(Jendela
Pengantar)
Intermezzo
Sebelum menginjak ke
pembahasan, saya tergelitik untuk menguliti Term of Reference (ToR) yang
diberikan panitia satu hari sebelum kajian ini berlangsung. Di dalam ToR tersebut
berderet kalimat-kalimat yang membingungkan saya. Ini bisa ditemukan dari
paragraf awal hingga akhir. Misalnya di paragraf pertama kalimat pertama: “Antropologi
pada dasarnya merupakan satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu”.
Simplifikasi demikian tentu
sangat mengkerdilkan peran antropologi yang begitu luas. Asal tahu saja,
definisi di atas tak cocok jika digunakan sebagai pengejawantahan dari
antropologi secara umum. Definisi di atas hanya sanggup menampung salah satu
dari cabang antropologi yaitu: etnografi. Di kalimat berikutnya, masih di paragraf
yang sama, ToR itu melanjutkan: “Selain sebagai ilmu pengetahuan, antropologi
digunakan sebagai cara berpikir untuk mengungkapkan realitas sosial dan budaya
yang ada dalam masyarakat.” Anak kalimat ini juga tak cukup representatif untuk
menjelaskan duduk perkara antropologi. Lantaran, kalimat berjejer itu hanyalah
satu dari pelbagai macam varian dalam disiplin antropologi yang lazim disebut sebagai:
antropologi kognitif.
Yang terparah, mungkin paragraf
kedua. Paragraf yang diniatkan sebagai deskripsi atas antropologi sosial-budaya
itu ternyata hasil copy-paste 100 % dari sebuah laman di Google: http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/12/antropologi-sosial-budaya.html. Begini bunyinya: “Kehadiran antropologi-sosial budaya (antropologi
sosiokultural) relative masih sangat muda bila dibandingkan dengan ilmu sosial
lainnya. Kehadirannya sejalan dengan kebutuhan kolonialisme sejak abad ke–18.
Pada saat itu orang-orang eropa banyak membutuhkan informasi dan pengetahuan
mengenai penduduk yang dijajah, baik mengenai kehidupan sosialnya, maupun
kehidupan budaya nya. Sejak itu antropologi berkembang atau bergerak ke arah
ilmu pengetahuan terapan yang sebelumnya hanya berkembang atau bergerak di
kawasan kampus dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan murni”. Subhanallah…
Apa yang mau dipelajari dari disiplin
antropologi jika menyusun ToR saja kita masih belepotan? Apa yang diharapkan
dari diskusi ini jika tradisi ilmiah yang disiplin dan tertib saja tidak kita
gemakan dari sekarang? Mengapa kita begitu mudah beriman pada penjelasan
satu-dua bule yang kadang di negerinya sendiri justeru dipertanyakan
kredibilitas keilmuannya? Moda pendidikan seperti apa yang kita enyam sampai
harus menerima begitu saja semuanya tanpa telaah yang kritis dan mendalam? Kenapa
kita tak mau melangkah selangkah lebih maju untuk membuat seperangkat teori dan
postulat sendiri? Atau minimal mulai membuang jauh apa yang kita kutuk bersama:
plagiasi. Dari semua deret tanya itulah, saya kira membincang antropologi
post-kolonial mendapatkan relevansinya yang paling seksi.
Sekilas
Sejarah antropologi tak bisa
dilepaskan dari bias kolonisasi. Salah satu cabang ilmu sosial ini, harus kita
akui, lahir seiring dengan proyek penjajahan secara massif yang dilakukan oleh Eropa terhadap benua lain
dari abad ke-16 sampai abad 20. Terbukti, dari sekian banyak cabang antropologi
sampai ada yang khusus membahas warna kulit, tinggi badan, ukuran tengkorak dan
otak semata: somatologi. Lihatlah, betapa “rasis”nya para peletak dasar
antropologi dalam memetakan objek kajiannya. Disiplin ini juga saya yakini yang
memotivasi mengapa seorang Adolf Hitler tega membantai jutaan umat manusia
hanya karena perbedaan warna mata dan kulit semata di Perang Dunia II.
Tak hanya warna kulit,
antropologi yang secara etimologis bermakna ilmu yang menelaah tentang semua
aspek (ke)manusia(an), itu juga mendedah tentang hal-ihwal yang menyangkut
budaya dan sosial daerah jajahan secara lebih menyeluruh. Dari sinilah lahir
klasifikasi tentang antropologi fisik (seperti yang saya sebutkan di muka),
antropologi budaya dan antropologi sosial. Antropologi fisik mengkaji tentang
keanekaragaman ciri khas fisik manusia dan perkembangannya –atau yang lazim
disebut ras. Mengapa ras Mongoloid berbeda dengan ras Kaukasoid dan Negroid,
misalnya.
