Pandu Hamzah, Alm. Ahmad Syubbanuddin Alwy, Alm. Chairul Salam |
Langit kebudayaan Cirebon kini tengah mendung pekat
dan gelap gulita. Setelah presiden penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy memejamkan
mata pasca seminar kebudayaan akhir tahun lalu, kini Chaerul Salam, pemerhati
kebudayaan dan pejabat yang ramah itu, juga pergi untuk selamanya. Meninggalnya
dua penulis cum budayawan Cirebon di atas jauh lebih menyayat dada ketimbang
wafatnya dua penulis dunia, Umberto Eco dan Harper Lee, yang kini tengah jadi
gincu di linimasa twitter maupun facebook. Gajah di pelupuk mata tak teraba,
semut nun jauh di sana begitu kentara. Itulah kira-kira kredo jemaat sosial
media.
Di sekujur pantura Jawa Barat, semua publik kesenian
mengakui bahwa Alwy adalah penyair yang sepanjang hayatnya mengabdi pada
literasi, pada puisi. Apapun yang ia lakukan semata hendak menegakkan marwah
kebudayaan kembali ke puncak tertingginya. Kendati ia lahir dari tradisi Islam
tradisional yang patuh, bukan majlis-majlis pengajian warisan ayahnya yang ia
bina, melainkan anak-anak muda di tubir modernitas yang gelisah karena mencari.
Bai’atnya pada susastra sudah mantap. Sebab baginya susastra adalah
senyawa-kimia dari sufisme dalam bentuknya yang lain. Perkataan terakhirnya
perlu saya kutip: “Jangan lagi arah mata angin kebudayaan kita didikte oleh
mereka yang tak mengerti kebudayaan!” Itu beberapa patah kata yang dengan susah
payah ia eja satu hari sebelum kita semua berduka karena kehilangannya.
Kendati saya tak mengenal Chaerul Salam sedalam
perkenalan saya dengan Alwy, rasa kehilangan itu tetap dalam tak terperi.
Perbincangan-perbincangan singkat dengannya, senantiasa menumbuhkan kesan
impresif: bahwa ia pecinta tangguh literasi dan kebudayaan yang lahir dari
lokus lain. Di tengah sakit yang menelikungnya, satu bulan yang lalu di sebuah
acara di Hotel Zamrud Cirebon, ia masih sempat berujar: “Insya Allah saya akan
ikut menulis obituari untuk mengenang Alwy”. Tapi Tuhan menggariskan lain. Kini
mereka berdua sudah pergi ke nirwana meninggalkan segantang idea dan cita akan
kota literasi yang diimpikan sekian lama.
Awalnya, rasa kehilangan itu benar-benar merasuk
kalbu. Tapi, entah kenapa, saya percaya adagium mati satu tumbuh seribu. Dan di
antara yang seribu itu adalah Pandu. Ya, Pandu Abdurrahman Hamzah, atau lazim
dikenal Pandu Hamzah. Sastrawan muda yang satu ini tak hanya inspiratif, tapi
juga selalu membuat kita iri pada semua “laku kreatifnya” selama ini. Di saat
sindrom menjadi arkhe dan logos begitu menggebu menimpa para sastrawan di
daerah saya, Pandu justru tak pernah lelah mendekonstruksi kediriannya dalam
bumi asketisme yang acuh pada dunia selebral. Di saat semua
pseudo-seniman-sastrawan berlomba-lomba tampil ingin mengambil peran, Pandu
justru menepi dari hiruk-pikuk. Ia begitu curiga pada panggung, mikrofon, dan
sorot kamera. Apalagi mentalitas romo yang selalu ingin dikelilingi para
pengikut setia.
Padahal, ia sastrawan yang jam terbangnya sudah
bertaraf nasional. Ketika umurnya baru 21 tahun, cerpen pertamanya, Kurusetra
(1998), sudah mejeng di harian Kompas. Novel perdananya, Tanah Biru,
sanggup menggedor-gedor kesadaran keberagama(a)n kita yang membuat juri
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengganjarnya sebagai roman
terbaik harapan II di tahun 2003. Novel terbarunya, Sebuah Wilayah yang
Tidak Ada di Google Earth (2015) berhasil membuka katup kesadaran kita
bagaimana perselingkuhan negara dan kapitalisme industri ekstraktif dalam
menggerus tradisi dan kekayaan aneka ragam hayati.
