Menjadi Manusia Indonesia


(Belajar Pada Soekarno, Sjahrir dan Hatta)

                                                                                              Teruskan, teruskan jiwa kami
                                                                                              Menjaga Bung Karno
                                                                                              Menjaga Bung Hatta
                                                                                              Menjaga Sjahrir

                                                                                               Chairil Anwar 1948


Awal
Hampir 67 tahun kemerdekaan telah kita renggut. Satu abad semangat nasionalisme juga sudah kita pagut. Telah banyak pula kelibatan-kelibatan sejarah yang kita mainkan dalam rangka menegakkan negeri yang tengah beranjak masa dewasa kemerdekaan ini (bandingkan dengan Singapura dan Vietnam yang masa kemerdekaannya masih seusia jagung, tapi telah sanggup tegak berdiri bersama negeri-negeri maju lain!). Agar kedaulatan, kesejahteraan, kebebasan serta kesetaraan berdiri tegak di tengah pergumulan “dusun global” bisa kita cecap dengan nikmat dan hikmat.

Tapi entah kenapa, lambat laun, semenjak angin kemerdekakan menghembus di Bumi Pertiwi ini, langkah kita –utamanya kaum muda– semakin terseok-seok saja. Tak banyak “janji kemerdekakan” yang diraih, seperti diungkapkan di muka. Bahkan sejujurnya, keadaan justru mengatakan sebaliknya.

Bahwa masih jelas terlihat di depan mata kesewenang-wenangan, diskriminasi (baik suku, kelas, ras ataupun agama) dan ketidakadilan bertebaran di mana-mana. Dalam ranah pendidikan, sosial-ekonomi, budaya, politik dan (apalagi) hukum. Hal ini akan terurai kentara jika kita benar-benar membuka mata, kepala dan dada lebar-lebar.

Dalam hal pendidikan misalnya, sebuah institusi yang seharusnya menjadi “tulang punggung” proyek pencerdasan anak bangsa ini, justru kerapkali memperlihatkan perlakuan yang sama sekali “tidak cerdas”, bahkan dapat dikatakan amoral. Terbukti, misalnya, dalam beberapa kasus penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari mulai tingkat pusat sampai daerah, meroketnya biaya pendidikan yang tak berpihak pada rakyat kecil (terutama pada sekolah macam RSBI), industrialisasi lembaga pendidikan hingga maraknya pungutan liar yang tak tertanggungjawabkan. 

Akibatnya, banyak dari komponen masyarakat, terutama yang miskin papa, terpaksa harus menanggalkan masa depan cerahnya ke jalanan terjal demi mengais peruntungan kesehariannya. Dari sini, alih-alih membicarakan tentang “pencerdasan bangsa”, yang ketetapannya sudah diabadikan dalam UUD 1945 itu, yang terjadi justru “pembodohan bangsa” secara massif dan kolosal. Pada titik ini, ungkapan Eko Prasetyo menemukan relevansinya yang paling tajam. Bahwa: orang miskin dilarang sekolah! Karena memang, negeri ini tak memberi kesempatan memadai untuk kaum miskin bisa berkembang dan berdaya saing tinggi.

Ya, sistem pendidikan yang ada sekarang adalah sistem yang sama sekali tak bersahabat dengan masyarakat akar rumput (grass root). Sistem yang hanya melanggengkan kastanisasi, komersialisasi, kapitalisasi dan industrialisasi pendidikan. Ini tercermin, terutama pada pincangnya kandungan isi UU Sisdiknas tahun 2003. 

Belum lagi pada ranah sosial ekonomi. Betapa kita sehari-hari dihadapkan pada kenyataan yang primitif dan ironis: ketimpangan kelas subur di mana-mana, pengebirian hak-hak bekerja pun tak kalah hebatnya. Masih berlakunya sistem Outscharcing, kerja kontrak, PHK sepihak, semisal. Ini menemui puncak nadirnya pada tragedi Kaepi dan Yati Suryati, sepasang suami-istri yang mati menggantung diri karena tak mampu menanggung beban hidup di tengah kemiskinan yang mereka alami. Atau nasib saudara kita di pedalaman Banten sana yang kesehariannya hanya mengkonsumsi nasi kerak (nasi aking) sebab langkanya makanan pokok yang layak diasup. Mengenaskan!  