Antropologi budaya membidik
manusia dalam ranah dimensi kebudayaan yang meliputi bahasa (etnolingusitik),
tulisan, kesenian, sistem pengetahuan (antropologi kognitif), dan totalitas
kehidupan manusia. Selain itu juga ada etnologi yang khusus mengkaji ihwal
kebudayaan manusia pada suku dan lokus tertentu. Misalnya kajian tentang
masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan. Atau telaah mendalam atas
kebudayaan lokal masyarakat adat Dayak Bumi Segandu, di Indramayu.
Sedangkan antropologi sosial
disebut sebagai generalizing approach
(pendekatan menyeluruh) yang membedah tentang prinsip-prinsip persamaan di
belakang aneka ragam masyarakat dan kebudayaannya dari semua manusia di delapan
penjuru mata angin. Lokus kajian antropologi sosial, sebagaimana dipetuahkan
oleh C. Kluckholn, ada tujuh unsur: sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem
teknologi, sistem sosial, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem bahasa.
Dari pancacahan macam ini lahir embrio-embrio lain berupa antropologi
pendidikan, antropologi ekonomi, antropologi politik dan bahkan antropologi
agama (Nur Syam, 2012: 5).
Meski demikian, antropologi tak
pernah bisa lari jauh kecuali melalui lima titik tekan ini: a) masalah sejarah
terjadinya manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sosial, b) sejarah
terjadinya aneka warna manusia dipandang dari ciri-ciri tubuhnya, c) penyebaran
dan bermutasinya aneka warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia, d)
masalah perkembangan pluralitas budaya yang begitu banyaknya, e) evolusi budaya
manusia pada saat ini (Koentjaraningrat, 1990:1).
Uraian di atas adalah secuil
mengenai seluk beluk antropologi secara umum. Untuk membahasnya secara lebih
detail dan mendalam, misal varian-varian antropologi, relevansi antropologi,
dan lain sebagainya, mungkin membutuhkan waktu khusus tersendiri. Lagipula,
informasi semacam itu kini dengan derasnya bisa didapatkan di mesin-mesin
pencari macam Google. Yang jelas, melalui serangkaian teori itulah, para
kompeni dulu menghisap habis kekayaan bumi pertiwi. Memeras darah dan keringat
para anak negeri melalui kerja rodi. Bahkan hingga saat ini.
Dari titik kritisisme semacam
ini, saya ingin berbagi.
Koloni
Pengetahuan
Untuk konteks Indonesia
pra-merdeka, para kompeni mengumpulkan para pejabat dan intelektual negeri
kincir angin itu untuk mempelajari dulu seluk beluk tentang penduduk Nusantara.
Mereka diminta untuk mengkaji semua sistem yang berada di dalamnya: mulai
keanekaragaman budaya, bahasa, dan adat istiadat masyarakat jajahan. Tujuan
mereka jelas: agar mudah memetakan dan menyusun strategi untuk menaklukkan
daerah koloninya. Tamsil yang paling kentara di sini adalah apa yang dilakukan
oleh C. Snouck-Hurgonje tentang masyarakat Aceh yang menghasilkan strategi
penguasaan Aceh oleh Belanda –betapapun musykilnya (Nur Syam, 2012: 2).
Sindrom “koloni pengetahuan” ini
terus berlanjut hingga saat ini. Utamanya digawangi oleh negeri Paman Sam
melalui lembaga-lembaga fundingnya. Didirikannya lembaga pengkaji Indonesia
macam Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) di Universitas Cornell, AS,
sebenarnya tak lebih dari kepanjangan kepentingan AS di Indonesia menyangkut
Perang Dingin dengan Uni Soviet. Karena bagaimanapun, Indonesia adalah lahan
seksi di mana pertarungan kepentingan kerap berkontestasi. Di sini, bukan lagi
objektivitas ilmiah yang dijunjung tinggi, melainkan perebutan pengaruh
ideologi kapitalisme (USA) versus komunisme (Uni Soviet).
Ini diakui sendiri oleh Prof.
