Menjemput Indonesia Yang Bernafaskan Agraria


Dalam pasang surutnya, peran petani dan pertanian tak mungkin abstain dari lembar sejarah negeri kepulauan ini. Lantaran Indonesia merupakan satu di antara Negara yang sebagian besar tanahnya dihiasi oleh semerbak lahan hijau nan subur. Wajar jika banyak ahli dari dalam maupun luar negeri yang meyebut Indonesia sebagai Zamrud Khatuslitiwa.

Tetapi, sepertinya telah terjadi ironi, atau bahkan parodi, yang diprakarsai oleh penghuni negeri ini sendiri. Kita seperti terjebak dalam kutukan the paradox of plenty (kutukan kekayaan): tikus mati di lumbung padi. Betapa tidak. Di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini, kenapa masih kerap ditemukan rakatnya yang terlilit kemelaratan dan kelaparan? Di Makassar, seorang ibu dan anak balitanya meninggal karena kelaparan; di Yahukimo, Papua, telah terjadi kelaparan dalam jumlah massal; di Rote Ndao, NTT, masyarakatnya telah dihantui oleh hama KLB busung lapar; dan di Serang, Banten, penduduknya makan nasi aking yang seharusnya dimakan itik. Ini adalah segelintir contoh yang berhasil terekam oleh kamera media. Betapa tak terbayangkan banyaknya kasus serupa yang tak sempat tertangkap oleh lanskap media massa.

Ada apa ini? Kenapa masyarakat kita terjebak dalam labirin kemiskinan yang akut, sedangkan di samping kiri-kanannya tergelar lebar tanah subur yang dapat dibudidayakan dan menjadi aset penghidupan? Ataukah, Indonesia merupakan negeri yang masuk dalam ramalan Thomas Robert Malthus (1798), yang mengutarakan bahwa di hari depan akan berlangsung kelaparan massal? Sebab, lanjut Malthus, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung (seperti siput) sedang pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (layaknya kuda liar). Akibatnya, kelaparan berskala kolosal pun menjadi efek yang tak terhindarkan dari gejala ini. Bisa jadi ya, bisa jadi tdak. Ya, jika tesis Malthus dikontekstualisasikan pada ranah geografik yang tandus tetapi penduduknya membengkak. Tentu ini tak relevan jika dikaitkan dengan Indonesia. Sebab meski data statistik menunjukkan angka penduduk yang terus merangkak naik, tapi lahan subur nan tropis masih dapat dijumpai di sana-sini. Lagipula, jika memang benar terjadi hal di atas, maka bukan tesis Malthus yang bisa dijadikan landasan argumen, melainkan campur tangan pihak lain yang bekerja amat implisit tetapi dampaknya langsung bisa dirasa.

***

Untuk sementara, cengkraman kapitalisme global dan buruknya birokrasi konstitusional-institusional menjadi terdakwa utama atas tragedi ini. Untuk yang awal sepertinya tak usah disangsikan lagi. Mengingat, memang negara-negara adidaya (terutama AS dan Uni Eropa) dalam bebarapa dekade akhir ini sedang giat-giatnya mencabik-cabik sendi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia, via kedok bantuannya yang mengikat dan diskriminatif. Tentu masih hangat ingatan di kepala, di saat tahun 70-90 an, atas nama Program Penyesuaian Struktural (SAP), IMF dan Bank Dunia memaksa negara-negara berkembang untuk memangkas drastis anggaran pemerintah dalam berbagai sektor, khususnya untuk program pertanian, sebagai prasyarat agar terus mendapat kucuran hutang dari lembaga tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan, salah satunya, pada penyusutan produksi pangan yang terus menjadi momok hingga kini.

Yang kedua, terkait dengan kebijakan internal negeri ini sendiri. Meski banyak ditemukan UU yang sepertinya memihak kesejahteraan kaum tani (pasal 33 UUD 45, UU No. 5/1960, UU No. 56/1960, misalnya), tetapi dalam praktiknya UU itu tak ubahnya lebah tanpa sengat. Jauh dari merealita. Apalagi ketika Indonesia masih di bawah kendali rezim ORBA, segala sesuatu yang berhubungan dengan terobosan petani selalu saja dicap sebagai agen neo-PKI yang harus sesegera diberantas eksistensinya. Padahal Bung Karno sendiri amat afirmatif terhadap nasib kaum bercangkul ini. Terbukti, beliau pernah mendirikan ideologi Marhaenisme: suatu faham yang menghendaki para petani menjadi kekuatan (ekonomi) garda depan bangsa ini. Karena menurut beliau 80% penduduk Indonesia terdiri dari kaum Marhaen ini (sekarang 44%).

Ini belum ditambah dengan fakta bahwa 25 Maret lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memenuhi sebagian dari judicial review UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. MK hanya membatalkan pasal 22 terkait hak atas tanah yang tertuang dalam UU ini. Selebihnya, UU ini dianggap konstitusional. Tentu, UU ini masih bengkok dan sangat tak memihak kesejahteraan agen produksi (korporasi maupun pekerja) pertanian lokal. Bagaimana tidak? Petama, perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara (pasal 3) dianggap konstitusional. Seharusnya, arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional-lokal. Kedua, kemungkinan berlangsungnya capital flight karena dibolehkannya pemindahan aset kapan dan di manapun (pasal 8), juga amat mengkhawatirkan. Padahal, itu terkait erat dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara massal (Usep Setiawan/2008).