Ini belum menghitung statistik para pekerja yang nasibnya kini terjerat oleh berbagai sistem yang diskriminatif. Upah Minimum Regional (UMR) yang tak layak, monopoli posisi-posisi strategis dalam dunia kerja dan lebih memilih kongkalikong dengan pengusaha asing daripada memberdayakan masyarakat dalam negeri sendiri, adalah kenyataan pahit yang harus kita mamah setiap hari. Kita seperti mati dalam lumbung padi. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, justru bukan kita yang bisa menikmatinya. Freeport, Newmont, Chevron Oil, Exxon Mobile, adalah perusahaan-perusahaan raksasa di dalam negeri yang justru mematikan perekonomian penduduk pribumi.

Dari penghuni dalam negeri sendiri ini juga sama. Terasa ada jurang yang menganga antara si miskin dengan si kaya, yang mungkin tidak bisa disatukan. Bayangan akan borjuisme, feodalisme dan imperealisme, yang dulu kita gembar-gemborkan sebagai musuh bersama, kini hadir dengan wajah yang lebih lux, implisit dan berbeda. 

Politik juga demikian. Tentu bukan hal yang asing bagi kita, bahwa kebanyakan para punggawa politik di negeri inii masih menggunakan pola sikap yang teramat purba. Saling babat sini, sikat sana . Antara satu dengan yang lain, meski mengusung ideologi dan cita-cita yang sama, saling menebar benih permusuhan. Bahkan, ini mungkin yang paling tragis, di parlemen sana kerap terjadi insiden yang begitu memalukan untuk orang seterdidik mereka: saling mengencangkan urat leher dan tangan hanya karena pendapat yang berbeda. Alamak! Mungkin ada benarnya kata sebagian pakar, logika politik sekarang bukan pertemanan abadi, melainkan kepentingan kekuasaan yang abadi.

Beralih ke hukum. Pada awalnya kata ini begitu jumawa dan enak di dengar serta dirasa. Sebab ia menawarkan tegaknya keadilan serta kedaulatan manusia dalam hubungannya dengan tata norma sosial. Plato, Bapak filsafat Yunani itu sampai merangkumnya dalam sebuah magnum opus, Republik, yang fenomenal itu. Tapi, lambat laun, seiring menangnya kapitalisme-glabal, fungsi dan arah hukum berbelok drastis. Hukum bukan lagi sang judgement yang dapat menjamin keadilan dan kedaulatan. Hukum bahkan saat ini hanya bermutasi menjadi ajang untuk menindas dan memeras. Hukum dijadikan sebagai alat dagang. Sampai-sampai ada parodi satir yang mengatakan, term kaidah hukum sekarang adalah: pasal apa, berani berapa? Itulah fakta paling memilukan tentang dunia hukum kita kini.

Bagaimana tidak? Koruptor yang menjarah uang rakyat triliunan rupiah hanya dipenjara dua tahun. Sedangkan si Warimin, karena belum makan dua hari lalu mencuri ayam tetangga, dihajar dan dibakar massa sampai lebur jadi abu. Untuk urus-mengurus hukum pun juga sama. Walujo, tetangga penulis yang kehilangan sepeda motornya pernah mengeluhkan situasi ini. “Bagaimana ini? Saya kehilangan sepeda motor yang harganya kurang dari 5 juta. Tapi untuk biaya mengurusnya di pengadilan, saya sudah mengeluarkan biaya lebih dari 6,5 juta. Jika sepeda motor kembali saya rugi 1,5 juta. Jika tidak? ”, keluhnya suatu waktu tentang dunia hukum dan peradilan.


Itulah mungkin kenapa dulu Nabi agung SAW pernah bersabda: hakim itu ada tiga. Dua di neraka, satu di surga. Ini hakim di zaman Nabi yang tentu kualitas moralnya tidak sebobrok hakim zaman ini. Bagaimana sekarang? Tak dapat dibayangkan! Dari titik ini, penulis berkesimpulan: hukum formal (baik itu hukum Negara, adat, sosial, budaya) sudah tak lagi relevan. Atau minimal sudah sekarat. Untuk melestarikan dan menghargai kemanusiaan kita, harus ada hukum yang melebihi tata praja konvensional seperti di atas. Itu semua tidak cukup. Harus ada terobosan hukum yang sifatnya radikal dan tepat bidikan: hukum nurani!