George Mc Turnan Kahin, pendiri CMIP dan begawan kajian tentang Indonesia,
dalam otobiografi yang ditulisnya sendiri berjudul: Southeast Asia: A Testament. Ia dengan jujur berujar: ide pendirian
CMIP datang dari lembaga filantrofi Ford
Foundation untuk memusatka diri pada studi gerakan komunis di Indonesia pada
saat Perang Dingin tengah berlangsung. Dari CMIP inlah lahir orang-orang macam Herbert
Feith dan John Legge (pendiri Pusat Studi Asia Tenggara, Monash University),
Prof. Daniel Lev (pendiri Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas California,
Berkeley, USA), Prof. Jhon Smail (pendiri Pusat Studi Asia Tenggara Universitas
Wisconsin, Madison, USA), Prof. Akira Nakazumi (pendiri Pusat Studi Asia
Tenggara Universitas Kyoto, Jepang), dan tentu saja Ruth McVey dan Benedict
Anderson yang fenomenal itu.
Ini belum menghitung
ilmuwan-ilmuwan dalam negeri seperti Prof. Selo Soemardjan (pendiri fakultas FISIP
UI), Prof. Deliar Noer (mantan Rektor UNJ), Taufik Abdullah (Sejarawan LIPI),
Umar Kayam (mantan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud), Tapiomas Ihromi, Anton
Moeliono, Sulaiman Sumardi dan jongos-jongos lain yang tak bisa saya sebutkan
secara rinci (Majalah Tempo, 20 November 2011). Mereka semua adalah alumnus
CMIP yang bertugas untuk membumihanguskan ideologi komunisme di persada bumi
pertiwi. Tapi setelah komunisme kian surut, ditandai dengan berakhirnya Perang
Vietnam, kajian tentang Asia Tenggara (khususnya Indonesia) juga kian tenggelam
seiring macetnya kucuran dana dari sang empunya kepentingan. Inilah paradoks
paling memilukan dari dunia penelitian di Negara-negara berkembang.
Menulislah!
“Tak pernah ada satu pun masa
di dalam peradaban Barat di mana Timur dibicarakan dengan jernih, objektif dan
matang”, tandas Edward W. Said dalam pembukaan buku lawasnya, Orientalism. Apa yang dicurahkan Said
memang benar adanya. Standar ganda, oposisi biner, dikotomi, bias yang
kelewatan, dan distrosi, rasanya senantiasa menghiasi setiap deret penulisan
mereka tentang Indonesia. Dalam segala bidang. Termasuk antropologi.
Claude Levi-Strauss, bapak
antropologi struktural, juga pernah mengeluhkan hal ini. Ia berucap: orang
Barat beranggapan bahwa budaya Timur itu rendah jika dibandingkan dengan
kebudayaan Barat. Padahal, gumamnya lirih, setiap kebudayaan memiliki
kekhasannya sendiri yang tak bisa dibandingkan dengan kebudayaan lainnya.
Partikularitas adalah sebuah keniscayaan. Jacques Derrida, filsuf terbesar
Prancis, juga mengamini hal ini. Bahwa the Other’s
(sang Liyan) adalah hal unik yang tak perlu diunifikasi dan diklasifikasi
menurut standar tertentu.
Oleh karena itulah menulis
ulang menjadi penting. Menulis ulang semua tentang Indonesia yang telah
dirumuskan oleh para antropolog-ilmuwan gadungan tersebut. Karena menulis
identik dengan kerja imperium dan kolonisasi, tapi di saat bersamaan menulis
juga merupakan strategi melawan imperium dan kolonialisme (Bill Ashcroft dkk,
2002: 2). Tak perlu lagi kita percaya pada rumusan Clifford Geertz tentang
klasifikasi kaum beragama Jawa menjadi tiga: Abangan, Santri dan Priyayi (dalam
The Religion of Java). Karena fakta
di lapangan kini sudah jauh lebih banyak dari itu. Tak perlu juga mengimani
sabda Ben Anderson yang menilai nation
(Negara [berdaulat]) adalah komunitas berbayang (dalam Imagined Communities). Karena sampai kapan kita akan terus
membayangkan sebuah Negara yang diidam-idamkan? Kini saatnya kita jadi author atas apa yang berkelebat di dalam
negeri sendiri.
Warisan mereka biarlah menjadi
simpul khasanah pengetahuan semata. Selebihnya, biar kita yang memetakan
sendiri. Bagaimana sikap kita terhadap minoritas Sunda Wiwitan yang hingga kini
kerap terdiskriminasi oleh kebijkan para pemangku negeri? Mengapa mayoritas
dari kita masih merasa aneh setiap melihat warga Dayak Bumi Segandu Indramayu
yang hanya memakai celana? Mengapa warga Samin dan Sedulur Sikep di Pati
senantiasa merasa tak aman tinggal di negeri Bhineka Tunggal Ika ini? Kenapa
masyarakat Badui, Banten, musti “murtad” dulu dari agamanya setiap hendak
mengurusi hal-ihwal catatan sipil? Dan sebagainya.