Tapi itu semua tak membuatnya harus berbesar kepala
dan merasa sebagai segalanya. Ia justru kian meringkuk di sudut kota kecil
Kuningan, Jawa Barat. Pandu tak ubahnya sastrawan yang benar-benar memilih
jalan sunyi untuk segala laku kreatifnya. Seperti Umbu Landu Paranggi di satu
sudut di Bali, Ahmad Tohari di pinggiran Banyumas, Gus tf Sakai di kota kecil
Payakumbuh, dan semua pejuang kebudayaan lainnya. Mengutip Umbu, Pandu tak
hanya mengajarkan pada anak-anak muda di sekitarnya bagaimana cara membuat
puisi, tapi lebih dari itu: bagaimana menyelami dan melakoni kehidupan puisi.
Kehidupan puisi itu ia torehkan dengan pelbagai strategi-strategi literasi yang
sangat substansial. Nyaris dalam seluruh perikehidupannya. Pandu adalah Umbu
bagi orang Kuningan dan sekitarya.
Ia, yang hanya dosen tak tetap itu, nekad membuat
semacam “jariyah literasi” bagi anak-anak muda yang ingin mengakrabi dunia ide
dan aksara. Lewat penerbitan bernama Silalatu, ia mendorong anak-anak muda
untuk menerbitkan karyanya tanpa biaya dan regulasi secuilpun yang mencekik.
Setiap penulis ia “subsidi” biaya percetakan senilai 5 juta rupiah. Syaratnya
hanya satu: penulis yang sudah disubsidi harus mau menyisihkan sekian persen
dari 100% royalti haknya untuk (calon) penulis lain. Tujuannya agar uang itu
bisa terus bergulir melahirkan embrio karya-karya penulis (pemula) lain yang
kerap dilecehkan penerbit major atau kesulitan bea dalam mencetak karyanya. Dan
itu ia lakukan sejak tahun 2008.
Tak sedikit penulis “lahir” dari tangan dinginnya.
Dari dalam Cirebon (Kuningan) bisa kita eja misalnya, Lien Aulia Rachmah (Pinangan
Cahaya), Nana Mulyana (Jurig Citamiang), Ira Rahayu (Kepada
Nohesca). Di luar Cirebon: Afrilia Utami (Halte Biru/Tasikmalaya),
Epon (Aku Masih Ada/Garut), dan banyak lagi. Rata-rata buku yang ia
subsidi berupa kumpulan puisi. Pasalnya, buku bergenre puisilah yang kerap
mendapatkan kesulitan serius ketika hendak mencari inang untuk mencetaknya.
Bahkan, khusus untuk mengenang sahabat sekaligus gurunya, Ahmad Syubbanuddin
Alwy, Pandu menginisiasi lahirnya buku obituari apik yang berjudul: Ketika
Alwy Pergi (Esai dan Puisi).
Suatu ketika Pandu berujar pada anak-anak muda yang
tengah tekun menjalani laku sunyi literasi: “Para pendaki yang paling cepat
mencapai puncak adalah pendaki yang khusyuk tak banyak bicara. Bukan pendaki
yang selalu meributkan sesuatu tiap kali menemukan fenomena berkelebat di
depannya”. Ini adalah tamsil, bahwa terkadang (mereka yang mengaku) sastrawan
itu banyak mempersoalkan persoalan yang sebenarnya bukan persoalan. Hasil
reformasi baru berhasil melahirkan orang-orang berisik yang selalu ingin
bicara, tapi belum sanggup menciptakan manusia-manusia pencumbu sunyi demi
mengakrabi karya.
Begitulah Pandu Hamzah. Banyak hal lain yang membuat
kami, para petani literasi pemula, diam-diam menjadikannya sebagai referensi.
Mengutip Joko Pinurbo dalam puisi Durrahman: dalam diri Pandu ada
seorang pujangga yang tak binasa. Hatinya suaka bagi segala pecinta literasi
yang ingin membangun kembali puing-puing ide dan aksara, ibukota bagi pecinta
sastra pemula. Ketika kami semua ingin jadi sastrawan, baju kesastrawanannya
sudah lebih dulu ia tanggalkan. Jangan pergi dulu ya Mas? Kepala dan dada kami
masih butuh nutrisi untuk mengerti akan arti kebudayaan yang sebenarnya. Arti
puisi yang sesungguhnya.
Saya pernah mampir ke rumah Mas Pandu, waktu itu bersama Bung Aji. Dan saya juga dikasih buku biografi Almarhum Kang Alwy dan Novel terahirnya. Sejak itu saya tertarik ingin menerbitkan sebuah karya (kumpulan cerpen) melalui "Silalatu" yang dikelolanya. Sayang sampai sekarang belum bisa terlaksana, karena kumpulan cerpennya masih berserakan belum tersusun. Gus, bisa bantu menerbitkan karya saya yang pertama ini?
BalasHapusInsya Allah Efri. Jika sudah tersusun dengan rapi dan sistematis, hubungi saja saya.
HapusSelamat merangkai naskah yang berserak ya? :)
Mas Pandu memang luar biasa.
BalasHapus