Telusur
Tamsilan di atas, sudah cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya kita belumlah merdeka hampir di segala lini kehidupan ini. Baik politik, sosial, ekonomi, pendidikan, hukum maupun budaya. Kemerdekaan kita masih sebatas pada tahap yang terlampau parsial dan artifisial, bukan substansial. Lalu, apa arti peringatan seremonial yang setiap tahun itu kita dengungkan, atau momentum satu abad Kebangkitan Nasional, jika ternyata tak jua memperbaiki keadaan?

Alangkah baiknya, jika di tengah-tengah situasi krisis (global?) seperti ini, kita renungkan petikan sajak Chairil Anwar, pelopor penyair angkatan 45, di atas. Sajak yang mengingatkan kita pada tiga tokoh penting yang menciptakan tonggak sejarah lahirnya negeri kesatuan Indonesia ini ke pelupuk dunia. Karena mereka bertigalah (dan tokoh-tokoh lain tentunya), masyarakat Nusantara bisa menjemput alam Indonesia yang bebas dan merdeka.

Bung Karno misalnya, Putra Sang Fajar itu begitu berkobarnya jika sudah bersinggungan dengan kata nasionalisme. Kedaulatan dan kemerdekaan akan suatu negara, menurutnya, adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi jika manusia hendak memperoleh hak dan kewajibannya, dalam bidang apa pun, secara paripurna. Sampai-sampai Bung Karno dapat julukan dari para ulama sebagai Imam Dlarury Bisyaukah (imam/pemimpin yang wajib ditaati oleh seluruh warga negara) lantaran kegigihannya menghalau para imperialis untuk hengkang dari bumi Indonesia.

Bung Karno amat piawai dalam mengemban obor kemerdekaan agar terus menyala. Di antara upayanya yang paling masyhur adalah keengganan Soekarno terhadap intervensi negeri asing yang ingin menancapkan cakarnya di bumi Nusantara. Tentu kita masih ingat kredo Soekarno menanggapi hal ini yang hingga kini masih menyala: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.  Sekarang? Sejak orde baru hingga orde reformasi sepertinya bangsa ini telah mermbaptis diri untuk menjadi kacung negara asing senantiasa. Ketergantungan bangsa ini akan IMF dan Bank Dunia sampai hingga kini menjadi bukti yang tak dapat dielakkan. 


Bung Hatta pun sama, hanya intensitas dan lahannya saja yang sedikit berbeda. Dengan jargon ekonomi Koperasi-nya beliau mengimbau pada seluruh rakyat Indonesia, bahwa sebenarnya Indonesia bisa berdiri di atas lututnya sendiri hanya dengan menekuni kembali usaha kecil menengah nan bersahaja ini. Meski nahas, kondisi koperasi kita kini bak la yamutu wa la yahya: mati enggan, hidup pun segan.

Bung Sjahrir bagaimana? PM (Pardana Menteri) pertama di Indonesia ini mungkin namanya tak segemilang dua tokoh pioneer di atas. Mengingat karir politik Sjahrir memang tidak “semulus” dan segemilang teman-teman seperjuangannya yang lain –minimal dalam hal memobilisasi rakyat. Hingga pada saatnya –karena perlawanannya terhadap rezim kolonialisme dan imperealisme– ketika paman penyair yang sajaknya penulis cantumkan di awal tulisan ini, bersama Hatta dan teman-teman pergerakan lain, diasingkan (atau dibuang?) ke Boven Digoel dan Bandaneira.

Tapi tak disangka, seperti apa yang dikatakan Hatta, “Kalian bisa memenjarankanku, tapi selama aku bersama buku, aku akan tetap bebas”. Situasi sama mungkin akan dialami oleh mereka yang sekaliber Hatta, yang menganggap buku adalah samudera yang tak terpermanai agungnya. Termasuk diantaranya adalah Sjahrir sendiri. Karena dari balik jeruji besi yang mengitarinya itu, bukan justru kegalauan dan frustasi yang menghinggap di benak, melainkan perenungan yang jernih terhadap segala aspek ke-Indonesia-an.

Buku Renungan dan Perjuangan yang ditulisnya di Boven Digoel cukup untuk dijadikan bukti. Bahkan, “karya itu menjadi satu-satunya sumber referensi untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan”, komentar Ben Anderson, seorang pakar ke-Indonesia-an dari Universitas Cornell , USA.