Sampai kapan bunga Reflesia
terus melekat pada si penggemar cerutu asal Inggris Thomas Raffles? Mengapa
kajian hukum adat senantiasa diidentikkan dengan van Vollenhoven yang awal kali
menulis dan mengklaim menemukannya? Tari kecak Bali juga tak pernah bisa bebas
dari bayang-bayang pengklaimnya: Walter Spies. Sastra epos Bugis, La Galigo,
tak pernah dianggap sebelum dipentaskan oleh Robert Wilson. Bahkan, bendera
Macan Ali milik Kanjeng Sunan Gunung Jati kini masih berada di Koninklijk Instituut voor Taal Land en
Volkenkunde (KLTIV) Belanda. Dan daftar ini akan menjadi deret mahapanjang
jika saya sebutkan lagi. Masya Allah…
Sebab itu, saatnya mengoreksi
dan menginterogasi ulang semua hasil penelitian dan penulisan mereka. Kita
harus mulai menjadi tuan, induk semang, si empunya, atas semua yang menjadi
khasanah kekayaan budaya-sosial negeri kita sendiri. Karena, tentu kita tak mau
terus-menerus dihisap oleh mereka, bahkan dalam lini pengetahuan, bukan? Sebab
jika terus demikian, jangan pernah menganggap bahwa negeri ini sudah merdeka.
Lantaran, alam pikir penduduknya-pun ternyata belum bebas dari segala bias
kolonialisme.
Jadi, antropologi adalah: ?
*** Essai ngawur ini didedikasikan untuk Kelas
Kerakyatan Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon, 16 Mei 2014. Essai ini
ditulis dengan kondisi pilek yang luar biasa mengganggu. Doakan semoga saya
cepat sembuh, Bung-bung sekalian!
Bacaan
Pengiring:
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 65, (Jakarta:
Marjin Kiri, 2013)
Syam, Dr. Noer. Madzhab-madzhab Antropologi,
(Jogjakarta: Lkis, 2012)
Baso, Ahmad. NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2006)
Koentjaraningrat. Pokok-Pokok Antropologi Sosial,
(Jakarta: Dian Press, 1990)
Ashcroft, Bill, dkk. The Empire Writes Back: Theory and Practices
in Post-Colonial Literatures, (London & New York: Routledge, 2002)
Majalah Tempo edisi 20 November
2011
Tampilkan juga TORnya BUNG ! Jangan meracau
BalasHapusHahahaha, cemen! Kalau mau diskusi jangan pakai identitas anonim, ^_^
BalasHapusTERM OF REFERENCE
BalasHapus(TOR)
• Materi : Antropologi social – budaya
• Pemateri : Bung Khoirul Anwar
( Khoirul.anwar23@gmail.com )
Sekilas tentang antropologi social-budaya
Antropologi pada dasarnya merupakan satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Selain sebagai ilmu pengetahuan antropologi digunakan sebagai cara berpikir untuk mengungkapkan realitassosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.
Kehadiran antropologi-sosial budaya (antropologi sosiokultural) relative masih sangat muda bila dibandingkan dengan ilmu sosial lainnya. Kehadirannya sejalan dengan kebutuhan kolonialisme sejak abad ke – 18. Pada saat itu orang-orang eropa banyak membutuhkan informasi dan pengetahuan mengenai penduduk yang dijajah, baik mengenai kehidupan sosialnya, maupun kehidupan budaya nya. Sejak itu antropologi berkembang atau bergerak kearah ilmu pengetahuan terapan yang sebelumnya hanya berkembang atau bergerak di kawasan kampus dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan murni.
• Metode : Diskusi / Presentasi dialogis
• Waktu : 120 menit
• Peserta : Mahasiswa ( 10 – 20 orang )
• Moderator : Dari panitia
• Tujuan / targetan :
1. Peserta diharapkan dapat mengetahui pengertian dan perkembangan antropologi social-budaya.
2. Peserta diharapkan dapat mengetahui pola prilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat secara Universal maupun pola prilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat.
3. Dengan mempelajari antropologi social-budaya peserta diharapkan dapat mengetahui peran yang harus dilakukan lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang kita sandang.
4. Dengan berdiskusi bersama mempelajari materi ini,diharapkan peserta dapat menambah wawasan pengetahuannya.