentetan tragedi itu seolah menegaskan kembali bahwa
perbedaan memang masih menjadi makhluk menakutkan di negeri ini. Menjadi
berbeda di negeri ini adalah tabu yang musti dihindari. Paranoia semacam
itu lahir diawali oleh dua penyakit psikologis yang kita pelihara dan wariskan
secara turun temurun bernama prasangka (prejudice) dan
stigma.
Dua hal
inilah yang selama ini kerap membuat panggung hubungan antar agama menjadi
morat-marit. Padahal dua sindrom psikis tersebut tak memiliki akar kultural
yang kuat di negeri bhinneka ini. Tesis ini menemukan buktinya yang paripurna
dalam petualanganku ke Lasem kali ini.
Di
Lasem, interaksi pelbagai kebudayaan memang sudah berlangsung sejak lama.
Terutama budaya Tionghoa, Arab, dan Jawa. Menurut pelbagai literatur sejarah,
para pendatang dari negeri Tiongkok tiba ke Lasem sebagai pedagang pada abad ke
15, ketika jaman penjajahan Belanda. Mereka berbaur dengan penduduk setempat
yang beretnis Jawa.
Adapun
silang budaya dengan Arab bisa kita lacak sejak Sayyid Abdurrahman Basyaiban
(Mbah Sambu) singgah di sini pada abad ke-17. Mbah Sambu diyakini telah
melahirkan bejibun ulama agung di Lasem dan daerah-daerah lain. Lantaran begitu
banyaknya orang alim di pesisir ini, bahkan sampai muncul hiperbola: penjual
rokokpun banyak yang hafal Qur’an.
Lasem,
setidaknya menurut kacamata pandangku yang cuma dua hari di sana, sungguh
eksotis dan mempesona. Toleransi telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat
Lasem, utamanya di kampung Kauman. Di pesantren Kauman, santri bahkan terbiasa
saling bertenggang-rasa terhadap warga Tionghoa yang tengah membutuhkan
bantuan. Begitu juga sebaliknya. Bahkan jika ada warga Tionghoa yang meninggal
para santri ikut melayat dan mendoakan jenazah.
Dari
sejarahnya, solidaritas antar-etnis di Lasem tercatat sejak Perang Kuning
(1740-1743), saat penguasa Batavia menindas kaum Tionghoa. Penindasan itu
melahirkan simpati dari semua pihak, terutama para Kiai. Tumbuhlah Laskar Lasem
yang diinisiasi oleh Kiai Baidlawi, tokoh Tionghoa Oei Ing Kiat, dan Raden
Panji Margono yang misi utamanya adalah melawan kezaliman VOC.
Kesepahaman
bahwa setiap manusia harus merdeka melahirkan semangat perlawanan dari semua
unsur dan kalangan saat itu. Tak hanya semangat perlawanan, kesepahaman itu
juga melahirkan interkasi pelbagai budaya yang menciptakan harmoni
produk-produk budaya semacam Batik Lasem di kemudian hari. Tapi di atas
semuanya, kesepahaman yang muncul dari pelbagai interaksi sosio-kultur itu
menumbuhkan janin persaudaraan sejati tanpa melihat atribut sosial-agama
apapun.
Menikmati
Lasem hanya dari motif batiknya yang cantik, kopi leletnya yang artistik,
maupun Rumah Candu Lawang Ombo yang mistik tentu merupakan reduksi yang
keterlaluan. Sebab lebih dari itu, terdapat harta karun berharga di bumi Lasem
yang mustinya bisa menginspirasi semua daerah di sekujur Nusantara ini.
Bahwa
bhinneka sudah menjadi fitrah manusia Nusantara sejak berabad-abad silam. Lasem
adalah salah satu prasasti bhinneka yang tak terbantahkan. Lasem adalah
antitesis dari segala hal-ihwal yang hendak memberangus perbedaan atas nama
apapun.
Di
penghujung petualangan ini, pelajaran yang kudapat dari Lasem sangatlah
sederhana. Bahwa: setiap orang memiliki hak untuk beragama dengan lebih
baik. Setiap orang berhak untuk menjadi lebih religius. Tapi menjadi lebih
agamis tidak perlu menjadi pembenci atau bahkan pembunuh bagi “yang
lain”.
Kita
memang tidak mungkin membenarkan “pluralisme teologis”, tetapi kita musti
mengafirmasi “pluralisme sosiologis”. Barangkali itulah ciri khas kenusantaraan
kita; juga barangkali demikianlah watak natural keberagama(a)n di Indonesia.
Hingga
detik ini, aku percaya pada kata-kata Gie yang ia utarakan 49 tahun yang lalu.
Untuk konteks kebhinnekaan, kita tak bisa hanya mendengungkan sederet teori dan
slogan tapi miskin arti dan aksi. Kita perlu menghayati dan mengaktualkan
indahnya bhinneka yang sudah hidup berabad-abad di kampung Kauman untuk daerah
kita masing-masing.
Terimakasih Lasem yang sudah mengenalkanku pada arti bhinneka yang sesungguhnya.
Baca tulisan ini, jadi pengen jalan-jalan ke Lasem pake Skyscanner 😊
BalasHapusTunggu apalagi? ^_^
HapusDari dulu aku tertarik sekali ingin ke Lasem yang menyuguhkan kebhinekaan apalagi perginya menggunakan Skyscanner , pasti lebih seru yaaa ��
BalasHapusYa. Lasem memang menawarkan banyak warna kehidupan.
HapusJadi pengen jalan-jalan ke sana bareng doi.
BalasHapusWah, sudah punya doi sekarang rupanya. Ayo atuh jalan-jalan. Jangan lupa pake Scyscanner ya? :)
HapusKarena tulisan ini saya jadi ingin menikmati senja di Lasem. Apa lagi bareng Scyscanner. Luar biasa!
BalasHapusAyoooo Sor. Jangan lupa Talia diajak. ^_^
HapusLasem terasa begitu teduh dan sangat Nusantara. Bagi saya, Lasem adalah magnet kebhinnekaan. I Love Lasem. ^_^
BalasHapusLove u to bro...
HapusIstimewa. Membaca tulisan tentang Lasem saja sudah terbayang indahnya. Bagaimana jika berkunjung langsung?? 😊😊
BalasHapusHarus diagendakan ini. Harus...
HapusKeindahan pantai lasem sangat sulit tuk di lupakan, apalagi saat masuk pantai kita di sambut dengan penghasil garam yabg ramah tamah. Di tambah lagi kearifan budaya dan bangunan tionghoa masih terawat yang akan menjadi pengetahuan baru. Akan lebih nyaman dan tidak ribet apabila perjalanan kita menggunakan scyscanner pasti lebih cepat, nyaman dan aman pastinya :)
BalasHapusNaaaah, ini teman petualanganku ketika di Lasem.
HapusJadi, kapan kita berpetualang lagi Jar?
Aku pengen ke Lasem. Melihat miniatur kehidupan yang ber-bineka. Kemudian, lanjut kemana pun. Sepelosok Nusantara. Semoga Scyscanner bersedia menemaniku jika hatiku berbenak "Start up!" Wkwkw
BalasHapusAmmmmmiiinnn.....
Hapus