Tidak cukup di situ, dan ini mungkin yang paling kesohor dari buah perjuangannya. Yaitu lahirnya kebijakan “Politik Etis” (kebolehan mengunyah pendidikan bagi rakyat Bumiputera) dari pemerintahan kolonial. Meski ia bukan satu-satunya tokoh pergerakan yang ikut mengegolkan kebijakan di atas, tapi diakui atau tidak, Sjahrir-lah yang paling berperan –mengingat pergumulannya yang intens dengan para tokoh kolonial, juga semangatnya untuk menciptakan tradisi akademis di bumi Nusantara.


Akhir 
Bercermin dari perjuangan tokoh-tokoh kita tadi, semestinya segera terbersit di sanubari manusia Indonesia kini, bahwa, mengutip puisi Chairil, perjuangan belumlah usai, belum apa-apa, dalam puisi Krawang Bekasi. Minimal, jika amanat kemerdekaan tak mampu kita penuhi semua, cukuplah ketiga poin yang diusung oleh masing-masing tokoh itu senantiasa kita perjuangkan. Sebab pada hakikatnya, biduk Indonesia kelak bakal ditentukan oleh nahkoda-nahkoda mudanya saat ini.

Ketiga poin itu tak lain ialah: pertama, berusaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kedaulatan Negara sepenuhnya. Tanpa ada lagi ketergantungan pada hal ikhwal yang berasal dari luar, utamanya Negara-negara agresor adidaya nan serakah atau tetek bengek penjahat ekonomi internasional lainnya. Atau dalam konteks yang lebih aktual adalah: menjaga negeri ini dari tangan-tangan tak bertanggungjawab sparatisme-terorisme-fundamentalisme yang berpotensi mencerai-beraikan kebhinekaan kita. Apapun bentuk dan kedoknya.

Tentu kita sudah tak asing, bahwa hampir di semua kampus terdapat organ ekstra mahasiswa bernama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) atau jika di sekolah menengah dikenal dengan sebutan Rohis? Dua organ ekstra ini, meski berlabelkan Islam, juga ditengarai sebagai corong masuknya ideologi-ideologi Islam a la Timur Tengahan pada ranah intelektulitas mahasiswa. Ini terutama terjadi pada universitas-universitas umum yang basis agamanya kurang mumpuni.

Lantaran, memang, propoganda radikalisme paling mudah dilakukan pada manusia-manusia yang fondasi keagamaannya belum terlalu kuat. Begitu juga dengan yang kedua, fenomena Rohis lazimnya muncul di SMA-SMA Negeri. Bahkan, pernah terjadi satu kasus di mana sekelompok siswa SMA yang tergabung dalam keorganisasian Rohis menolak untuk memberi hormat pada Sang Saka Merah Putih di kala upacara. Ini tentu bencana mahadahsyat untuk nasionalisme bangsa ini. Dari sinilah kita, terutama mahasiswa, menemukan relevansinya untuk kembali menyuntikkan elan vital nasionalisme yang selaras dengan kultur ke-Indonesia-an kita.


Dan kedua, mengaktualisasikan kembali semangat perekonomian kecil menengah khas koperasi.  Karena sungguh, perekonomian Indonesia yang sesungguhnya bertumpu pada tataran mikro. Pada lapak-lapak pedagang kaki lima, pada petani yang kurang biaya, nelayan yang butuh solar, dll. Maka, menyepakati ekonom Jerman, E. F. Schumacher: small is beatiful. Kecil itu indah. Untuk membangkitkan lagi Indonesia dari keterpurukan ekonomi yang dahsyat, kita hanya perlu kembali membangun koperasi. Lagipula, ketimbang ingin me-mu’amalah-kan perekonomian kita dengan jalan syariah, bukankah lebih baik kita buka khasanah ekonomi yang dulu pernah digagas oleh Bapak Koperasi kita: Mohammad Hatta? 

Terakhir ketiga, senantiasa bergiat untuk turut berpartisipasi dalam menumbuh-kembangkan proyek pencerdasan bangsa, tanpa ada diskriminasi yang sifatnya trah, agama, etnik jender, maupun kelas sosial. Pengejawantahan poin ketiga ini bisa kita mulai dari lingkungan kampus sendiri. Dengan mengadakan komunitas-komunitas pendidikan kritis-egaliter, membuat media/jurnal kritis yang senantiasa meneropong kebijakan pemerintah, mengkritik lembaga yang tak transparan, demonstrasi damai, menerapkan prinsip integralitas dalam tubuh institusi apapun, adalah beberapa contoh yang bisa dijadikan langkah awal.