Berangkat dari titik inilah, pembenahan komperehensif mengenai konsep agraria mutlak dibutuhkan. Baik itu dari segi hukum (de jure) maupun operasionalnya di lapangan (de facto). Tetapi yang lebih urgen dan fundamen harus diupayakan tentu ikhwal yang berhubungan dengan konstitusional, sebelum nantinya merambah ke hal yang bersifat ekstra. Agrotekhnologi, semisal. Jadi, upaya ini di samping menuntut keterlibatan pemerintah, juga tak kalah pentingnya partisipasi dari masyarakat petani (korporasi, petani maupun pekerja) sendiri. Sebab itu, ada beberapa titik solutif yang mungkin dapat digunakan bahan pertimbangan di sini.

Pertama, menyangkut perubahan kelembagaan di pedesaan. Dalam hal ini masuk 1) lembaga penguasaan tanah, 2) lembaga hubungan kerja dan 3) lembaga perkreditan. Sayang, untuk poin pertama (kelembagaan tanah), kepemilikan tanah sebagai tonggak utama masyarakat petani kini kondisinya semakin memiriskan. Di Jawa saja rata-rata kepemilikan lahan itu hanya sekitar 0,25 hektar. Penciutan ini di samping karena tergerus oleh keserakahan sektor industri yang lapar lahan, juga karena kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian. Poin kedua, relasi kerja. Ini penting, karena ia terkait langsung dengan penentuan proporsi ekonomis yang akan diperoleh oleh produsen agraria di pedesaan. Yang ketiga, ikhwal perkreditan, formal maupun informal (Bank, Koperasi, dll). Kenyataan yang selama ini kasat mata, lazimnya lembaga perkreditan itu hanya mau berkompromi dengan mereka pekerja agraria yang punya skala besar. Sebaliknya, petani-petani kecil terkucil justru di saat lembaga itu menganga di depan mata. Nah, ini (perubahan lembaga) PR pertama yang harus diselesaikan pemerintah sebelum menginjak langkah yang lebih panjang: agribisnis multinasional, semisal.

Kedua, pesan ini lebih diperuntukkan bagi mereka investor ataupun korporasi lokal yang berkantong tebal. Maksudnya, diharapakan para pengusaha atau korporasi yang tajir itu mau menanam setitik modalnya bagi penguatan sektor pertanian, khususnya yang berada di pedesaan. Pasalnya, satu diantara motif para petani stagnan dalam kegiatan berproduksi, ialah karena langkanya pembiayaan. Di samping itu, investasi juga dibutuhkan dalam ranah riset dan penelitian yang ditujukan kepada para peneliti dan akademisi. Sebab, hidup di dusun global seperti ini, pemecahan yang bersifat alternatif merupakan sesuatu yang niscaya (biofuel, semial). Setelah itu, tinggal sosialisasinya saja kepada kalangan pertanian grass root. Maka, merupakan hal istimewa jika korporasi maupun investor (lokal) mau menengok saudara mereka yang tak berdaya di tubir-tubir desa, betapa kecil sekalipun prospek profit-finansialnya.

Ketiga, sedapat mungkin mempersempit intervensi asing dalam proyek ini, terutama dalam hal pendanaan. Kecuali jika itu bersangkutan dengan kerja sama distribusi maupun penelitian. Langkah ini bukan berarti mencerminkan sikap eksklusif, melainkan sekadar kuda-kuda defensif untuk mengantisipasi kemungkinan terserang noe-kolonialisme jenis baru, yang selama ini menemukan kristalisasinya pada negara-negara pemegang kapital. Tentu kita tak ingin mengulang sejarah kelabu di mana pada saat ditetapkannya UU Agraria 1870, Belanda dan Eropa mendapat kesempatan luas berbisnis di perkebunan Indonesia. Sebaliknya, penderitaan hebat dipikul rakyat Bumiputera, lantaran semua keuntungan dimonopoli oleh mereka. Memekikkan!

Terakhir, terkait dengan kebijakan konstitusional. Sebab, semua akan melemah di lapangan jika tak ada legitimasi hukum yang memayunginya. Karena itu, dalam rangka reforma agraria ini pemerintah harus tetap berpijak pada pedoman: ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, seperti yang sudah termaktub dalam pasal 33 UUD 45 itu. Adapun mengenai pengembangan atau mekanisme kerjanya, tinggal disesuaikan saja dengan situasi yang melingkupinya.

Jika semua prasyarat itu sudah dilakukan, semoga 1) kita mampu menampik ramalan Malthus sedari dini. Di samping juga 2) dapat menepis kemungkinan terjadinya konflik agraria yang lazim terjadi di saat situasi perpanganan sedang genting. Seperti sudah dilansir sejarawan Ong Hok Ham; sejak tahun 1930, terutama seusai perang Diponegoro hingga awal abad ke-20, telah terjadi lebih dari 100 aksi resistensi rakyat petani tarhadap para birokrat, ambtenar, maupun borjuis yang culas dan kejam. Dan, terakhir, 3) harapan akan pertanian /agribisnis dapat menjadi pilar utama perekonomian Indonesia di hari depan, tidak hanya sebatas impian belaka. Bagaimana? Wallahu A’lam.

0 Response to " Menjemput Indonesia Yang Bernafaskan Agraria "

Posting Komentar