Sesungguhnya masih banyak yang bisa saya uraikan di sini sebagai solusi. Tapi untuk sementara cukuplah ketiga tokoh itu yang kita jadikan pijakan awal sebagai inspirasi. Saya percaya, mahasiswa mempunyai wilayah dan concern sendiri untuk menorehkan perjuangan dan eksistensinya secara nyata. Kritisisme dan optimisme kadang lahir justru dari hal-hal yang kita anggap sangat sederhana.

Lebih dari itu semua, jika ketiga “mantra” ini kita perjuangkan senantiasa, maka tak sia-sia-lah jika setiap tahun kita merayakan hari kemerdekaan maupun hari Kebangkitan Nasional. Karena kita telah berhasil mereguk makna kemerdekaan dan kedaulatan sampai pada pada konotasinya yang paling dalam dan hakiki. Juga, kita berani menjawab sajak Chairil Anwar di atas dengan penuh tekad membaja; Ya, kami siap untuk terus menjaga (amanat, idealisme serta perjuangan) Bung Karno, Hatta dan Sjahrir.

Bagaimana menurut Anda manusia Indonesia?

30 Juni 2012
















13 Responses to " Menjadi Manusia Indonesia "

  1. Mantap ! Analisisx tajam. Kunjungi blog sy jg yah Kak. http://imamuhidate.blogspot.com/2012/06/indonesia-ujung-tombak-green-blue.html"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pasti akan berlabuh di blog Anda, mas imam. Tunggu saja saya di dermaga blogmu.

      Hapus
  2. saya putuskan menjadi penyimak di blog anda. semoga berkenan. saya tidak mengharap anda melakukan hal yg sama di blog saya. Tapi tulisan anda sangat berkualitas menurut saya. banyak tulisan yg punya tujuan dan makna yang sama namun gaya bahasa dan sudut pandanglah yg menarik pengindraan saya untuk memaknai setiap tulisan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Saya pasti akan membaca tulisan Anda, Risa.

      Terimakasih sudah mau membaca tulisan yang kumal ini.

      Hapus
    2. saya pikir blog ini akan memiliki follower baru dibelakang saya. dan anda akan mengundi siapakah anonim ini. Tapi sayang sekali ,,,, Awalnya saya mengikuti blog yg berisi orang2 yg sering travelling atau banyak menyuguhkan info tentang film2 terbaru, atau referensi buku baru. Tapi tidak untuk pola pikir yang baru. semoga kamu menuntun saya teman. Dengan segala keingintahuan saya, Saya suka menginjak garis batas dan berkompromi terhadap hal yang sifatnya prinsip sampai-sampai saya lupa jalan pulang dan saya lupa diri. Tapi rangkaian huruf kamu banyak tergeletak menuju jalan pulang, kalau saya hansel dan gretel mungkinkah tulisan kamu remah roti yang saya tebarkan?. *pengandaian yg berat

      Hapus
    3. Saya tak akan pernah menuntunmu, Risa. Saya hanya ingin kita berjalan beriringan untuk meniti jalan pulang. Atau, kita jajaki saja semesta diri bersama tanpa secuilpun peta?

      Hapus
  3. gagasan yang sangat Indonesia...
    sukses selalu

    Kunjungan blogwalking.
    Sukses selalu..
    kembali tak lupa mengundang juga rekan blogger
    Kumpul di Lounge Event Blogger "Tempat Makan Favorit"

    Salam Bahagia

    BalasHapus
  4. ulasan yang menarik kang.. menelisik masalah-masalah yang terjadi di Indonesia..

    jika anda berkenan, baca juga tulisan saya Iwak Peyek dan Garuda yang Tak Pernah Terbang terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimkasih Mas Khairul, saya sudah baca tulisan Anda.
      Saya cuma bisa berharap: meski Garuda tak pernah terbang, semoga sayapnya tak pernah terbakar.

      Hapus
    2. merinding q baca tulisan ini. smpe segitunya ya?

      Hapus
  5. Langsung terkesima saat membaca tulisan di blog ini..., gila... keren sangat bahasanya bung.

    BalasHapus